Rezeki dan Ujian Kehidupan
Menurut Max Weber, rezeki atau kekayaan sering kali dikaitkan dengan etika kerja dan perilaku seseorang dalam kehidupan sosialnya. Weber menekankan bahwa kerja keras, etika, dan pengelolaan yang baik dapat memengaruhi pencapaian rezeki seseorang. Sementara itu, dalam pandangan psikologi positif, seperti yang disampaikan oleh Martin Seligman, rezeki tidak hanya berupa materi tetapi juga kepuasan batin, relasi yang sehat, dan kehidupan bermakna. Dari sudut pandang agama, khususnya Islam, rezeki dipandang sebagai pemberian Allah yang mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk kesehatan, kebahagiaan, dan ketenangan jiwa, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an bahwa Allah menjamin rezeki setiap makhluk-Nya.
Rezeki setiap orang memiliki bentuk yang berbeda-beda. Ada yang diberi kesehatan meskipun kondisi ekonominya kurang baik, ada yang memiliki pasangan ideal, ada yang diberi kekayaan, sahabat yang baik, kemudahan meraih impian, anak-anak yang lucu dan sehat, keluarga yang harmonis, waktu luang, dan berbagai bentuk rezeki lainnya.
Demikian pula ujian dalam kehidupan. Setiap orang mendapat ujian yang berbeda-beda, sesuai dengan kemampuan dan kapasitas diri mereka. Allah Maha Mengetahui kemampuan hamba-hamba-Nya dan menjamin rezeki setiap makhluk-Nya. Bahkan seekor cicak di dinding tidak pernah kehabisan makanan berupa serangga yang terbang di sekitarnya.Â
Sejatinya ujian itu merupakan wujud dari kecintaan Allah kepada hamba-Nya yang beriman. Bentuk dan kadarnya pun disesuaikan dengan keimanan seseorang, semakin tinggi imannya maka semakin besar pula ujian yang akan dia hadapi. Ada orang yang diuji dengan fisik  yang rapuh tetapi tetap bertahan hidup, ada yang diuji dengan kesehatan prima meskipun pola makannya tidak teratur, ada yang diuji dengan kehidupan yang tampak mulus dan kekayaan, ada yang diuji dengan pasangan hidup yang tidak satu frekuensi, ada yang diuji dengan kesulitan dalam mendidik anak-anak, atau dengan kesulitan ekonomi walau ia telah berusaha maksimal, bahkan ada yang diuji dengan keluarga yang harmonis tapi belum dikaruniai keturunan.
Semua itu adalah ujian, agar kita senantiasa bersyukur atau bersabar. Bagi orang yang beriman, kedua sikap tersebut membawa kebaikan sehingga mampu menjalani kehidupan ini dengan tenang tanpa keluhan. Bersyukur ketika diberi kenikmatan, misalnya dengan berbagi kepada orang lain, akan mendatangkan pahala. Bersabar saat menghadapi kesulitan seperti kekurangan harta, penyakit, atau keterlambatan memiliki keturunan juga akan mendatangkan pahala dan menghapuskan dosa-dosa, asalkan kita tidak putus asa dari rahmat Allah.
"Barangsiapa bersyukur atas sedikit nikmat, maka Allah akan menambahnya, dan barangsiapa tidak bersyukur atas nikmat yang banyak, maka Allah akan mengurangi nikmatnya. Dan ingatlah, bahwa keburukan yang menimpa kamu bukanlah karena dosa-dosa kamu yang telah lalu, tetapi karena Allah hendak menghapuskan dosa-dosa kamu yang akan datang; dan keburukan yang menimpa kamu sesungguhnya adalah penghapus dosa-dosa kamu." (HR. Muslim)
"Dan bersabarlah kamu; sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (Q.S. Al Baqarah : 153)
Allah bahkan menjanjikan pahala tanpa batas bagi orang-orang yang sabar. Hal ini menunjukkan betapa besar nilai kesabaran, karena menahan rasa sakit dan kecewa bukanlah hal yang mudah. Ketika dada terasa sesak dan jiwa bergemuruh ingin memberontak terhadap kenyataan, seseorang yang sabar memilih untuk menahan semuanya demi meraih ridha Allah.
"Hai hamba-hamba-Ku yang beriman! Bertakwalah kepada Tuhanmu." Bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Hanya orang-orang yang  sabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas."(Q.S. Az Zumar : 10)
Ayat ini dengan jelas menyatakan bahwa hanya orang-orang yang sabarlah yang akan mendapatkan pahala yang sempurna dan tidak terbatas. Pahala ini akan menjadi balasan atas kesabaran mereka dalam menghadapi segala cobaan dan ujian hidup.