Apa itu treaty shopping?
OECD mendefinisikan treaty shopping sebagai tindakan yang dilakukan oleh individu atau badan yang mengambil keuntungan yang tidak semestinya dari pengaturan perpajakan antar negara (Treaty Abuse). Praktik ini sering kali melibatkan skema rumit untuk mendapatkan manfaat dari perjanjian perpajakan tanpa dianggap sebagai penduduk negara yang bersangkutan. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan pendapatan pajak yang signifikan bagi yurisdiksi yang memenuhi syarat dan menimbulkan tantangan dalam menerapkan kebijakan perpajakan yang adil.
Ketika Wajib Pajak terlibat dalam treaty shopping, mereka mencoba mengklaim manfaat yang tidak sesuai dengan tujuan asli perjanjian. Ini tidak hanya merugikan kedaulatan pajak negara tetapi juga menjadi salah satu isu utama yang dihadapi oleh Anggota Kerangka Inklusif Base Erosion and Profit Shifting (BEPS).
Apa implikasi treaty shopping?
Implikasi dari treaty shopping menurut OECD cukup signifikan dan berdampak luas. Pertama, praktik ini mengubah dinamika ekonomi perjanjian pajak dengan memperluas manfaatnya ke pihak ketiga yang tidak diinginkan, merusak prinsip kesetaraan dan timbal balik yang menjadi dasar perjanjian tersebut.
Kedua, treaty shopping dapat menyebabkan penghindaran pajak, di mana pendapatan yang seharusnya dikenai pajak menjadi tidak terpajaki atau dikenai pajak yang lebih rendah dari yang seharusnya. Ketiga, insentif untuk negosiasi perjanjian pajak antar yurisdiksi menjadi berkurang, karena penerima manfaat akhir dapat memperoleh keuntungan dari perjanjian tanpa adanya kewajiban untuk memberikan kontribusi yang setara.
Artinya, treaty shopping memengaruhi keseimbangan perjanjian pajak, mengurangi pendapatan pajak yang sah, dan mengubah insentif bagi negara-negara untuk berpartisipasi dalam sistem perjanjian pajak global.
Tax Avoidance