Pada Jumat (7/06) Kementrian Lingkungan Hidup Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Negeri Semarang menyelenggarakan sebuah diskusi dan panggung bebas mengenai krisis lingkungan yang terjadi di Jawa Tengah. Diskusi ini mendatangkan beberapa narasumber yaitu dari Walhi Jateng, LBH dan warga Rawa Pening.
Saat ini banyak kasus mengenai bencana alam yang di sebabkan oleh keserakahan manusia. Perampasan lahan untuk pembangunan industri, yang justru malah membawa petaka bagi lingkungan dan masyarakat sekitar. Kasus PLTU Batang, Rempang, Biomethal, Rawa Pening, Wadas merupakan sebagian dari banyaknya permasalahan yang ada.
Rizki Ryansyah dari Walhi Jateng menyampaikan ahwa kerusakan lingkungan di Jawa Tengah semakin parah akibat kebijakan yang tidak berpihak pada kelestarian alam. Banyak industri yang tidak memperhatikan dampak lingkungan, yang akhirnya merugikan masyarakat setempat. Bahkan menurutnya kondisi Pantai Utara (Pantura) Jawa saat ini berada pada situasi yang memprihatinkan. Alih-alih menghentikan berbagai kegiatan yang berdampak pada meluasnya krisis sosial ekologis, seperti turunnya permukaan tanah dan naiknya permukaan air laut, situasi itu justru dimanfaatkan oleh para pengembang.
Termasuk salah satu narasumber dari Rawa Pening yang bernama pak Joko. Beliau menjadi salah satu tokoh masyarakat terdampak akibat adanya perampasan tanah untuk kepentingan oligarki. menceritakan dampak perampasan tanah yang mereka alami. Ia menjelaskan bahwa sejak tahun 2020, elevasi air di Rawa Pening meningkat, menyebabkan beberapa wilayah tergenang. Akibatnya, masyarakat sekitar kehilangan mata pencaharian.
Menurut Pak Joko, elevasi tersebut disengaja oleh pemerintah dengan dalih agar dilakukan revitalisasi. Namun, yang terjadi justru pemasangan patok sempadan di tanah mereka tanpa adanya sosialisasi. Hal ini tentu ditentang oleh masyarakat karena tanah mereka dirampas untuk kepentingan pemerintah, dan hingga kini belum ada kompensasi yang layak atas kerugian yang mereka alami.
Fajar M. Andhika, perwakilan dari LBH juga menyoroti bahwa peran pemerintah dalam menangani isu lingkungan masih sangat kurang. Kebijakan yang ada cenderung menguntungkan pihak-pihak tertentu, seperti oligarki, dan mengabaikan kesejahteraan masyarakat lokal yang terdampak. Pemerintah seharusnya tidak hanya mengutamakan pembangunan industri, tetapi juga harus mempertimbangkan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Termasuk dengan menyediakan kompensasi yang adil bagi masyarakat yang terkena dampak negatif dari proyek pembangunan.
Selain itu, Rizky menekankan pentingnya transparansi dan keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan lingkungan. "Masyarakat harus diberikan ruang untuk berpartisipasi dalam kebijakan yang mempengaruhi mereka langsung. Sosialisasi dan dialog harus dilakukan secara rutin dan terbuka," jelasnya.
Dalam diskusi dan panggung bebas tersebut, antusiasme mahasiswa Universitas Negeri Semarang sangat tinggi, menunjukkan keprihatinan mereka terhadap kondisi lingkungan saat ini. Para mahasiswa tidak hanya datang untuk mendengarkan, tetapi juga aktif berpartisipasi dalam diskusi, menyuarakan kekhawatiran mereka, dan mengajukan berbagai pertanyaan kritis kepada narasumber. Kehadiran mereka mencerminkan kesadaran yang semakin meningkat di kalangan generasi muda mengenai pentingnya menjaga lingkungan dan memperjuangkan keadilan ekologis.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H