Mohon tunggu...
Siti Khoirnafiya
Siti Khoirnafiya Mohon Tunggu... Lainnya - Pamong budaya

Antropolog, menyukai kajian tentang bidang kebudayaan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Nilai Budaya Mappalili

14 Juli 2024   08:49 Diperbarui: 17 Juli 2024   09:25 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Informasi tentang nilai budaya yang disajikan tentang Mappalili adalah upacara adat yang dilakukan setahun sekali sebelum musim tanam padi. mappalili dalam bahasa Bugis  berarti  menjauhkan  hal- hal yang akan mengganggu  atau  merusak  tanaman  padi.  Dahulu kala, mappalili digelar selama tujuh hari tujuh malam. 

Akan tetapi, karena pertimbangan biaya dan waktu, dipersingkat menjadi dua hari dua malam tanpa mengurangi nilai dan maknanya. Informasi tentang nilai budaya yang disajikan tentang ritus tersebut menyentuh fungsi dari ritus atau adat istiadat dari Mappalili tetapi perlu digali terkait nilai budaya dari ritus tersebut. Selain itu disampaikan ada perubahan bentuk ritus, pertanyaan  saya  apakah ada perubahan nilai budayanya juga? Nilai budaya apa yang kemudian hendak diwujudkan dalam masyarakat sehingga diperlukan perubahan bentuk atau waktunya.


Penggalian nilai budaya dari mappalili dapat digali dari beberapa referensi, misalnya Majid (2022)  yang mengaitkan Mappalili dengan nilai Pancasila. Ada sila pertama tentang keagamaan berkaitan dengan tujuan Mappalili sebagai bentuk rasa syukur masyarakat kepada Allah SWT sebagai nikmat atas hasil panen yang telah didapat. 

Sedangkan pada sila ke dua tentang kemanuasian  dimana dalam implementasinya pada tradisi mappalili ini dapat dilihat dari saling menghargainya masyarakat tanpa membeda-bedakan  antara satu sama lain dalam melaksanakan tradisi ini. selanjutnya terdapat pada sila ke 3 yang mengandung nilai persatuan, dimana dalam implementasinya dalam tradisi mappalili ini dapat dilihat dari salin  
merangkul dan bekerja samanya masyarakat dalam pelaksanaan tradisi ini tanpa adanya diskriminasi sosial atau perbedaan  lainnya. Dan terakhir pada sila ke 5 tentang keadilan dimana dalam tradisi semua masyarakat yang ingin mengikuti tradisi mappalili di perbolehkan tanpa adanya membeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya.
Referensi lain tentang Mappalili misalnya Liswati (2016) yang mengatakan bahwa dari segi bahasa Mappalili artinya menjaga sesuatu yang akan mengganggu atau  menghancurkannya.  Dalam ritual adat Mappalili ada benda pusaka yang dicuci atau dibersihkan selama setahun sekali, yakni berupa bajak sawah yang digunakan dalam ritual adat Mappalili. Ritual adat ini dilakukan selama setiap tahun, dan perayaan dilakukan di rumah adat Arajang (tempat menyimpan benda benda pusaka) hal ini dimaksudkan untuk menghormati dan menghargai para Dewata yang diyakini sebagai benda pusaka tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa Mappalili (mplili) atau komando turun sawah telah menjadi agenda kegiatan atau tradisi rutin masyarakat setiap tahunnya pada setiap memasuki masa tanam atau memasuki musim penghujan, senantiasa memberikan harapan bagi masyarakat, khususnya para petani. Selalu dinanti dan senantiasa memberikan harapan baru bagi masyarakat.
Khaedir (2018) juga menulis tentang makna Mappalili dalam prosesi ritual Mappalili terdapat delapan prosesi yaitu, yang pertama mattedu’ Arajang, cemme sala, malleke labulalle, mallekke wae, maggiri’, mengarak Arajang, cemme loppo Arajang, dan yang terakhir mappaenre Arajang. Ritual Mappalili memiliki makna sebagai bentuk rasa syukur dan rasa hormat mereka kepada dewata yang telah memberikan mereka rahmat melalui hasil panen yang melimpah. Secara etimologi Mappalili (Bugis) Appalili (Makassar) berasal dari kata palili yang mengandung makna yang sama dengan menjauhkan hal-hal yang bakal mengganggu atau merusak tanaman padi. 

Makna harfiahnya adalah diperuntukkan terhadap lahan yang akan ditanami, disalipuri (Bugis) dilebbu (Makassar), artinya dilindungi dari gangguan yang bisa menurunkan hasil produksi dan mendekatkan hal-hal yang dapat meningkatkan hasil produksi. Lebih rinci Khaedir menjelaskan tentang makna ritual Mappalili yang menurut saya juga terkait dengan nilai budaya yang hendak diwujudkan dalam masyarakat yang mengakui Mappalili sebagai kebudayaan yaitu Kesetiaan dan Kepercayaan; Menghargai Leluhur; Sebagai tanda bagi petani; Penghormatan.


Mardiana (2019) menunjukkan bahwa eksistensi tradisi mappalili sudah ada sejak sebelum Islam masuk di Kabupaten pinrang sampai sekarang masih dilaksanakan, karena tidak hanya sebagai pernyataan rasa syukur, juga dipercaya sebagai tradisi permohonan menolak balak.


Fajriani (2015) mengungkapkan bahwa secara etimologis, Mappalili (Bugis) / Appalili (Makassar) berasal dari kata palili yang memiliki makna untuk menjaga tanaman  padi  dari  sesuatu  yang akan mengganggu atau menghancurkannya. Mappalili atau Appalili adalah ritual turun-temurun yang dipegang oleh masyarakat Bugis, kata Mappalili adalah tanda untuk mulai menanam padi. 

Upacara Mappalili disini biasa disebut upacara Tradisional yakni merupakan bahagian yang kebiasaan turun temurun yang dilakukan para Bissu dari nenek moyang dan sebagai lapisan masyarakat menjadi pendukungnya yang berfungsi sebagai pengokoh norma-norma serta nilai-nilai budaya yang telah berlaku dalam masyarakat sejak turun- temurun, di mana ke semua sifat tersebut mereka tampilkan dengan memperagakannya secara simbolis dalam bentuk upacara yang dilakukan. Asrianensi & Mustari (2015) menunjukkan bahwa tradisi Mappalili mengandung nilai-nilai sosial yaitu, solidaritas gotong royong, kebersamaan sosial dan ekonomi dimana mereka saling bersilaturahmi dan mengakrabkan sesama anggota masyarakat.
 
Implikasi Tradisi mappalili dalam kehidupan masyarakat Ciro-ciro’e yaitu dapat menjalin kerja sama dengan baik antara masyarakat Ciro- ciro’e serta persaudaraan sehingga hubungan silaturahmi terjalin dengan baik dan Tradisi Mappalili dalam perubahan masyarakat Ciro- ciro’e yang sampai sekarang masih dilaksanakan, di dalamnya juga sudah ada perubahan namun, pada dasarnya yang mengalami perubahan hanya beberapa hal , misalnya dulu menggunakan  sapi atau kerbau tapi sekarang menggunakan dompeng (traktor ) lalu mingala ( potong padi) sekarang menggunakan mobil panen yang membawa anggotanya. Nilai-nilai yang terkandung dalam Tradisi Mappalili.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun