Mohon tunggu...
Siti Musyaropah
Siti Musyaropah Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

D'Opah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senja di Kayung

24 November 2023   10:14 Diperbarui: 4 Januari 2024   11:04 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cahaya yang menguning. Saat sang surya mulai kembali keperaduaanya. Terlihatlah aktivitas yang mulai melumpuh di komplek itu. Orang-orang yang berhamburan mulai masuk ke dalam rumahnya. Barisan rumah yang berjajar rapi mulai menyalakan lampu penerang. Mataku terpaku pada sebuah rumah bernomor A.02 di ujung baris yang rapi. 

Rumah dinas yang tak begitu besar, tak begitu mewah, tak memiliki penerangan yang cukup di sekita rumahnya, hanyalah cahaya redup yang terpancar dari lampu teras rumah. Rumah limas yang berukuran 6X8 m yang beratapkan asbes yang mulai lapuk termakan usia. Beralaskan plester yang mulai retak. Bahkan, dinding tembok yang nggak jelas warna catnya. Sangat berbeda dengan keadaan rumah-rumah lainya.

Setiap orang melintas pasti terpana dan bertanya "Siapa penguninya?". Sesekali kamipun mendengarnya. Mereka terkadang bertanya kepada saya "Ibu yang tinggal di rumah itu?". Mungkin dibenak mereka terlintas, kok krasan ya tinggal di rumah itu! Kenapa tidak cari dan minta pindah ke rumah dinas lain saja. 

Kan masih banyak rumah dinas yang kosong di perumahan Pondok Kayung. Bagi kami adalah kenyamanan dan ketenangan yang dicari. Tempat untuk berlindung dari panas teriknya matahari, dinginya hembusan angin, dan guyuran air hujan. Tak perlu rumah besar, mewah, dan di lokasi keramaian. Hidup di rumah sederhana bersama keluara kecil, sudah dari cukup buat kami di perantauan. Ditambah lagi memiliki tetangga yang begitu baik-baik adalah sebuah rezeki bagi kami.

Kurang lebih sepuluh tahun sudah saya tinggal di rumah itu. Rumah yang memberi banyak kenangan bagi saya, suami, dan anak saya. "Duduk di depan rumah yuk, Mak" ajakkan adek tiap kali sore tiba. "yuk, ajak Bapak dulu baru kita duduk di teras rumah. "Disapu lantainya dan dibersihkan juga kursinya ya, Dek!". "Siap, Mak!"

"Mak, kok langitnya warnanya beda ya".

"Emangnya warnanya seperti apa toh, Dek?"

"Warnanya kaya oren-oren gitu kaya kebakaran. kok bisa ya, Mak".

Suasana disore hari yang begitu indah. Kami bertiga duduk santai di kursi kayu. Melihat tanaman puring yang pernah viral dimasanya berbaris rapi di halaman rumah. Pohon-pohon sawit sebagai saksi hidup dikala senja menyapa. Lalu lalang kendaraan di seberang jalan yang nanjauh yang memberikan melodi dan irama yang indah.

Kami tertawa lepas mendengar pertanyaan si Adek. Melihat kepolosan wajahnya yang meneduhkan kita yang menatapnya. "Ohh itu, bukan karna ada kebakaran. Tapi, memang warna langitnya seperti itu, Dek. Itu karna sudah sore dan tandanya matahari mulai terbenam". Sambil membelai lembut rambut si Adek. Tiba-tiba terdengar langkah kaki dari samping rumah. Dengan reflek kami bersama menoleh ke arah samping rumah. "Siapa itu ya, Mak?" Tanya si Adek.

 "Adek lagi apa?" Sambil berjalan menghampiri kami. Terlihat membawa kantong kresek berwarna hitam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun