Mohon tunggu...
Siti Khoirnafiya
Siti Khoirnafiya Mohon Tunggu... Pamong budaya

Antropolog, menyukai kajian tentang bidang kebudayaan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Seumapa, Tradisi Berpantun Aceh: Suatu Analisis Nilai Budaya

27 Mei 2024   16:15 Diperbarui: 27 Mei 2024   16:34 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendahuluan: Latar belakang 

Menuru Lattu bahwa setiap masyarakat unik karena mempunyai pengalaman berbeda. Rasa pengalaman menciptakan pemahaman orang tentang memori dan representasi kolektif. Bagi komunitas lisan, lisan adalah cara yang tepat untuk menjaga mnemonik tetap hidup dan untuk mentransmisikan narasi komunal ke generasi berikutnya. Lisan adalah perangkat yang paling efektif bagi orang untuk mewariskan narasi komunal mereka dari satu generasi ke generasi berikutnya (Lattu, 2019).

Lattu merujuk Durkheim mengatakan bahwa memori kolektif bertahan dan menarik kekuatan dari dasarnya dalam tubuh orang yang koheren; anggota individu dari suatu kelompok. Melalui pertunjukan publik, akan diciptakan kesadaran kolektif yang memperkuat identitas komunal. Dalam komunitas besar di mana orang-orang tinggal melintasi jarak yang sangat jauh, peringatan membantu membentuk solidaritas komunal dan mengikat komunitas bersama.

Lisan dan tradisi lisan masih dapat kita temukan. Ia melekat erat dengan kehidupan dan budaya masyarakat. Tradisi lisan yang berkembang di masyarakat sejatinya memiliki nilai-nilai dan pesan moral yang dilestarikan secara turun-temurun. Namun kurangnya perhatian dari generasi sekarang, membuat lambat laun keberadaannya terancam akan hilang. Semakin berkembangnya teknologi dan budaya luar, justru semakin menenggelamkan budaya lokal. Padahal sesungguhnya dalam tradisi lisan tersebut terdapat nilai-nilai budaya yang mengajarkan karakter positif, luhur, dan arif yang penting dan berguna dalam kelangsungan masyarakatnya.

Kata tradisi berasal dari Bahasa Latin tradition yang dapat diartikan penyampaian atau transmisi yang disampaikan dari satu generasi berikutnya dalam kurun waktu lama dalam suatu kolektif atau masyarakat. Sementara itu, “lisan” pada istilah tradisi lisan merujuk pada proses penyampaian tradisi dengan media lisan. Meski demikian tradisi bukan serta merta berbentuk lisan dengan unsur unsur verbal saja, melainkan yang menjadi penekanan adalah penyampaian tradisi yang dimaksud tersebut disampaikan secara turun menurun secara lisan. Dengan kata lain, tradisi lisan juga mencakup tradisi yang berbentuk bukan lisan, seperti ritual dan pertunjukan. Dalam istilah dalam folklor dalam gagasan Brunvand (1968 dalam Danandjaja 1986/1992) maka bentuk tradisi lisan bisa berupa tuturan atau carita ataupun non tuturan atau tradisi lisan terdiri atas tradisi yang mengandung unsur-unsur verbal, sebagian verbal (partly verbal), atau nonverbal (non-verbal).

Pudentia (2007: 27) mendefinisikan tradisi lisan adalah segala wacana yang diucapkan atau disampaikan secara turun temurun meliputi yang lisan dan yang beraksara, yang semuanya disampaikan secara lisan. Seperti yang disampaikan oleh Pudentia dalam Bimbingan Teknis Tradisi Lisan pada Oktober 2022 bahwa tradisi lisan mencakup bentuk dan isinya yang tidak serta lisan dan ini terkait dengan aspek fungsi yang melingkupi tradisi lisan tersebut. Fungsi tradisi lisan seperti hal-nya kebudayaan berkaitan dengan formula dari tradisi lisan yang tidak hanya mencakup struktur tradisinya tetapi juga berkorelasi dengan nilai-nilai atau ide atau gagasan yang ada pada tradisi lisan tersebut. Fungsi tradisi lisan yang disampaikan dalam Bimbingan Teknis tersebut bahwa fungsinya tidaklah sekedar tetapi juga bisa menjadi fungsi ritual ataupun pendidikan. Berkaitan dengan itu, tradisi lisan memiliki fungsi yang serupa dengan fungsi folklor yang disampaikan oleh Bascom bahwa folklor berfungsi dalam tiga hal sebagai sistem proyeksi, alat pengesahan kebudayaan, alat pendidikan (pedagogic), dan alat pengendalian sosial. 

Dengan demikian, tradisi lisan berkaitan juga dapat berfungsi seperti halnya folklor sebagai cerminan dari masyarakatnya seperti dalam buku Dundes (2007) dalam Folklore as a Mirror of Culture menggunakan konsep cermin Franz Boas bahwa folklor sangat berharga sebagai cerminan dari kondisi dan nilai-nilai budaya tertentu. Dia menunjukkan strategis folklor untuk menjelaskan hubungan kekuasaan, seperti yang ditunjukkan oleh contoh-contoh komunikasi anak/orang tua. Berbagai bentuk cerita rakyat: mite, cerita rakyat, legenda, lagu rakyat, peribahasa, teka-teki, permainan, tarian, dan banyak lainnya dapat memberikan sumber daya penting bagi seorang guru yang secara serius ingin (1) memahami murid-muridnya dengan lebih baik, dan (2) mengajar siswa-siswa itu secara lebih efektif tentang dunia dan tentang kondisi manusia. 

Metode ataupun pendekatan dalam analisis ini adalah kualitatif yang umumnya data disajikan secara deskriptif. Sementara itu, analisis data dilakukan dengan analisis cakupan tradisi lisan (bentuk, isi, dan fungsi) dan analisis konten atau teks seumpama untuk memahami nilai budaya yang terkandung dalam tradisi lisan atau pantun seupama. Selain analisis teks karena tradisi lisan terkait juga co-text maka pengumpulan datanya dilakukan melalui observasi dan wawancara. Observasi saya lakukan dengan saya melihat atau menonton pertunjukan dan membuat dokumentasi pertunjukan seumapa yang dilakukan oleh siswa sekolah di Aceh Timur dalam program GSMS. Pertunjukan tersebut dilakukan di SMPN 1 IDI Aceh Timur. Sementara itu, wawancara saya lakukan, baik secara formal (melalui FGD) maupun melalui informal (diskusi dan wawancara informal) di sela sela prosesi pertunjukan. Wawancara saya lakukan terhadap seniman, guru, dan siswa GSMS. Guru sebagai pelatih seumapa dan siswa sebagai pemain seumapa. 

Gambaran Pertunjukan Seumapa

Secara umum, seumapa yang termasuk jenis pantun, memiliki ciri formula pantun pada umumnya, seperti adanya sampiran dan isi, polanya bersajak, serta jenisnya pun hampir sama. Seumapa adalah tradisi lisan berbentuk tuturan pantun yang disampaikan cukup lama karena isi seumapa Panjang. 

Seumapa merupakan seni tutur bahasa tradisi Aceh dalam adat pernikahan.  Seumapa juga ditampilkan pada acara adat lainnya seperti khanduri laot, acara syukuran dan acara lain Adat perkawinan dalam masyarakat Aceh terdiri dari beberapa tahap, yaitu tahap sebelum, selama dan sesudah upacara perkawinan. Pada pertunjukan seumapa oleh siswa sekolah Pidie Jaya dan SD Aceh Timur, seumapa dipertunjukkan dalam konteks menyambut keluarga pengantin laki-laki dan rombongan yang mengantarkannya atau dalam tradisi Aceh mengantar pengantin laki-laki (intat linto) ke rumah dara baro. Seumapa dimaksudkan untuk saling sapa. Para penyair akan saling berbalas pantun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun