Mohon tunggu...
Siti Khoirnafiya
Siti Khoirnafiya Mohon Tunggu... Lainnya - Pamong budaya

Antropolog, menyukai kajian tentang bidang kebudayaan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pendekatan dan Konsep Penting tentang Situ Negara

12 Juli 2024   09:43 Diperbarui: 12 Juli 2024   09:49 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Apakah negara didekati dengan multi-situ? Bagaimana batas-batas (boundaries) negara? Jika Youyenn Teo (2010) mengatakan bahwa keluarga adalah negara dan menurut Upendra Baxi (2000) bahwa konstitusionalisme sebagai situs praktik formatif negara, lalu bagaimana dengan sekolah?

Jika kita memperhatikan berbagai referensi sesungguhnya kita bisa menarik secara sederhana dalam dualisme pendekatan dari asal-asal usul perdebatan negara. Dualisme tersebut adalah strukturalisme dan konflik. Strukturalisme biasanya didekatkan dengan fungsionalisme dan keteraturan dan  konflik terbagi dari Marxian dan non Marxian. Meskipun seringkali batas dari keduanya terlihat blur dan diperantarai oleh subjek (masyarakat) dan simbol-simbol yang dikaji. 

Strukturalisme-fungsionalisme seringkali menjadi pendekatan yang mengedepankan politik, di mana negara dipahami dalam kuasanya yang super-dominan, otoritas,  dilihat dari terbatasnya objek penelitian terhadap struktur pemerintahan atau pemerintah. Isu inilah yang awalnya dijauhi oleh antropologi yang menekankan masyarakat yang berbudaya dalam etnisitas, seperti pendekatan Radcliffe Brown. Namun, tulisan Nader (1972) menunjukkan  peran antropologi dalam kajian negara. Meski demikian, kajian negara sebelum tahun 1990 an menekankan pada kelompok terbatas lingkup pemerintah (pascakolonial). Dalam pandangan Migdall, pendekatan strukturalisme-fungsionalisme sangat dipengaruhi oleh Weber dan Talcott Parson, konsep birokrasi menjadi penting dalam kajian tentang negara. Dalam perkembangannya,  pendekatan ini tetap dianggap masih menitikberatkan pada fungsi negara yang otoriter berada dalam struktur (teritori) tertentu. Kajian tentang negara dalam hal ini adalah komparasi antara satu negara dengan negara lain. Kehadiran negara direpresentasikan pada gagasan peran negara dalam teori peran dominan untuk mengontrol warga negara dalam arti berada dalam teritorinya.

Namun, abad 1990an terjadi perubahan besar dengan adanya tuntutan kemerdekaan suatu negara, termasuk Indonesia dan mendekati abad 20 hingga 21 sekarang. Hal itu menyebabkan kajian negara dikaitkan dari proses perubahan, kapitalisme, dan konsepsi globalisasi. Dalam hal ini pendekatan negara yang menguji pendekatan konflik lebih didekati.  Seperti pernyataan  Philip Corrigan dalam bagian buku G. Joseph and D. Nugent (1994) mengatakan bahwa ilmuwan mulai menyusun kembali paradigma yang tepat untuk mempelajari negara, walaupun relevansi negara masih dalam perdebatan, tetapi pemikiran Marx mempunyai pengaruh besar, di mana pandangan politik tentang negara terkait dengan aspek ekonomi dan budaya, kemudian kaitan pemerintahan dan kewirausahaan, termasuk menghubungan kesejarahan di dalamnya. Corrigan, berargumen bahwa pembentukan negara dapat berjalan dalam diskursifnya sendiri atau berada dalam repertoar dan tanpa originasinya. Penjelasan Corrigan tentang negara dalam perdebatannya dijelaskan oleh Gilbert-Nugent melalui praktik keseharian dari kasus negara Meksiko dengan budaya populernya.

Meskipun pendekatan konflik ini jauh lebih lama sebelumnya dari kajian tentang negara modern. Pendekatan Marxian tentang negara, berasal dari cara berpikir bahwa konflik senantiasa ada dalam suatu kondisi. Meskipun pemikiran Marxian tentang perubahan klas bertahap dari masyarakat (hingga sosialisme terbentuk) tidak banyak dibahas, tetapi kompleksitas masyarakat menjadi perhitungan dari kajian tentang negara. Dengan kompleksitas  masyarakat ini konsepsi kebudayaan dalam antropologi pun dipahami secara kompleks,  demikian konsep masyarakat. Dalam pandangan Migdall, kekompleksan membawa perspektif multikonflik. Konsekuensinya adalah negara memungkinkan mempunyai hubungan (relasi) dengan konsep masyarakat yang tidak dipahami secara teritorial. Teritori dibahas ketika dianggap relevan dalam beberapa pembahasan yang konjungtur dan terkait kesejarahan saja. Dalam hal ini geografi dalam arti yang berbeda dengan sebelumnya. Dalam pandangan ini Migdall (2001) dan Sharma-Gupta (2005) melihat negara bukan boundaries  (batas) yang jelas tetapi blur atau fluid.  Negara juga dipahami mempunyai ketergantungan dengan kondisi ekonomi-politik Negara lain, sehingga negara tidak bisa lain diperspektifkan lagi independent. Dalam Marxian, saat ini masih berada dalam peran kapitalisme yang harus dilawan.

Pandangan Marxian berbeda dengan kaum strukturalisme-fungsi yang justru melihat aktivitas dan intervensi negara dalam masyarakat kapitalisme maju adalah menjaga bentuk komoditi dan aktor-aktor ekonomi individu.  [1] Nampaknya pemikiran Offe dan Rogen ada benarnya jika dilihat dalam beberapa konteks saat ini. Namun,  Habermas tampak lebih popular ketika menyoroti kontradiksi negara dalam penjelasan perjuangan kelas terkait dengan peranan kontradiksi yang harus dipertahankan negara hingga saat ini. Negara terkait dengan “kondisi material baru”. [2] Sebagai sektor privat, sektor negara juga terbagi-bagi tergantung pada struktur konstitusional dan perkembangan historis (baik kapital maupun gerakan pekerja), aparatur negara ke dalam unit-unit organisasi dan badan hukum pusat, federal, lokal, atau regional (Offe dan Rogen dalam Gidden dan Held, 1987).  Habermas melihat perlu pembingkaian massa untuk itu dalam usaha mobilisasi massa untuk menghancurkan kekuasaan kapitalis. Ini adalah sebuah kritik relevansi keterbatasan dari pemikiran Weberian yang melihat negara bersifat otoriter dengan rasionalitas tekniknya.  Dalam pandangan Ogawa (2009), pemikiran Harbermas menentang Francis Fukuyama yang mengatakan bahwa masyarakat dalam ranah struktur sosial yang terpisah dari negara yang mendasari institusi. Habermas berpandangan bahwa negara beresonansi  dalam kehidupan pribadi.  

 

Refleksinya kita tidak melepaskan dari kontradiksi di atas karena perdebatan tentang negara akan selalu relevan muncul dalam konteks  places-setting (dalam kerangka konstruksi sosial)  dan kesejarahan (konkret stories).  Pemikiran Habermas nampaknya serupa dengan sajian dari beberapa bacaan dari Nader (1972), Kottak (1977), Corrigan (1985), Anderson (1991), Joseph-Nugent (1994), Gupta (1995) Cattherjee (1996), Kelly-Kaplan (2001), Bouchard (2011), Trouillot (2001), Migdall (2001), Pieke (2004), Hansen-Nustad (2005), Sharma-Gupta (2006), Mitchell (2006), dan Ogawa (2004/9). Beberapa penulis itu melihat negara dalam pendekatan perubahan, dinamis, lintas batas, multisite (translokal-regional) atau tidak melulu berada dalam struktur teritorial,  ditentukan oleh sejarah yang konjungtur.  Situ negara dipahami bukan pada batas-batas otonom, tetapi dikonstruksikan oleh para peneliti dengan perhatiannya pada praktik negara dalam proses dan keseharian. Dari referensi itu juga negara didekati dengan perhatian pada jejaring (web) yang dikonstruksi tetapi berjalan dengan diskursifnya sendiri (lihat Stopczynski, M., & Zugelder, M. (2014) dan trajektorinya di dalam dinamika multi-situ dari negara (lihat Fiske, I. J., Royle, J. A., & Gross, K. (2014).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun