Pendahuluan: Bergelut dengan Nilai dalam Ketakutan dan Keraguan
Seorang sesepuh Penghayat yang saya panggil eyang putri melalui putranya yang aktif dalam perjuangan Penghayat pernah menelpon dan mengucapkan terima kasih kepada saya karena menurutnya saya memperjuangkan hak-hak Penghayat sembari ia mengucapakan atas kelulusan dan gelar doktor saya. Sentak saya terkaget karena saya sendiri merasa tidak banyak membantu perjuangan mereka dan hanya melakukan kajian terhadap pergerakan mereka. Kala menjawab telpon itu saya berusaha untuk menjelaskan bahwa saya bukan Penghayat, tetapi ia terus menerus mengucapkan terima kasihnya itu, sambil menyampaikan harapannya agar saya bisa datang ke Cilacap kembali. Meski bulan Maret 2024 lalu saya ke Cilacap dalam rangka kerja advokasi untuk Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat dan belum berkesempatan berjumpa dengan beliau kembali, tetapi ketika ke Cilacap, rasa kebersamaan dengannya itu ada.
Pengalaman tersebut membuat saya terus merefleksikan kajian ataupun tinjauan saya tentang isu gerakan. Selama saya mengkaji gerakan sosial, proses dan hasil kajian direspon bervariasi oleh informan, rekan, dan pembaca. Untuk informan, ada yang merespon bahwa hasil kajian saya membantu perjuangan mereka, tetapi ada juga yang memandang bahwa hasil kajian saya dipandang membahayakan gerakan mereka. Ada juga yang merespon hasil kajian saya layak dipublikasikan tetapi ada yang khawatir dengan publikasi hasil kajian itu. Saya menyadari bahwa dinamika respon itu serupa dengan dinamika pengalaman ketika saya mengkaji gerakan sosial. Hal yang menarik bagi saya adalah respon beberapa aktivis Penghayat yang berharap bahwa nilai-nilai baik dari Kejawen bisa disampaikan ke masyarakat lebih luas melalui peran saya. Alasan itulah yang juga mendorong saya untuk menyetujui ketika mereka mendiseminasikan hasil kajian saya dan mempublikasikan di media sosial mereka. Mereka berharap bahwa seperti perjuangan mereka, gerakan yang dilakukan mereka dapat membangun kehidupan baru atau struktur baru, kesetaraan yang sama bagi warga Indonesia termasuk mereka.
Keinginan Penghayat menyampaikan nilai luhur Kejawen melalui respon beberapa aktivisnya menunjukkan bahwa gerakan sosial bukan sekadar perjuangan politik dan ekonomi. Selama mengkaji gerakan sekitar delapan belas tahunan -- pada skripsi gerakan Hizbut Tahrir Indonesia (selanjutnya saya tulis HTI), tesis tentang gerakan Himpunan Mahasiswa Islam (selanjutnya saya tulis HMI), dan disertasi tentang gerakan Penghayat Kepercayaan-Kejawen (yang selanjutnya saya tulis Penghayat), maka saya sepakat dengan Escobar (1992:39) bahwa kebersamaan untuk sebuah perubahan tersebut sering dimotori oleh perjuangan budaya dan tidak sekadar perjuangan politik-ekonomi. Sering tujuan yang hendak dicapai oleh suatu gerakan berkaitan dengan nilai-nilai bersama atau upaya perjuangan untuk memproduksi sistem ataupun sejarah dan seperti kata Scott (1987 :36-41) termasuk perjuangan pemikiran dan perlawanan makna-makna simbolis dalam keseharian.
Para aktivis gerakan mengembangkan budaya solidaritas yang terwujud dalam perasaan, hubungan, pernyataan nilai, dan tindakan dalam perjalanan perjuangan nilai tersebut. Perasaan, hubungan, pernyataan nilai rupanya juga menjadi persoalan bagi saya ketika melakukan kajian terhadap mereka, misalnya perasaan ketakutan dan keraguan yang muncul ketika berhubungan dengan mereka, persoalan menjalin hubungan dengan mereka, persoalan memahami gerakan dan aktivitas mereka, serta persoalan saya menjawab pertanyaan orang lain (liyan) tentang posisi saya saat mengkaji mereka. Ketika saya refleksikan, persoalan-persoalan yang telah saya atasi tersebut rupanya tidak terpisahkan dengan persoalan nilai dan mengkondisikan saya untuk bergelut dengan nilai. Kemudian, saya pun dapat mengatasi persoalan perasaan ketakutan dan keraguan, kesulitan pemahaman gerakan dan aktivitasnya, dan memposisikan diri dalam kajian gerakan ketika mempertimbangkan berbagai nilai.
Dengan demikian, refleksi ini mengungkapkan kebudayaan saya, lika-liku atau dinamika pengalaman saya bergelut soal nilai ketika mengkaji gerakan sosial-keagamaan, seperti kata Xie (2016:113-114) bahwa saya melibatkan sisi emosional atau perasaan saya sebagai peneliti, Nilai apa sajakah yang saya geluti dalam saya mengatasi persoalan ketakutan dan keraguan dalam kajian? Nilai yang bagaimanakah yang saya diskusikan dengan aktivitas gerakan untuk memperluas pemahaman terhadap nilai-nilai gerakan? Nilai apa yang mendasar yang saya jadikan pertimbangan dalam memposisikan diri dalam kajian dan menjawab pertanyaan orang lain (liyan) terhadap posisi saya tersebut?
Refleksi ini menunjukkan bahwa pengalaman saya tidak terhapus dari proses kajian sehingga kehadiran diri harus saya sadari memengaruhi pancaindra saya melihat perilaku aktivis gerakan sehingga dibutuhkan sensitifitas dan reflexivity terus menerus ketika berada bersama mereka. Dengan membaca ulang teks narasi yang saya pernah buat, saya kini mulai memahami keterkaitan dan kontestasi antar gerakan di Indonesia yang disebabkan oleh persoalan nilai.
Dialog Nilai dalam Memahami Gerakan Sosial
Nilai adalah hal penting terkait dengan gagasan gerakan dalam mempraktikkan strategi ataupun aksi yang mereka jalankan. Klaim inilah yang menuntut diri saya agar memahami nilai-nilai gerakan sosial yang saya kaji. Penjelasan nilai melingkupi informasi yang terstruktur tidak sekadar penggabungan unsur-unusr yang berharga (bernilai) tetapi memiliki hubungan struktural dengan situasi tertentu yang melibatkan fungsi atau sistem kelangsungan hidup (Corbí 2016) dan pengaplikasian nilai terlihat dalam perilaku (Roccas & Sagiv 2017).
Kesadaran tentang pentingnya mempelajari nilai gerakan terutama ketika saya disertasi sebagai refleksi dari hasil skripsi dan tesis yang saya hasilnya. Kesadaran itu tidak begitu saja muncul, saya memang membaca relevansi nilai dari beberapa tulisan dan berdiskusi dengan pembimbing saya yang membuka jalan pikiran saya tentang relevansi tulisan tentang nilai. Tulisan yang mengena pada diri saya adalah etnografi karangan Joel Robbins, David Graeber, dan Dumont. Meski tulisan Dumont (1970) telah berumur, tetapi saya memandangnya relevan dengan kajian saya tentang gerakan dimana nilai adalah kebudayaan dan bahkan menjadi ideologi dalam pembahasan hierarki nilai. Ketika nilai sebagai sebuah ideologi, nilai kemudian tidak terpisahkan dengan aksi (tindakan) aktivis gerakan karena nilai yang diusung dipandang penting untuk dipraktikkan dalam tindakan mereka khususnya sebagai aktivis gerakan. Seperti pandangan Joel Robbins (2007) dan David Graeber (2001) bahwa nilai-nilai dapat “memaksa” melalui contoh-contoh ataupun ritual. Nilai-nilai dalam gagasan Islam pada HTI dipandang tercermin baik pada penerapan Daulah Islamiyyah dan nilai-nilai Kejawen pada Penghayat Kejawen dipandang tercermin pada penerapan pemerintahan Majapahit. Kedua aktivis dari kelompok tersebut menginterpretasi, mentransmisikan, dan menginternasisasi pada peserta gerakan perlunya mereka bergerak agar nilai-nilai kebajikan yang mereka interpretasikan pada jaman itu dapat tercapai kembali karena mereka memandang pada jaman modern saat ini ada banyak nilai kebaikan yang telah tergerus dan memunculkan ketidakadilan. Seingat saya, aktivis HTI memandang bahwa ketidakadilan terhadap umat Islam di dunia saat ini karena dominasi Barat dengan nilai-nilai kapitalismenya, sementara itu aktivis Penghayat memandang ketidakadilan kepada mereka karena dominasi nilai asing yang masuk di Indonesia yang dipandang egostis saat ini yang membuat ketidakadilan ataupun keterpurukan pribumi, terutama mereka hingga saat ini.
Bagi saya pemahaman terhadap nilai-nilai gerakan yang saya amatlah penting. Hal ini karena saya merasa ingin tahu sampai sejauh mana atau prediksi aksi yang mereka lakukan dengan dorongan nilai-nilai yang mereka persepsikan. Ini juga soal bagaimana mereka membangun interaksi dengan sesama gerakan atau masyarakat umum. Jadi memahami nilai-nilai gerakan akan melihat beberapa relevansi aksi yang mereka jalankan dan posisi mereka dalam kontestasi gerakan. Pemahaman nilai gerakan tidaklah mudah karena umumnya setiap aktivis mempresepsikan nilai berbeda karena mereka memiliki latar belakang yang berbeda-beda dan saya harus jeli untuk kemudian semacam membuat “generalisasi” untuk menjelaskan nilai-nilai bersama yang diusung oleh mereka.