PEMANASAN GLOBAL
Dewasa kini perubahan iklim tengah menjadi perbincangan yang hangat. Perubahan iklim meliputi perubahan suhu dan pola cuaca, secara fluktuatif hal ini tentu saja dapat memberikan dampak yang besar bagi kehidupan di bumi karena cuaca jadi tidak menentu dan suhu harian rata-rata meningkat. Perubahan iklim dapat disebabkan oleh beberapa faktor dan pemanasan global menjadi salah satu penyebab utamanya.
Peningkatan suhu disebabkan oleh meningkatnya gas-gas rumah kaca di udara, salah satunya adalah gas CO2. Menurut Kabir dkk (2023) pemanasan global ini akan mengancam peningkatan suhu bumi lebih dari 2°C pada akhir abad 21, seperti yang telah diusulkan oleh International Panel on Global Climate Change (IIPC) yang merekomendasikan pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 45-50% pada 2050.
Untuk menjawab dari permasalahan ini dilakukan kesepakatan internasional yang diikuti oleh 196 negara di bawah naungan PBB, yaitu Paris Agreement yang di laksanakan di Paris, 12 Desember 2015. Perjanjian ini bertujuan untuk mengatasi perubahan iklim global dengan cara membatasi kenaikan suhu bumi agar tidak melebihi 2°C di atas tingkat pra-industri dan berupaya untuk membatasi kenaikan suhu menjadi 1.5°C di atas tingkat pra-industri. Dampak adanya perubahan iklim yang lebih parah adalah kekeringan, gelombang panas, dan hujan ekstrem, akan semakin sering terjadi.
Oleh karena itu, emisi gas rumah kaca harus mencapai puncaknya sebelum 2025 dan turun 43% pada 2030. Perjanjian ini merupakan langkah besar karena, untuk pertama kalinya, negara di dunia berkomitmen untuk bekerja sama mengurangi dampak perubahan iklim dan beradaptasi dengan perubahan yang sudah terjadi. Diantara 196 negara Indonesia menjadi salah satu negara yang ikut berkomitmen dalam Paris Agreement.
PANAS BUMI
Indonesia memiliki target 23% Energi Baru Terbarukan pada 2025 (ESDM). Energi panas bumi tentu memiliki potensi besar untuk dapat menjawab permasalahan ini dan menjadi salah satu sumber energi terbarukan yang stabil, tidak tergantung pada cuaca atau musim, dan memiliki jejak emisi sepuluh kali lebih rendah dibandingkan pembangkitan listrik berbahan bakar fosil. Â Energi panas bumi diperoleh dengan memanfaatkan panas yang terkandung di dalam bumi, baik berupa uap (steam) atau air panas. Â Panas yang diambil dari dalam bumi digunakan untuk menggerakkan turbin yang akan menghasilkan listrik atau untuk keperluan pemanasan.
Menurut Yousefi, dkk (2019) saat ini, terdapat 26 negara yang menggunakan energi panas bumi untuk menghasilkan listrik dan lebih dari 60 negara yang memanfaatkan panas bumi langsung untuk keperluan pemanasan. Salah satu alasan mengapa energi panas bumi sangat penting dalam mengurangi emisi CO2 adalah karena prosesnya menghasilkan sangat sedikit emisi gas rumah kaca dibandingkan dengan pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar fosil, seperti batu bara atau gas alam.
HARTA KARUN PANAS BUMI DI INDONESIA
Indonesia, sebagai negara kepulauan yang dilalui oleh Ring of Fire atau jalur gunung api dunia, memiliki harta karun panas bumi yang sangat besar. Banyaknya gunung api di Indonesia diperkirakan memiliki cadangan energi panas bumi mencapai 28.000 MW, menjadikannya salah satu negara dengan potensi panas bumi terbesar kedua di dunia.
Indonesia memiliki lebih dari 200 sistem panas bumi yang tersebar di sepanjang jalur gunung berapi yang aktif. Rata-rata, ada sekitar 4 sistem panas bumi setiap 100 kilometer (Hochstein, 2015). Panas bumi ini berasal dari magma (lava yang belum keluar) di bawah tanah yang mendingin dan mengeluarkan gas. Pada tahun 1980-an, sekitar sepertiga dari sistem panas bumi di Indonesia sudah diketahui memiliki suhu yang cukup tinggi, yang membuatnya sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai sumberTANTANGAN PANAS BUMI DI INDONESIA YANG MENJADI BUMERANG
Indonesia, memang memiliki cadangan panas bumi terbesar kedua di dunia, dapat memanfaatkan sumber daya ini untuk mengurangi emisi karbon. Namun, dalam keberjalanannya terdapat tantangan yang menjadi bumerang, yaitu adanya penolakan dari masyarakat sekitar dan risiko seismik akibat aktivitas injeksi.
Dinan dkk (2021) menyatakan bahwa sebagian besar persepsi masyarakat terhadap kegiatan panas bumi adalah khawatir lingkungan menjadi rusak dan akan memengaruhi perekonomian. Lalu, kebanyakan dari mereka berpikir bahwa keuntungan yang dijanjikan oleh kegiatan panas bumi tidak sebanding dengan efek lingkungan yang ditimbulkan seperti, pencemaran air dan kerusakan lahan pertanian. Banyaknya masyarakat yang meragukan keamanan dan dampak lingkungan dari proyek panas bumi dapat disebabkan oleh kurangnya informasi yang akurat dan transparan mengenai teknologi yang digunakan dalam eksplorasi dan pentingnya pemanfaatan sumber daya panas bumi sebagai Energi Baru Terbarukan (EBT) di masa kini.