Kegiatan Modul Nusantara pada Sabtu, 8 Oktober 2022 bersama Mahasiswa Inbound Universitas Pendidikan Indonesia, Para Mahasiswa di ajak melakukan Diskusi dengan membahas Sinema atau Film Dokumenter dengan judul "Cingcowong" From Sacred To Profane bersama para Crew dari Vulpecula Pictures, Bersama Kang Dede Yusriadi Kang Adzka Pramudita Kang Arif Patrialis dan Teh Aghniya Al Mahmuda. Dengan bedah film kali ini dapat menambah wawasan manasiswa tentang beragam serta uniknya Tradisi setiap daerah di Indonesia tercinta. Pentingnya tradisi di dalam perkembangan kehidupan suatu bangsa agaknya tak perlu lagi diuraikan, tradisi merupakan akar perkembangan kebudayaan yang memberi ciri khas identitas atau kepribadian suatu bangsa.
Tradisi Cingcowong itu sendiri adalah sebuah ritual meminta hujan yang terdapat di desa Luragung landeuh. Cingcowong merupakan nama boneka sawah yang dalam bahasa Sunda disebut bebegig. Bentuk boneka Cingcowong menyerupai orang-orangan dengan rupa perempuan cantik  Berukuran lebar 20 cm, tingginya kira- kira 1 m. Tradisi ini merupakan upacara ritual kesuburan untuk memohon ke pada Yang Maha Kuasa agar di daerahnya diturunkan hujan. Kegiatan ini dilaksanakan satu tahun sekali pada musim kemarau karena Masyarakat Luragung sebagian besar bermata pencaharian bertani. Demikian pula dalam kehidupan beragama masyarakat tersebut mayoritas pemeluk agama Islam, kehidupan seperti itu sudah menjadi bagian dari ibadah mereka, Sekalipun masyarakat Luragung mayoritas pemeluk agama Islam, namun masyarakat daerah tersebut masih mempercayai adanya tempat-tempat serta benda-benda keramat yang dianggap mempunyai kekuatan magis.
Penyelenggaraan upacara ritual Cingcowong yang penulis saksikan pada waktu itu, berlangsung di halaman rumah tetangga Ibu Nawita yang agak luas. Upacara dilaksanakan pada hari Jumat kira-kira pukul 16.00 WIB. Upacara Cingcowong biasa diselenggarakan pada hari Jumat sore karena menurut kepercayaan masyarakat setempat bahwa hari Jumat merupakan hari baik untuk melakukan ibadah atau aktifitas religius lain. Sebelum upacara dimulai, ibu Nawita selaku Punduh (Shaman) Cingcowong membersihkan diri dengan berpuasa agar tujuannya dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa. Pada Jumat pagi ibu Nawita meminta pada masyarakat untuk mengumpulkan bunga Samboja sebagai hiasan pada boneka Cingcowong.
Dalam Sinema Cingcowong juga terlihat jelas proses dilakukannya ritual Cingcowong, terlihat punduh menyimpan dulu Cingcowong di comberan disertai dengan ember terbuat dari plastik yang berukuran 30 cm tinggi kira-kira 45 cm berjumlah satu yang sudah diisi air, disusul dengan sesajen dan parukuyan yang diletakkan di sampingnya. Setelah menyimpan Cingcowong di comberan kira-kira 30 menit, Â Selanjutnya boneka Cingcowong diambil dari comberan sambil digendong oleh punduh dan bersama-sama dengan si pembawa parukuyan dan si pembawa ember yang berisi air, mereka bernyanyi diiringi dengan tabuhan ceneng dan buyung. Pada saat itu terlihat punduh berjalan sangat pelan dan sampailah pada tempat yang telah disiapkan untuk upacara. Punduh langsung melangkahi anak tangga sebanyak lima buah. Kemudian kembali pada posisi semula. Jadi melangkahi anak tangga tersebut sebanyak dua kali. Kemudian Cingcowong diletakkan di tengah- tengah tangga dengan memegang ujung bawah Cingcowong, Pada saat mantra-mantra dilantunkan dan tetabuhan terdengar, Cingcowong bergerak-gerak sebagai tanda bahwa boneka Cingcowong telah dimasuki roh dan mulai kesurupan lalu Punduh melepaskan pegangannya dari Cingcowong yang menyebabkan para perempuan pyang memegang Cingcowong terlihat kewalahan. Sambil dipegangi oleh tiga orang perempuan, cingcowong mengamuk sambil mengejar-ngejar penonton ke empat penjuru arah mata angin.
Menurut cerita setempat lahirnya upacara Cingcowong diciptakan oleh Indung Rasih kira- kira tahun 1940 an. Saat itu terjadi kemarau panjang sehingga para petani gelisah, karena kekurangan air untuk menyuburkan tanah. Indung Rasihmengajak anggota masyarakat untuk mencari sumber air, tetapi tidak berhasil. Beberapa bulan kemudian dia mengumpulkan masyarakat dan dihadapan masyarakat dia mengatakan, bahwa dirinya telah melakukan tirakat selama 3 hari 3 malam. Berdasarkan petunjuk yang dia dapatkan untuk meminta hujan harus dengan upacara Cingcowong. Upacara tersebut merupakan bagian dari adat istiadat masyarakat yang di kemudian hari dikenal masyarakat Luragung Landeuh sebagai upacara ritual meminta hujan yang mentradisi.
seiring perkembangan waktu dan terutama pengetahuan masyarakat terhadap konsep nilai budaya dan agama yang ada saat ini, menjadikan ritual Cingcowong kemudian hanya dianggap sebelah mata oleh pihak-pihak tertentu, bahkan oleh sebagian masyarakat dikategorikan sebagai kegiatan syirik karena bertentangan dengan ajaran agama Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk setempat.Kondisi ritual Cingcowong yang ada saat ini semakin terpuruk karena banyak yang menentang kegiatannya, namun oleh sebagian lainnya ritual Cingcowong justru dianggap sebagai suatu hal yang penting dan harus tetap dilestarikan keberadaannya, sekalipun dalam bentuk yang berbeda supaya dapat lebih diterima oleh masyarakat. Timbullah pemikiran untuk membuat sebuah karya seni tari dengan ritual Cingcowong sebagai ide utamanya. Seni tari yang bersifat profan diciptakan supaya masyarakat dapat menikmati warisan budaya ritual Cingcowong yang semakin terpinggirkan tanpa harus diikuti oleh perasaan bersalah. Â di scene akhir penayangan film dokumenter Cingcowong Mahasiswa Inbound juga di perlihatkan Tarian Khas cingcowong Oleh Penari yang tak lupa ia menari bersama Cingcowong. Kini Cingcowong mulai diangkat sebagai pertunjukan khas daerah kabupaten Kuningan, Cingcowong sudah dikemas menjadi seni pertunjukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H