Mohon tunggu...
Siti Yasmin Nur Afifah
Siti Yasmin Nur Afifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa MK Komunikasi Politik_5A2_Saeful Mujab

Ilmu Komunikasi (Public Relations)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Buzzer Dalam Dunia Politik Di Media Sosial

1 Januari 2023   20:30 Diperbarui: 4 Januari 2023   23:49 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Komunikasi politik adalah suatu proses penyampaian pesan moral dalam politik berupa visi dan misi melalui program kerja dan isu politik sebagai komunikator kepada masyarakat melalui media tertentu untuk memberikan pengaruh. Dengan adanya kemajuan teknologi informasi komunikasi memungkinkan seseorang untuk membuat informasi palsu di dunia maya untuk memanipulasi. Selain itu, dalam dunia politik, untuk melakukan persaingan timbulah sebuah Buzzer. Buzzer adalah orang yang menggunakan akun media sosialnya untuk menyebarluaskan informasi, misalnya untuk mempromosikan suatu produk atau jasa. Istilah buzzer mulai populer ketika media sosial banyak di gunakan sebagai saluran komunikasi pemasaran. Buzzer profesional biasanya terorganisir dimana mereka merancang isu-isu spesifik untuk di tangani secara publik melalui saluran media sosial dan mencatat siapa perantara pesan tersebut sehingga dapat berdengung dan menjadi viral (Juditha, 2019). Tujuan mereka adalah membuat pembaca penasaran dan akhirnya tertarik mengikuti perintah buzzer. 

Tidak di ragukan lagi dalam melayani sebagai cyber army untuk melindungi mereka, buzzer menggambarkan diri mereka sebagai perantara informasi dan mengklaim bahwa mereka melayani kepentingan publik dengan mengungkapkan rahasia yang diperoleh melalui akses istimewa mereka ke pemain politik di belakang layar. Oleh karena itu, muncul pertanyaan mengenai topik yang dibahas yaitu “ Bagaimanakah cara buzzer dalam melakukan komunikasi politik di media sosial? “. Dengan tujuan untuk memanfaatkan hasil analisis dari buzzer dalam dunia politik di media sosial yang di bahas, artikel ini menggunakan metode kepustakaan (sumber baca). Menurut Mestika Zed (2003), studi pustaka atau kepustakaan dapat di artikan sebagai serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca, dan mencatat serta mengolah bahan penelitian.

Di Indonesia, debat publik tentang isu-isu politik semakin di pengaruhi oleh buzzer atau influencer media sosial anonim. Buzzer menggunakan 3 jenis taktik untuk memposisikan diri sebagai perantara kebenaran, antara lain (Sastramidjaja, Rasidi, & Elsitra, Peddling Secrecy in a Climate of Distrust: Buzzers, Rumours and Implications for Indonesia’s 2024 Elections, 2022):

  • Mereka mengekspos informasi yang di sebarkan lawannya sebagai hoax (berita bohong) dan menuduh yang menyebarkannya sebagai penyebar hoax. Ini berfungsi tidak hanya untuk menetralisir lawan-lawan ini.
  • Jika mungkin, dengan membuat mereka di tangkap karena melanggar undang-undang anti disinformasi (oleh karena itu, buzzer sering menandai akun penegak hukum untuk menarik perhatian mereka pada pelanggaran tersebut) tetapi juga untuk membuktikan pernyataan mereka sendiri. Kredibilitas sebagai penyebar non hoax atau fakta nyata (SAFEnet, 2020). Namun, taktik ini dapat menjadi bumerang ketika akun yang di targetkan sebagai penyebar tipuan tetap mempertahankan reputasi online mereka sebagai perantara informasi yang andal. Itu adalah kisah-kisah yang secara konsisten menjalankan taktik selanjutnya.
  • Mengungkap fakta rahasia, terutama rahasia terbuka tentang institusi yang berkuasa dari pada skandal pribadi tentang politisi individu walaupun ini biasanya di sajikan dalam bentuk serangkaian petunjuk dan petunjuk, yang membuat para pembaca kembali membaca berulang kali.

Penggunaan buzzer politik mungkin tampak tidak berbahaya, mengingat fakta bahwa ruang online berfungsi sebagai pasar ide dan mereka hanya menggunakan hak kebebasan berbicara. Keterlibatan buzzer dalam politik memiliki 2 dampak, yaitu dampak positif dan dampak negatif. Dampak positifnya terkait dengan proses branding atau kampanye yang jauh lebih mudah dan fleksibel sedangkan dampak negatifnya tersebut terkait dengan munculnya kampanye hitam. Buzzer berspesialisasi dalam membuat dan menyebarkan postingan palsu yang kontroversial dan sensasional. Dalam diskusi pada 29 September 2021 yang dilakukan secara virtual melalui Twitter bersama Direktur LP3ES Didik Rachbani, Mahfud MD mengakui bahwa Indonesia bermasalah dengan buzzer politik dan ia menyamakannya dengan “hama”. Dia juga mengklaim bahwa “hama” ini adalah konsekuensi tak terhindarkan dari demokrasi, sehingga menyiratkan bahwa masalahnya terletak pada kebebasan berekspresi dan bukan pada elit ekonomi dan politik yang mendanai dan mengoordinasikan kampanye pasukan siber Indonesia (Sastramidjaja, 2021). Buzzer politik menggunakan media sosial tidak hanya untuk menyebarkan propaganda, tetapi juga untuk mengungkap fakta tersembunyi, mengklaim, dan memberikan sekilas ke dalam kehidupan rahasia para politik Indonesia.

Seiring meningkatnya kesadaran publik akan peran dan dampak pasukan cyber di media sosial, beberapa netizen telah mengadopsi taktik seperti buzzer untuk mengekspos buzzer politik. Dengan cara, memanggil mereka dengan cercaan, mengolok-olok, dan mengdoxing mereka. Mereka mengejek dengan label 'BuzzeRp' yang berarti buzzer menjual uang. Buzzer politik sangat nyata dan memiliki konsekuensi nyata, oleh karena itu sebagai masyarakat harus selalu waspada terhadap tagar yang sedang tren dan viral di media sosial karena buzzer politik bekerja seperti virus yang mereplikasi DNA demokrasi dalam komunitas online tetapi hanya untuk menumbangkan potensinya. Tujuan utama mereka adalah hanya untuk memecah dan menenangkan masyarakat sipil online, karena yang terpenting bukanlah apakah rezim politik dapat memblokir situs web tetapi apakah rezim dapat memblokir solidaritas (Hermawan, 2021).

Simpulan adalah para buzzer dapat merusak demokrasi. Jika disepakati bahwa prinsip utama politik adalah keterlibatan rakyat, termasuk keterbukaan, dan pemeriksaan publik. Politik yang memiliki legitimasi adalah politik yang lolos uji publik dalam bentuk kritik. Ketika buzzer di atur untuk menyerang orang-orang yang aktif dalam mengkritik pemerintah, maka masalah etika yang serius akan muncul karena para buzzer ini bukanlah netizen biasa, namun mereka adalah netizen yang identitasnya jelas, aktif, dan rasional dalam berdiskusi tentang kebijakan publik. Indonesia membutuhkan netizen seperti ini yang bertujuan untuk membela dan mengkritik mereka yang berkuasa. Namun, dukungan atau kritik tersebut hanya memiliki nilai etis jika dilakukan secara terbuka dan penuh tanggung jawab. Pemerintah yang buruk adalah pemerintah yang alergi terhadap sorotan publik. Melalui berbagai cara, mereka mencoba membungkam suara lawan dengan mengakhiri kritik. Dengan mengakhiri kritik, mungkin dapat memberikan suatu pembenaran, namun sangat di sayangkan mereka tidak akan pernah mendapatkan legitimasi dari masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Juditha, C. (2019). Buzzer di media sosial pada pilkada dan pemilu Indonesia. Seminar Nasional Komunikasi dan Informatika.

Walulya, G., & Nassanga, G. (2020). Democracy at stake: Self‐censorship as a self‐defence strategy for journalists. Media and Communication, 8(1), 5–14.

Hermawan, A. (2021, Juni 2). Commentary: Bigger threat than ITE Law? Political ‘buzzers’ crowding our cyberspace. Retrieved from TheJakartaPost: https://www.thejakartapost.com/academia/2021/06/02/commentary-bigger-threat-than-ite-law-political-buzzers-crowding-our-cyberspace.html

Sastramidjaja, Y. (2021, Oktober 13). Beating the buzzers. Retrieved from insideindonesia: https://www.insideindonesia.org/beating-the-buzzers

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun