Mohon tunggu...
Siti Aisyah
Siti Aisyah Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Saya adalah mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB), menulis adalah bagian dari diri saya, dan menulis artikel menjadi salah satunya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perdebatan Halal-Haram Kepiting: Menyusuri Perspektif Islam Program Pengabdian Pengolahan Kepiting di Desa Ciasihan, Kecamatan Pamijahan-Bogor

19 Juli 2024   16:05 Diperbarui: 19 Juli 2024   16:22 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kepiting Sawah (dokumentasi pribadi)

Bogor, 30 Juni 2024 – Kepiting, sebagai salah satu makanan laut yang sangat populer di berbagai kalangan, seringkali menjadi subjek perdebatan di kalangan umat Muslim terkait status kehalalannya. Keputusan mengenai halal atau haramnya suatu makanan dalam Islam didasarkan pada interpretasi sumber hukum syariah oleh para ulama dan ahli fiqh, yang menyebabkan adanya variasi pandangan mengenai kepiting. Dalam berbagai kesempatan, perdebatan ini terus menarik perhatian karena berkaitan erat dengan prinsip-prinsip kehidupan yang dijalankan oleh umat IslamKepiting adalah salah satu jenis crustacea yang banyak dikonsumsi di berbagai belahan dunia. Namun, pandangan mengenai status kehalalannya berbeda di antara ulama. Sebagian ulama menyatakan bahwa kepiting haram dikonsumsi karena hidup di dua alam, yaitu air dan darat, sehingga termasuk dalam kategori hewan amphibi yang sering dianggap tidak halal. Pandangan ini didukung oleh beberapa ulama dari Mazhab Hanafi yang menyatakan bahwa semua hewan yang hidup di dua alam, termasuk kepiting, tidak diperbolehkan untuk dikonsumsi. Mereka mendasarkan argumen ini pada prinsip kehati-hatian dalam mengonsumsi hewan yang tidak secara jelas dihalalkan dalam teks-teks agama. Mereka berpegang teguh pada pemahaman bahwa kejelasan dalam hukum makanan haruslah sangat hati-hati untuk menghindari segala bentuk keraguan yang dapat merusak keyakinan dan praktik ibadah umat.

Sebaliknya, sebagian ulama lain berpendapat bahwa kepiting halal untuk dikonsumsi karena mereka termasuk dalam kelompok hewan air yang secara umum dihalalkan dalam Al-Qur'an dan Hadits. Ulama dari Mazhab Syafi'i dan Maliki umumnya menganggap kepiting sebagai makanan halal. Mereka berpendapat bahwa kepiting adalah hewan laut, dan segala jenis hewan laut diperbolehkan untuk dikonsumsi berdasarkan ayat Al-Qur'an yang menyatakan, "Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut" (QS. Al-Maidah: 96). Ulama-ulama ini juga menekankan bahwa kepiting tidak termasuk dalam kategori hewan yang najis atau berbahaya bagi kesehatan manusia. Mereka melihat bahwa hukum makanan dalam Islam memiliki kelonggaran selama tidak ada bukti konkret yang menunjukkan adanya larangan spesifik terhadap hewan tersebut.

Dalam masyarakat Muslim di Indonesia, yang mayoritas menganut Mazhab Syafi'i, kepiting secara umum dianggap halal dan banyak dikonsumsi dalam berbagai olahan makanan. Kepiting seringkali menjadi bahan utama dalam berbagai hidangan lezat yang menggugah selera, mulai dari kepiting saus tiram hingga kepiting rebus yang disajikan dengan bumbu rempah khas Nusantara. Namun, tetap ada sebagian kecil masyarakat yang memilih untuk menghindari konsumsi kepiting demi mengikuti prinsip kehati-hatian. Mereka ini biasanya adalah kelompok yang lebih konservatif atau memiliki pandangan yang lebih ketat dalam hal makanan halal.

Menanggapi perbedaan pandangan ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan fatwa yang memberikan penjelasan mengenai status kehalalan kepiting. MUI menyatakan bahwa kepiting halal dikonsumsi asalkan tidak hidup di tempat-tempat yang najis dan diproses dengan cara yang bersih dan sesuai dengan syariah. Fatwa ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi umat Muslim di Indonesia yang sering kali merasa bingung dengan perdebatan yang ada. Dengan adanya fatwa ini, diharapkan umat Muslim dapat lebih tenang dalam mengonsumsi kepiting tanpa merasa khawatir melanggar ajaran agama.

Perdebatan mengenai halal dan haramnya kepiting menunjukkan keragaman interpretasi hukum Islam yang dipengaruhi oleh latar belakang mazhab dan pemahaman masing-masing ulama. Hal ini mencerminkan dinamika dalam Islam yang selalu berkembang sesuai dengan konteks dan kebutuhan zaman. Bagi umat Muslim, penting untuk mencari informasi dari sumber yang terpercaya dan mengikuti pendapat ulama yang mereka yakini. Setiap individu memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa apa yang mereka konsumsi adalah halal dan thayyib, yaitu baik dan sesuai dengan ajaran Islam.

Dalam era modern ini, dengan semakin berkembangnya teknologi informasi, umat Muslim dapat lebih mudah mengakses berbagai fatwa dan penjelasan mengenai kehalalan makanan. Internet menjadi alat yang sangat berguna untuk menggali informasi dari berbagai sumber, sehingga memudahkan umat untuk memahami berbagai pandangan yang ada. Diharapkan, perdebatan seperti ini dapat terus berlangsung dengan penuh rasa hormat dan saling memahami, sehingga umat dapat mengambil keputusan yang tepat dan sesuai dengan keyakinan masing-masing. Harmoni dalam perbedaan pendapat merupakan salah satu nilai yang diajarkan dalam Islam, dan perdebatan mengenai status halal atau haram kepiting adalah contoh nyata dari penerapan nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

melaporkan untuk [Nama Media].

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun