Perwira TNI-Polri akan diplot menjadi pejabat kepala daerah, yakni pemegang jabatan kepala daerah untuk sementara waktu. Wacana ini digulirkan Kementrian Dalam Negeri guna menyiasati kekosongan pemimpin menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024. Pada 2024 mendatang, ada 271 daerah-daerah yang akan menghelat Pilkada, mulai dari tingkat kabupaten/kota hingga provinsi. Wacana ini bukan barang baru, lantaran pada Pilkada 2016-2018 ada perwira aktif TNI-Polri yang juga ditunjuk pemerintah sebagai pejabat kepala daerah. Perwira aktif yang pernah ditunjuk menjabat sebagai kepala daerah diantaranya adalah Komjen M. Irawan sebagai Gubernur Jawa Barat, Irjen Carlo Brix Tewu sebagai Gubernur Sulawesi Barat, dan Mayjen Soedarmo sebagai Gubernur Aceh. Munculnya wacana tersebut menuai kritik dari berbagai kalangan masyarakat. Pasalnya, wacana mengenai TNI aktif untuk mengisi jabatan sipil kepala daerah ini, mengingatkan kita akan Dwifungsi ABRI yang pernah diterapkan rezim despotik Orde Baru.
Dwifungsi ABRI merupakan sebuah konsep dan kebijakan politik yang mana mengatur fungsi ABRI dalam tatanan kehidupan bernegara. Menjalankan tugas sebagai pengatur negara disamping menjalankan peranannya sebagai kekuatan pertahanan negara. Gagasan mengenai Dwifungsi ABRI sudah ada sejak awal pemerintahan Orde Baru yang digagas oleh A.H. Nasution dan disebut dengan konsep jalan tengah. Dwifungsi ABRI yang dilegalkan oleh Soeharto pada tahun 1982 melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982, dalam pelaksaannya terdapat penyimpangan oleh oknum militer maupun Soeharto sendiri. Selain itu, militer juga dijadikan sebagai alat kekuasaan rezim untuk melakukan pembenaran terhadap kebijakan pemerintah.
Pelibatan TNI-Polri dalam urusan pemerintahan daerah merupakan bagian dari Dwifungsi ABRI model baru yang sedang direncanakan pemerintah. Meskipun telah dipraktekkan sebelumnya, khususnya untuk Pilkada 2024 harus dipertimbangkan kembali, karena akan menduduki jabatan dalam masa yang cukup lama. Jika merujuk Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI Pasal 47 ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri Pasal 28 ayat (3), TNI-Polri yang aktif tidak dapat menjabat sebagai pejabat kepala daerah sebelum dirinya mengundurkan diri. Dalam pasal 201 Undang-Undang Pilkada, jabatan gubernur diisi oleh orang yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan gubernur. Sedangkan posisi bupati atau wali kota akan diisi oleh pejabat pimpinan tinggi pratama. Dalam Undang-Undang tersebut memang tidak disebutkan mengenai kriteria golongan madya atau pratama, sehingga hal demikian dapat menjadi celah masuknya dwifungsi.
Dalam hal ini, pemerintah harus menghindari kontroversi dan spekulasi di tengah kerumitan dan kompleksitas pengisian kekosongan jabatan kepala daerah ditengah tensi politik menjelang Pilkada 2024 mendatang, agar energi bangsa tidak habis untuk hal-hal yang semestinya bisa dihindari bersama. Apabila pengisian pejabat kepala daerah menjadi beban bagi tata kelola pemerintahan, maka pilihan normalisasi pilkada harus tetap dipertimbangkan yakni Pilkada digelar pada akhir 2022 atau awal 2023. Pilihan yang lebih kondusif yaitu menggunakan sumber daya manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 dengan mengangkat Plt Kepala Daerah unutuk jabatan Sekretaris Daerah di level pemerintah provinsi maupun kotamadya dengan pengawasan yang melekat, optimal dan proporsional. Sekretaris Daerah menjadi Pejabat Kepala Daerah dengan pengawasan optimal dan proporsional dari pemerintah, Komisi Aparatur Sipil Negara, Bawaslu, Ombudsman, dan perangkat negara lainnya yang mempunyai otoritas.
Perlu kita mengingat kembali, TNI-Polri semestinya tidak bersinggungan dangan rakyat, apalagi untuk persoalan kegiatan politik, karena sejatinya tugas utama TNI-Polri adalah berperang bukan untuk berpolitik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H