"Sudah-sudah, hentikan. Biar aku yang memberinya pelajaran." Pria itu sontak menyahut saat wanita itu sudah mengangkat tangannya ke udara, bersiap menghajar Nana kembali.
Sambil menghela napas kasar, wanita itu pun melempar gantungan baju di tangannya ke pojokan dan melangkah keluar dari kamar mandi.
"Urusin tuh anakmu, aku sudah muak sama dia!" ujarnya sambil melangkah pergi dengan raut wajah penuh amarah.
Hendra, pria berusia empat puluh tahunan itu pun melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Kedua matanya berkaca-kaca saat mendapati anak gadisnya terisak sambil meringkuk di lantai yang basah itu. Hendra berjongkok, satu tangannya terulur mengusap punggung Nana yang bergetar.
"Sakit, Ayah." isak Nana.
"Maafkan Ayah, ya, Nak." Satu bulir air mata keluar dari sudut mata Hendra. Hati kecilnya tersayat, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Nana semakin terisak saat ayahnya mengucap kata 'maaf'. Kata 'maaf' yang sering Nana dengar hampir setiap harinya namun kata 'maaf' yang selalu ayahnya lontarkan itu seolah tak berdampak apapun, tak mengubah atau bahkan menghapus sedikit saja rasa sakitnya selama hampir empat tahun ini.
"Lain kali jangan buat ibumu marah. Ayah tidak mau melihat kamu terus seperti ini, Nak." Hendra mengelus puncak kepala Nana. "Maaf, Ayah tidak bisa berbuat apapun. Ayah tidak bisa membelamu, Nak."
Hendra beranjak mengambil handuk di depan kamar mandi dan menyodorkannya untuk Nana. "Bersihkan tubuhmu, setelah itu istirahat ya,"
Nana mengambil handuk itu dari tangan ayahnya. Hendra menatap tubuh putrinya itu dengan perasaan yang begitu sakit. Ia sadar, ia sangat egois. Tapi itu semua demi kebaikan Nana, anak gadis satu-satunya itu.
Sambil menyeka air matanya, Hendra pun melangkah keluar. Meninggalkan tubuh Nana yang ringkih dan terisak kesakitan itu.
Sekali lagi, maafkan Ayah, Nak.