Pengimplementasian Etika Bisnis Perspektrif Islam di Masa Pandemi Covid-19
Pandemi Covid-19
Tahun 2020, dunia digemparkan dengin merebaknya virus baru yaitu coronavirus jenis baru (SARS-CoV-2) dan penyakitnya disebut Coronavirus disease 2019 (COVID-19). Diketahui, asal mula virus ini berasal dari Wuhan, Tiongkok. Ditemukan pada akhir Desember tahun 2019. Sampai saat ini sudah dipastikan terdapat 65 negara yang telah terjangkit virus satu ini. (Data WHO, 1 Maret 2020) (PDPI, 2020). Pada pandemi COVID-19 ini masih belum terhenti dan terus menjadi tantangan ketahanan ekonomi. Hingga saat ini kondisi dan situasi terkait pandemi masih tidak bisa diprediksi. Untuk itu, berbagai strategi kebijakan dikeluarkan sebagai penyeimbang ekonomi yang guncang. Namun demikian, hasil dari usaha selama ini amat tergantung dari pergerakan musuh tak kasat mata yang sedang kita lawan. Di tengah ketidakpastian ekonomi, berbagai strategi dan kebijakan dikeluarkan untuk mempercepat pemulihan ekonomi. Penanganan COVID 19 ini perlu dipercepat sehingga aktivitas sosial meningkat dan berimplikasi pada peningkatan aktivitas transaksi ekonomi. Sektor-sektor ekonomi yang dapat berjalan dengan protokol kesehatan perlu dibuka. Perlu percepatan penyerapan anggaran dengan jumlah besar dan inklusif. Selain itu, restrukturisasi kredit terutama UMKM dan perluasan pemanfaatan digital juga merupakan pilihan yang tepat. Bangkitnya ekonomi di tengah ketidakpastian dapat dilakukan dengan menciptakan situasi yang kondusif bagi investasi, perdagangan dan inovasi dan meningkatkan kemampuan kerja. Dengan pelonggaran PSBB, kegiatan ekonomi mulai bergerak dan berdampak positif. Namun di sisi lain, hal ini berisiko menurunkan status kewaspadaan terhadap COVID-19. Banyak negara, termasuk Indonesia, telah menghadapi trade-off antara memperlambat penyebaran COVID-19 dan mempertahankan aktivitas ekonomi. Melalui kebijakan yang tepat, ada peluang untuk bergerak dengan aman menuju New Normal.
COVID-19 telah menyebabkan perekonomian Indonesia menjadi kacau balau. Bahkan, pertumbuhan ekonomi di Indonesia di prediksi akan turun sebesar 1 hingga 4 persen, serta rasio kemiskinan akan diprediksi mencapai angka 9.7 hingga angka ekstrim yaitu 12.4 persen, yang berarti bahwa sekitar 1.5 juta hingga 8.5 juta orang jatuh dalam kemiskinan akibat pandemi COVID-19 (Suryahadi, Izzati, & Suryadarma, 2020). Kekacauan tersebut terjadi karena hal yang paling mendasar dari pandemi COVID-19 yaitu ketakutan akan penularan. Selain itu, Susiwijono Moegiarso selaku Sekretaris Kementerian Koordinator Perekonomian mengatakan bahwa sekitar 50 hingga 70 juta dari 133 juta tenaga kerja di Indonesia bergerak pada sektor informal, sehingga mereka sangat terdampak oleh pembatasan-pembatasan yang terjadi demi menakan angka penularan, dan oleh karenanya pemberlakuan new normal harus dilakukan (Novika, 2020).
Kesadaran para cendikiawan muslim untuk kembali ke ajaran Qur'an dan hadits, memunculkan pemikiran untuk menggunakan system ekonomi yang berdasarkan pada syariah Islam atau disebut sebagai sistem ekonomi Islam. Kesadaran mereka muncul karena ternyata sistem ekonomi yang dijalankan selama ini tidak menyebabkan kondisi ekonomi global semakin membaik khususnya di negara-negara muslim. Kemiskinan justru paling banyak dialami oleh negara-negara muslim. Sistem ekonomi kapitalis membuat negara-negara muslim yang kebanyakan adalah negara sedang berkembang dieksploitasi oleh negara maju sehingga menyebaban ketergantungan yang semakin tinggi pada negara maju. Kesadaran inilah yang menyebabkan munculnya ekonomi syariah sebagai jawaban atas permasalahan yang dihadapi negara-negara muslim. Apalagi sistem ekonomi Islam jaman Nabi SAW dan para sahabatnya terbukti memunculkan kejayaan Islam. Hal ini lebih dikuatkan lagi dengan adanya hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sistem ekonomi kapitalis selama seratus tahun terakhir, setiap lima tahun sekali selalu terjadi krisis.
Munculnya kesadaran untuk menjalankan syariah Islam dalam kehidupan ekonomi muslim berarti harus mengubah pola pikir dari sistem ekonomi kapitalis ke sistem ekonomi syariah termasuk dalam dunia bisnis. Dunia bisnis tidak bisa dilepaskan dari etika bisnis. Banyak hasil penelitian yang menunjukkan adanya hubungan yang positif antara etika bisnis dan kesuksesan suatu perusahaan. Kisah bangkrutnya Lehman Brothers menggambarkan dampak dari suatu perusahaan yang tidak menggunakan etika bisnis dalam setiap aktivitas bisnisnya. Pada akhirnya praktek bisnis yang tidak jujur, hanya memikirkan keuntungan maksimal dan merugikan pihak lain akan membawa perusahaan, yang tergolong raksasa sekalipun akan hancur juga. Etika bisnis sebenarnya bukan fenomena dan kajian yang baru. Sejak abad ke-18 hingga kini, hubungan etika dan bisnis telah banyak diperdebatkan. Di AS, kasus bisnis yang berhubungan dengan etika bahkan telah terjadi sebelum kemerdekaan AS. Bermula pada tahun 1870, John D. Rockfeller, pemilik Standard Oil Company Ohio, melakukan kesepakatan rahasia potongan harga dengan perusahaan kereta api yang akan mengangkut minyaknya. Akibatnya pesaing kalah sehingga memutuskan untuk keluar dari bisnis perminyakan. Bisnis yang melibatkan praktek-praktek kecurangan, penipuan dan lain-lain adalah alasan etika bisnis mendapat perhatian yang intensif hingga menjadi kajian tersendiri. Masalah etika bisnis muncul bila terjadi suatu konflik tanggung jawab kepentingan atau dilema memilih antara yang benar dan yang salah, yang salah dengan yang lebih salah atau mempertimbangkan sesuatu yang lebih kompleks yang diakibatkan oleh aktivitas bisnis.
Etika sebagai praktis berarti nilai-nilai dan norma-norma moral sejauh mana dipraktekkan atau justru tidak dipraktekkan, walaupun seharusnya dipraktikkan. Dalam etika sebagai refleksi kita berfikir tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Etika bisnis mempengaruhi bagaimana perusahaan berhubungan dengan para pekerjanya, bagaimana pekerja berhubungan dengan perusahaan dan bagaimana perusahaan berhubungan dengan agen atau pelaku ekonomi lain.
Etika mengarahkan manusia menuju aktualisasi kapasitas terbaiknya. Penerapan etika dan kejujuran dalam bisnis akan meningkatkan nilai entitas bisnis itu sendiri. Dengan tingkat persaingan yang semakin tinggi ditambah dengan konsumen yang semakin kritis, maka kalau kepuasan konsumen tetap dijaga akan menyebabkan perusahaan sustainable dan dapat dipercaya dalam jangka panjang. Perusahaan yang menerapkan etika akan meningkatkan motivasi para pekerja, karena bekerja selain dituntut menghasilkan yang terbaik, juga diperoleh dengan cara yang baik pula. Penerapan etika bisnis juga melindungi prinsip kebebasan berusaha dan meningkatkan keunggulan bersaing, selain itu juga mencegah terkena sanksi sanksi pemerintah karena melanggar etika yang dapat digolongkan sebagai perbuatan melawan hukum. Tanpa etika bisnis maka, perusahaan akan lepas kendali, menggunakan berbagai cara, mengurbankan apa saja demi mencapai tujuan.
Etika bisnis juga berhubungan dengan nilai merk (brand value). Perilaku bisnis yang beretika berkontribusi terhadap citra perusahaan. Caranya dengan memberi pelatihan pada para pekerja mengenai etika, hasilnya sungguh luar biasa, misalnya, menurunnya biaya, menurunnya pelanggaran dan perusakan pada merk atau reputasi dan pada akhirnya menurunkan penalti atau hukuman akibat melanggar aturan yang ditetapkan.
Para pebisnis kapitalis beranggapan bahwa hubungan antara bisnis dan etika adalah kontradiktif karena ada konflik kepentingan di antara keduanya dalam mengejar keuntungan yang maksimal. Ketika etika berlawanan arah dengan keuntungan perusahaan, pebisnis kapitalis akan memilih keuntungan dan meninggalkan etika bisnisnya dengan menghalalkan segala cara. Akan tetapi bagi perusahaan yang memperhatikan etika maka, perusahaan akan terus hidup dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Pelaksanaan etika bisnis dan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) menjadi salah satu sustainable competitive advantage. Contoh perusahaan yang menerapkannya adalah Shell, BP, GE, Johson & Johnson.
Bagi perusahaan yang beranggapan bahwa keuntungan finansial adalah segala-galanya maka, mereka akan menganggap bahwa moralitas atau etika tidak cocok dengan bisnis sehingga perusahaan tidak akan merasa memiliki tanggung jawab sosial karena bisnis adalah bisnis, tak ada hubungannya dengan kepentingan masyarakat. Kalau perusahaan berada dalam persaingan yang ketat, mereka akan melakukan apapun untuk meningkatkan keuntungannya sekalipun mengurbankan yang lainnya. Misalnya untuk menekan biaya operasional, perusahaan memberikan upah di bawah standar, tidak menjaga keselamatan pekerja, memanipulasi laporan keuangan dan lain lain, dimana hal itu pada akhirnya akan merugikan masyarakat atau negara akan dianggap sebagai sah-sah saja. Tetapi di era global seperti sekarang ini, dimana informasi mudah sekali untuk diakses maka, akan sulit bagi perusahaan untuk bertahan lama kalau dia melanggar etika bisnis karena kekuatan dalam dunia bisnis sekarang ini bukan lagi menjadi monopoli individu atau perusahaan tertentu. Konsumen, masyarakat, LSM dan sebagainya dengan dukungan akses internet yang ada serta meningkatnya tuntutan akan transparansi, membuat pelaku bisnis harus hati-hati. Terpaksa atau tidak, mereka harus menjalankan etika bisnis agar bisnis tidak kolaps akibat ditinggalkan konsumen dan hilangnya kepercayaan para pemegang kepentingan (stakeholder).
Kenyataan menunjukkan bahwa, masih ada yang menganggap bahwa ukuran kinerja adalah untung rugi dalam bentuk uang. Mereka memandang bisnis adalah bagaimana mencetak laba yang besar karena laba yang tinggi merupakan tanda kesuksesan, laba yang lebih rendah berarti kinerjanya buruk. Tetapi kurun waktu belakangan, isu mengenai etika bisnis menggugah kesadaran banyak pihak khususnya para pelaku bisnis. Mereka menyadari, bisnis yang baik merupakan dampak dari kinerja perusahaan yang baik, dimana kinerja yang baik merupakan hasil dari penerapan etika yang baik oleh organisasi perusahaan.
Islam menempatkan nilai etika di tempat yang paling tinggi. Pada dasarnya, Islam diturunkan sebagai kode perilaku moral dan etika bagi kehidupan manusia, seperti yang disebutkan dalam hadis: " Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia". Terminologi paling dekat dengan pengertian etika dalam Islam adalah akhlak. Dalam Islam, etika (akhlak) sebagai cerminan kepercayaan Islam (iman). Etika Islam memberi sangsi internal yang kuat serta otoritas pelaksana dalam menjalankan standar etika. Konsep etika dalam Islam tidak utilitarian dan relatif, akan tetapi mutlak dan abadi. Jadi, Islam menjadi sumber nilai dan etika dalam segala aspek kehidupan manusia secara menyeluruh, termasuk dalam dunia bisnis. Al- Qur'an memberi pentunjuk agar dalam bisnis tercipta hubungan yang harmonis, saling ridha, tidak ada unsur eksploitasi (QS. 4: 29) dan bebas dari kecurigaan atau penipuan, seperti keharusan membuat administrasi dalam transaksi kredit (QS. 2 : 282). Syed Nawab Haidar Naqvi dalam buku "Etika dan Ilmu Ekonomi : Suatu Sintesis Islami", memaparkan empat aksioma etika ekonomi, yaitu, tauhid, keseimbangan (keadilan), kebebasan dan tanggung jawab.
Tauhid merupakan wacana teologis yang mendasari segala aktivitas manusia, termasuk dalam berbisnis. Tauhid menyadarkan manusia sebagai makhluk ilahiyah atau makhluk yang bertuhan. Dengan demikian, dalam berbisnis manusia tidak lepas dari pengawasan Tuhan dan dalam rangka melaksanakan titah Tuhan (QS. 62:10) Keseimbangan dan keadilan, berarti, bahwa perilaku bisnis harus seimbang dan adil. Keseimbangan berarti tidak berlebihan (ekstrim) dalam mengejar keuntungan ekonomi (QS.7:31)
 Kepemilikan individu yang tak terbatas, sebagaimana dalam sistem kapitalis, tidak dibenarkan. Dalam Islam, Harta mempunyai fungsi sosial yang kental (QS. 51:19). Kebebasan, berarti manusia sebagai individu dan kolektivitas, mempunyai kebebasan penuh untuk melakukan aktivitas bisnis. Dalam ekonomi, manusia bebas mengimplementasikan kaidah kaidah Islam. Karena masalah ekonomi, termasuk aspek mu'amalah, bukan ibadah, maka berlaku padanya kaidah umum, "semua boleh kecuali yang dilarang". Yang tidak boleh dalam Islam adalah ketidakadilan dan riba. Dalam tataran ini kebebasan manusia sesungguhnya tidak mutlak, tetapi merupakan kebebasan yang bertanggung jawab dan berkeadilan. Â
Pertanggungjawaban, berarti, bahwa manusia sebagai pelaku bisnis, mempunyai tanggung jawab moral kepada Tuhan atas perilaku bisnis. Harta sebagai komoditi bisnis dalam Islam, adalah amanah Tuhan yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Sedangkan pedoman bisnis menurut Imam Ibnu Taymiyyah dalam kitab Al Hisbah antara lain adalah pertama, sempurna dalam timbangan. "Kecelakaanlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain ia minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi."(QS.83:1-3)
Hindari penipuan/kecurangan. Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam r.a. dia berkata : Rasulullah saw pernah bersabda : " Penjual dan pembeli memiliki hak khiyar (tetap melanjutkan jual beli atau membatalkannya) selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya berkata benar dan menjelaskan apa adanya maka jual beli mereka diberkahi, tetapi jika keduanya menyembunyikan cacat yang ada dan berkata dusta, maka jual beli mereka tidak diberkahi (HR. Muttafaq Alaihi). Ketiga, hindari kontrak bisnis yang tidak sah (illegal). Kontrak yang terkait dengan riba dan judi seperti jual beli spekulatif (bay al-gharar), membeli bayi ternak yang masih dalam kandungan (mulamasa), menawar tinggi untuk menaikkan harga bukan berniat untuk membeli (najas).
Kondisi ketidaksempurnaan pasar. Diriwayatkan Abdul lah bin Umar r.a. bahwasanya Raulullah pernah bersabda : "Janganlah memperjualbelikan barang yang sedang dalam proses transaksi dengan orang lain dan janganlah menghadang barang dagangan sebelum sampai di pasar/ sebelum penjual mengetahui harga yang berlaku di pasar." Kelima, hindari penimbunan (ikhtikar).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI