Dokrin yang tertanam pada Masyarakat terkait orang jawa tidak boleh menikah dengan orang sunda pada dasarnya dilatar belakangi oleh nuansa romantis antara Raja Kerajaan Majapahit, yakni Hayam Wuruk, dengan putri dari Raja Kerajaan Sunda, Dyah Pitaloka Citraresmi.
Hayam Wuruk jatuh cinta kepada Dyah Pitaloka Citraresmi setelah melihat betapa cantiknya Perempuan itu lewat sebuah lukisan milik Arya Prabangkara. Bahkan menurutnya lebih cantik dari Ken Dedes, istri Ken Arok.
Akan tetapi, cinta Sang Raja kalah dengan ambisi politik Gajah Mada. Ketika Hayam Wuruk tidak bisa menentukan mana yang harus didahulukan antara cinta dan kekuasaan, maka Mahapatih segera mengambil peran. Dan inilah pengkhianatan Gajah Mada setelah 21 tahun mengabdi pada Kerajaan Majapahit.
Gajah Mada dengan ambisinya yang ingin menyatukan Nusantara merupakan bencana besar bagi Kerajaan Sunda yang kala itu sedang menuju Kerajaan Majapahit untuk melangsungkan pernikahan antara Dyah Pitaloka Citraresmi dengan Hayam Wuruk. Awalnya, rencana pernikahan yang dilaksanakan di tempat pihak laki-laki tentu saja mendapat komentar tidak suka dari petinggi Kerajaan Sunda. Sebab, menurut adat yang berlaku di Nusantara saat itu, tidak lazim bagi pihak pengantin Perempuan datang kepada pihak pengantin laki-laki untuk melangsungkan pernikahan.
Namun, Raja Linggabuana, ayah dari Dyah Pitaloka Citraresmi merasa tidak masalah dengan pihak pengantin Perempuan yang harus ke Majapahit. Linggabuana merasa bahwa ini adalah kesempatan emas untuk menikahkan putrinya dengan Raja terbesar dan termperti Hayam Wuruk.
Naasnya, kejadian yang tidak diharapkan pun terjadi. Ketika sampai pada wilayah Bubat, bukan disambut secara terhormat, rombongan dari Kerajaan Sunda itu diserang pasukan yang dibawa oleh Mahapatih Gajah Mada. Pertempuran tidak seimbang pun terjadi yang menewaskan Raja Linggabuana. Bahkan, Dyah Pitaloka Citraresmi melakukan bela pati di hadapan Mahapatih kepercayaan calon suaminya sendiri.
Sebenarnya, sebelum penyerangan, Mahapatih meminta Raja Linggabuana untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit. Linggabuana yang tersulut emosi karena dikhianati pun membalas permintaan Gajah Mada dengan serangan. Akan tetapi, pasukannya yang kurang dari seratus orang itu kalah telak dari pasukan Gajah Mada yang lebih dari seribu orang. Pada akhirnya, semua rombongan yang berasal dari Kerajaan Sunda pun sudah tidak bernyawa, termasuk Dyah Pitaloka Citraresmi.
Setelah tragedi tersebut, Gajah Mada dilengserkan dari posisi Perdana Menteri karena menyebabkan Kerajaan Sunda dan Kerajaan Majapahit berselisih. Sementara Keputusan terbesar Kerajaan Sunda ketika dipimpin oleh putra Raja Linggabuana, yakni Prabu Niskalawastukancana adalah memutus hubungan diplomatic dengan Majapahit. Penerus-penerus lain yang dikenal sebagai Siliwangi juga mengeluarkan sebuah larangan pamali estri ti luaran yang artinya larangan bagi laki-laki Sunda untuk menikahi perempAmbisiuan Jawa.
Dan larangan tersebut sudah mendoktrin Masyarakat-masyarakat sampai di era modern. Sebelum Soekarwo (Gubernur Jawa Timur), Sri Sultan Hamengkubuwono X (Gubernur DIY), Ahmad Heryawan (Gubernur Jawa Barat) sepakat mengakhiri konflik perang Bubat pada 2017 lalu, banyak masyarakat Sunda yang tidak mau disebut sebagai orang jawa, padahal Sunda merupakan bagian dari Jawa Barat. Kemudian, banyak larangan pernikahan antara orang Sunda dengan orang Jawa dengan alasan kejadian Bubat yang sekarang sudah 661 tahun berlalu. Meski demikian, semua sudah berakhir semenjak ketiga Gubernur tersebut membuka nama-nama jalan seperti Jalan Majapahit dan Jalan Hayam Wuruk di Bandung, kemudian Jalan Padjajaran dan Jalan Siliwangi di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H