Ijma' dalam istilah ahli Ushul adalah kesepakatan semua para Mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah Wafat Rasulullah Saw atas hukum syara.
Adapun pengertian ijma dalam istilah teknis hukum atau istilah syar'i terdapat perbedaan rumusan yang mana terletak pada segi siapa yang melakukan kesepakatan itu.
kehujjahan ijma'
Ijma' menjadi hujjah (pegangan) dengan sendirinya ditempat yang tidak didapati dalil (nash), yakni Al Qur'an dan hadits. Dan tidak menjadi ijma' kecuali telah disepakati oleh segala ulama Islam, dan selama tidak menyalahi nash qath'i ( kitabuAllah dan hadits mutawatir).
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa nilai kehujjahan ijma' ialah dzanni, bukan qath'i. Oleh karena nilai itu dzanni, maka ijma' itu dapat dijadikan hujjah (pegangan) dalam urusan amal, bukan dalam urusan i'tikad itu mesti dengan dalil yang qath'i.
 Rukun Ijma':
Adapun rukun ijma' dalam definisi di atas adalah adanya kesepakatan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa atas hukum syara'.
'Kesepakatan' itu dapat dikelompokan menjadi empat hal:
1. Tidak cukup ijma dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila keberadaanya hanya seorang (mujtahid) saja di suatu masa. Karena 'kesepakatan' dilakukan lebih dari satu orang, pendapatnya disepakati antara satu dengan yang lain.
2. Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara' dalam suatu masalah, dengan melihat negeri, jenis dan kelompok mereka. Andai yang disepakati atas hukum syara' hanya para mujtahid haramain, para mujtahid Irak saja, Hijaz saja, mujtahid ahlu Sunnah, Mujtahid ahli Syiah, maka secara syara' kesepakatan khusus ini tidak disebut ljma'. Karena ijma' tidak terbentuk kecuali dengan kesepakatan umum dari seluruh mujtahid di dunia Islam dalam suatu masa.
3. Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang mereka dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk perkataan, fatwa atau perbuatan.