Kurikulum Merdeka diperkenalkan sebagai jawaban atas tantangan pendidikan di Indonesia, dengan tujuan memberikan kebebasan yang lebih besar kepada sekolah dan guru dalam merancang proses pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Namun, meskipun konsep ini terdengar menjanjikan, implementasinya di lapangan masih menemui banyak hambatan yang perlu dievaluasi secara kritis.
Ketimpangan Akses dan Fasilitas
Salah satu tantangan utama dalam penerapan Kurikulum Merdeka adalah ketimpangan infrastruktur pendidikan di Indonesia. Di beberapa daerah perkotaan, sekolah dengan fasilitas lengkap dan akses teknologi yang memadai dapat menerapkan kurikulum ini dengan baik. Namun, di banyak daerah terpencil, guru dan siswa masih berjuang dengan keterbatasan akses internet, sumber daya belajar yang minim, dan sarana yang tidak memadai. Ketimpangan ini menimbulkan pertanyaan serius tentang keadilan pendidikan di bawah Kurikulum Merdeka. Apakah semua siswa, tanpa memandang lokasi geografis, dapat benar-benar merasakan manfaat dari kurikulum ini?
Kesiapan Guru dan Tenaga Pengajar
Selain masalah infrastruktur, faktor kesiapan tenaga pengajar juga menjadi persoalan yang tidak bisa diabaikan. Kurikulum Merdeka menuntut guru untuk lebih kreatif dan fleksibel dalam menyusun metode pembelajaran. Namun, tidak semua guru mendapatkan pelatihan yang memadai untuk menerapkan pendekatan ini. Banyak guru yang masih kebingungan dalam mengelola kelas, terlebih ketika beban administratif juga tidak berkurang. Ketidakpastian ini menambah stres bagi para pendidik, yang pada akhirnya berdampak pada kualitas pembelajaran yang diterima siswa.
Dampak pada Siswa
Jika kita berbicara tentang dampak Kurikulum Merdeka terhadap siswa, hasilnya masih terpecah. Di satu sisi, siswa yang berada di sekolah dengan sumber daya yang memadai dapat merasakan pembelajaran yang lebih menyenangkan dan personal. Namun, di sisi lain, siswa di daerah tertinggal merasa semakin tertinggal karena tidak ada penyesuaian yang signifikan terhadap kondisi mereka. Kurikulum Merdeka, meski memberikan kebebasan, tampaknya masih belum sepenuhnya mampu menjawab kebutuhan siswa di seluruh Indonesia.
Perbandingan dengan Kurikulum Sebelumnya
Kurikulum 2013, yang mendahului Kurikulum Merdeka, lebih fokus pada kompetensi inti dan pelajaran berbasis standar. Meski kurang fleksibel, kurikulum ini memberikan kerangka yang jelas untuk diikuti oleh guru. Di bawah Kurikulum Merdeka, fleksibilitas ini justru menjadi pedang bermata dua. Fleksibilitas tanpa panduan yang kuat seringkali berakhir dengan ketidakpastian dalam pelaksanaan di kelas.
Rekomendasi untuk Masa Depan