Dimulai dari pergeseran teori Behaviorisme.Behaviorisme pada hakikatnya memandang belajar sebagai interaksi stimulus-respon. Sehingga yang ditekankan disini ialah pada pemberian stimulus dan respon yang ditunjukkan peserta didik atas adanya pemberian stimulus tersebut. Keberhasilan pembelajaran beriklim behaviorisme dapat diamati secara konkret dengan memperhatikan perubahan tingkah laku yang ditunjukkan individu, sehingga apabila individu telah menunjukkan perubahan perilaku atas stimuli yang diberikan maka individu tersebut dikategorikan telah belajar. Selain itu, apabila individu telah memahami isi pengetahuan namun belum menunjukkan perubahan perilaku maka individu tersebut dikategorikan gagal atau belum belajar. Kekurangperhatian behaviorisme dalam menjelaskan pengukuran keberhasilan dan kegagalan pembelajaran menjadikan teori ini dianggap jauh dari komplet dan digeser oleh teori lain yang lebih maju.
Selain itu pula, posisi peserta didik dalam pembelajaran behaviorisme ialah sebagai individu yang pasif dan pendidik adalah pusat dari pembelajaran yang berlangsung. Pembelajaran hanya berkutat pada konsentrasi pemberian stimulus-respon bukan pada proses yang terjadi dalam interaksi hubungan stimulus-respon. Selain itu yang menjadi titik berat kelemahan behaviorisme ialah belum mampu menjelaskan hierarkhi struktur situasi pembelajaran yang kompleks. Karena pembelajaran diasumsikan secara ringkas sebagai hasil dari pemberian hubungan stimulus-respon.
Selanjutnya ialah pergeseran teori Koneksionisme. Koneksionisme merujuk pada konsep penguatan (reinforcement) yang tidak ada dalam Behaviorisme. Dalam teori koneksionis, suatu respon dianggap akan menghasilkan stimuli, yang pada gilirannya bisa menghasilkan respon-respon lain. Konsep kunci dalam sistem pembelajaran beriklim koneksionis adalah kekuatan kebiasaan. Kekuatan kebiasaan merupakan kekuatan koneksi yang menghubungkan suatu stimulus dengan suatu respon yang bisa meningkat namun tidak bisa menurun kekuatannya. Pembelajaran koneksionisme yang hanya memberikan koneksi stimulus-respon secara spesifik hanya akan membuat individu mampu menirukan jawaban-jawaban atas masalah yang dimunculkan bukan membelajarkan individu untuk memecahkan masalahnya secara mandiri. Pergeseran teoritisi koneksionisme juga mencakup pembahasan mengenai hal-hal yang dipelajari orang dari orang lain, karena masa koneksionisme orang-orang mengesampingkan pembelajaran semacam itu dan hanya berkutat pada fokus pembelajaran dengan tindakan mengkoneksikan hubungan stimulus-respon.
Kemudian pergeseran teori Kognitivisme. Teori kognitivisme merujuk pada pembelajaran yang bertitik tolak pada pengoptimalan aspek kognitif (pengetahuan dan pengalaman) yang telah dimiliki individu dalam struktur kognitifnya. Belajar diterjemahkan sebagai proses perubahan persepsi dan pemahaman serta tidak melulu diamati dalam perubahan sikap dan tingkah laku.Perubahan dan perkembangan yang dihasilkan dari pembelajaran kognitivisme seringkali berlangsung lambat sehingga ditemui kesulitan untuk menentukan variabel apa yang menyebabkan perubahan itu. Sangat disayangkan memang, individu yang pintar akan semakin pintar dan individu yang kurang dapat memaknai pembelajaran akan semakin jauh tertinggal dari si pintar. Kesenjangan inilah yang menjadi kelemahan teori kognitif jika diterapkan dalam pembelajaran. Selain itu pula, teori ini dianggap hanya mengandalkan pengoptimalan kemampuan intelejen padahal masih banyak kemampuan lain dari dalam diri seorang individu yang dapat dioptimalkan dalam kegiatan belajar agar individu dapat secara mandiri mengeksplor pengetahuannya menjadi pengalaman untuk memecahkan berbagai persoalan pelik dalam hidup dan kehidupannya.
Pergeseran Teori Konstruktivisme. Konstruktivisme cenderung mendefinisikan belajar sebagai proses pemabangunan struktur pengetahuan secara mandiri oleh individu. Pengembangan potensi yang ada dalam diri individu sepenuhnya menjadi tanggung jawab individu itu sendiri, pendidik hanyalah sebagai fasilitator pemberi pengalaman nyata bagi individu. Amat disayangkan memang, jika keberhasilan pembelajaran ditentukan sepenuhnya atas dasar kemandirian individu dalam membangun pengetahuannya dan pada realitanya ada beberapa individu yang memang kurang memiliki kemandirian untuk berpikir kreatif dan imajinatif, hal inilah yang belum dapat dikoreksi secara tajam dalam konstruktivisme.
Pergeseran Teori Humanisme. Humanisme hadir sebagai teori yang mendefinisikan pembelajaran dengan istilah “memanusiakan manusia”. Individu memiliki kemampuan dalam dirinya untuk mengerti diri, menentukan hidup, dan menangani masalah – masalah psikisnya asalkan pendidik menciptakan kondisi yang dapat mempermudah perkembangan individu untuk aktualisasi diri. Pembelajaran humanisme dikatakan berhasil jika individu telah mampu memahami diri sendiri dan lingkungannya. Teori pembelajaran Humanisme mempunyai prinsip bahwa proses pembelajaran harus mengajarkan siswa bagaimana belajardan menilai kegunaan belajar itu bagi dirinya sendiri. Pembelajaran humanistik lebih menekankan pada tujuan dan desain pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk menentukan bagi diri mereka sendiri atau, paling tidak dengan bimbingan yang seminimalmungkin dari guru. Pada dasarnya teori yang ada sedikit banyak memiliki kekurangan yang mengakibatkan pergeseran-pergeseran teori hingga tidak sedikit yang kini telah ditinggalkan. Bergesernya teori pembelajaran dari masa ke masa menunjukkan adanya inovasi dalam dunia pendidikan ke arah yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H