Sebelum membahas lebih mendalam pada inti mengenai kasus yang baru-baru ini beredar di berbagai media, perlu kiranya saya mengupas sedikit hal-hal yang berkaitan dengan kasus tersebut, yang nantinya ada kesinambungan untuk lebih memahaminya. Kasus tersebut adalah kasus korupsi yang telah ditetapkan kepada seorang tokoh yang awalnya dikenal sebagai sosok penting bagi perkembangan Indonesia saat ini, pernah menjabat sebagai menteri BUMN, yaitu Dahlan Iskan.
Pengertian Korupsi adalah suatu tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi jabatannya dalam negara, dimana untuk memperoleh keuntungan status atau uang yang menyangkut diri pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri), atau melanggar aturan pelaksanaan yang menyangkut tingkah laku pribadi. Pengertian lain yang dikemukakan oleh Gunnar Myrdal korupsi merupakan suatu masalah dalam pemerintahan karena kebiasaan melakukan penyuapaan dan ketidakjujuran membuka jalan membongkar korupsi dan tindakan-tindakan penghukuman terhadap pelanggar.
Mengenai kasus Dahlan Iskan “Gardu Listrik” memanglah sesuai dengan beberapa pengertian yang saya kutip dari para ahli yang menyatakan bahwa beliau telah melanggar norma-norma yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun, beliau telah menggunakan wewenang dengan menyalahgunakan kekuasaan (jabatannya) yang tinggi itu untuk melakukan manipulasi bidang pembangunan yang menyangkut kepentingan umum yang selanjutnya disebut dengan “Korupsi”.
Sebagai ganjarannya maka Dahlan Iskan memang pantas untuk di kenai hukuman yang setimpal dengan perbuatannya karena bukti-bukti yang telah ditujukan kepadanya sudah sesuai dengan faktanya seperti halnya beliau seudah terbukti dalam pemeriksaan memperoleh keuntungan dalam proyek pengadaan Gardu Listrik Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Barat tersebut yang mana bertujuan untuk memperkaya dirinya, orang lain yang membantunya dalam memanipulasi keuntungan tersebut.
Dalam hal ini Dahlan Iskan dinyatakan melanggar pasala 2 dan pasal 3 UU No. 20 tahun 1999 yang telah diamandemen dalam UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Ahli Hukum Tata Negara dan Hukum Adminstrasi Fakultas Hukum Unanar Surabaya Dr. Rusdiyanto Sesung berargumen bahwa “hukum itu memiliki dualisme karena ada aturan hukum yang bertentangan dengan aturan hukum yang lain, sehingga bila orang menggunakan salah satu dasar hukum, maka dia bisa dianggap bersalah menurut hukum itu, tapi tidak bersalah dari sudut aturan hukum yang lain.” Oleh karenanya maka dapat saya simpulkan bahwasanya kasus Dahlan Iskan tersebut 40% bukan sepenuhnya termasuk dalam tindak pidana korupsi melainkan masuk ke dalam ranah hukum Administrasi / Hukum Tata Usaha Negara.
Alhasil, belum tentu kasus yang dinyatakan sebagai bentuk penggelapan uang bisa dimasukkan ke ranah korupsi karena bisa saja itu merupakan kesalahan administrasi, karena 40% disebabkan berbedanya persepsi dalam ketentuan UU, PP, atau Peraturan Perundang-undangan lainnya. Untuk memutuskan masuk kemanakah kasus Dahlan Iskan tersebut? Maka semua yang akan diperiksa dan nantinya diputuskan, harus benar-benar sesuai dengan bukti yang senyatanya yang telah diberikan kepada pihak berwajib untuk menangani bagaimanakah seharusnya, Agar lebih memuaskan bagi semua pihak yang merasa dirugikan terutama negara kita sendiri.
Sehingga nantinya bisa menjadi acuan, pelajaran, atau bisa juga ancaman bagi para oknum yang saat ini masih belum sadar atas perilaku sewenang-wenangnya dengan menyelewengkan amanah yang telah diberikan oleh negara / menyalahgunakan jabatannya hanya untuk kepentingan pribadi atau hal lainnya. Setidaknya menghapus pikiran orang-orang yang beranggapan bahwa hukum di Indonesia tidak berjalan sesuai peraturan yang berlaku, namun hukum tetaplah hukum yang harus ditegakkan untuk kebaikan Indonesia sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H