Mohon tunggu...
Siti Hajar
Siti Hajar Mohon Tunggu... -

mahasiswa psikologi UIN MALIKI Malang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Narkoba Menjeratku

18 November 2014   16:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:31 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bel sekolah berbunyi. Menandakan waktu kita di kelas telah usai. Semua siswa bersiap-siap bergegas pulang. Namun hari ini begitu panas. Terik matahari terasa begitu menyengat. Penat setelah seharian di kelas bertambah dengan panasnya matahari hari ini. Aku melangkahkan kakiku pelan, seakan terasa berat kaki ini melangkah. Sesampaiku di depan pintu rumah. Kuhentikan langkahku, ku tatap pintu itu.

“Mau diberi makan apa keluarga kita kalau kamu hanya malas-malasan seperti itu? Ha?????”

“Kamu pikir aku pengangguran karena keinginanku sendiri? Gila kamu”

Prakkk… suara benda di lemparkan itu terdengar dari luar. Sepertinya bendan itu dilempar dan menghantam pintu rumah. Itulah suasana yang sering kutemukan dirumahku sendiri. Pertengkaran kedua orang tuaku seperti bagaikan makananku sehari-hari. Selalu ada alasan bagi mereka untuk bertengkar. Dari hal sepele seperti ayahku yang suka membuat rumah kotor bisa menjadi pemicu besar untuk mereka bertengkar. Bukan hanya sekedar perang mulut, mereka bahkan bisa saja melempar barang-barang yang ada didekat mereka. Itulah yang membuatku terasa berat melangkahkan kakiku pulang kerumah. Rumah bagaikan neraka bagiku. Aku tidak pernah menemukan kedamaian didalamnya sejak 3 tahun yang lalu ketika ayahku menjadi pengangguran karena kebangkrutan yang ia alamai. Sepertinya ibu juga tidak bisa menerima keadaan kita sekarang yang melarat. Sejak saat itu,rumah kami menjadi sangat suram.

Kubuka pintu rumah, kudapati serpihan vas bunga yang hancur berserakan didepan pintu rumah. Tanpa kusapa ayah ibuku, tanpa melihat mereka berdua aku langsung berjalan menuju kamarku. Merekapun sepertinya tidak sadar dengan kedatanganku atau bahkan mereka tidak peduli. Kututup pintu kamarku dengan sangat keras sebagaimana cara mereka menutup pintu ketika sedang marah. Dirumah ini sudah tidak ada tawa lagi, yang ada hanyalah rasa saling benci antara ibu dan ayah. Begitupun aku yang membenci mereka. Diantara kami jarang berkomunikasi. Kita hanya bicara seperlunya saja. Tidak ada canda atau sekedar nonton TV bersama. Seperti itulah potret kondisi rumahku setiap hari.

Keesokan harinya, ketika aku pulang sekolah tidak kudapati keributan seperti biasanya. Kubuka pintu rumah, kudapati ayah sedang duduk diruang tamu. “Ibumu pulang ke rumah nenekmu, kami mau bercerai. Kamu sudah besar, kamu berhak menentukan sendiri kau mau ikut ayah atau mau ikut ibu”. Dengan ringan ayah berbicara seperti itu kepadaku. Aku tidak menjawab pertanyaan ayah. Aku tida`k menghiraukannya. Seperti biasa, aku langsung masuk ke kamarku. Semudah itukah mereka mengambil keputusan. Apa mereka tidak memikirkan keadaanku. Apa mereka tidak memikirkan masa depanku. Kupikir mereka begitu egois. Aku merasa seperti tidak memiliki harapan lagi didunia ini.

Sejak mereka bercerai, aku lebih memilih menghabiskan waktuku di luar. Memang aku memutuskan untuk tetap tinggal bersama ayah. Namun pada dasarnya sebenarnya aku memilih untuk hidup sendiri. Aku jarang pulang kerumah. Aku lebih memilih menghabiskan waktuku diluar. Pikiranku sangat penat. Aku seperti tidak memiliki impian lagi.

Hingga suatu malam ada laki-laki yang tidak beda jauh umurnya denganku menghampiriku. “ Lagi galau bro?”. aku hanya tersenyum kepadanya. “ Mau minum?”. Ia menyodorkan botol minuman padaku. Aku meraih botol itu dan meminumnya. Setelah minum itu aku merasa terlepas dari semua beban. Aku serasa terbang bebas. Aku bisa mengamuk sesukaku. Aku tidak peduli dengan orang lain lagi. Namun setelah itu aku tertidur pulas sekali. tidak ada lagi beban di pikiranku.

Setelah terbangun, aku baru sadar kalau ternyata semalam aku tertidur di bawah jalan tol tempat aku meminum botol semalam. Kepalaku terasa pusing, aku tidak tahu apa yang aku minum semalam. Aku tidak beranjak dari tempat itu. aku berharap bisa bertemu laki-laki yang semalam tadi. Ternyata benar, setelah cukup lama menunggu laki-laki itu muncul kembali. “ Gimana bro? enak?” ia mengatakannya dengan tersenyum. Aku menanyakan padanya minuman apa sebenarnya yang ia berikan padaku. “itu morfin bro? gimana? Enak kan? Aku mencampuri minuman itu dengan morfin”. Aku kaget mendengarnya. Ternyata yang kuminum semalam adalah salah satu jenis narkoba. Obat yang terlarang untuk dikonsumsi. Namun, aku masa bodoh dengan semua itu, aku tidak peduli. Toh aku sudah tidak punya harapan lagi di dunia ini. Aku meminta obat itu lagi pada lelaki itu. Namun kali ini tidak gratis, aku harus membelinya. Tidak ada jalan lain, aku harus menjual barang yang aku punya supaya aku punya uang untuk membeli obat itu.

Semakin lama, aku semakin ketagihan dengan obat itu. aku sudah menjual apapun yang aku punya. Aku sudah tidak punya apa-apa lagi untuk dijual. Namun, aku merasa aku harus mendapatkan obat itu lagi, aku sangat membutuhkannya. Badanku gemetaran, aku merasa demam. Aku meronta-ronta memintaa obat itu, tapi ia tidak memberikannya. Aku tidak punya uang lagi untuk membelinya. Aku kehabisan akal, aku memikirkan segala cara agar aku bisa mendapatkan uang. Terpikirkan olehku cara yang tidak masuk akal, cara yang dianggap jahat. Sebenarnya sebelumnya aku tidak pernah terpikirkan aku akan melakukan ini. Namun kecanduan ini yang mendesakku untuk melakukannya. Tidak ada jalan lain, aku harus mengambil uang orang lain secara paksa. Aku memutuskan untuk mencopet, ya mencopet. Aku berjalan menuju sebuah toko emas. Kupikir orang yang datang kesini pasti punya uang banyak,. aku berdiri di luar toko. Aku melihat ada seorang ibu-ibu membawa tas yang keluar dari toko. Aku mengikutinya, setelah kurasa jalanan sudah sepi. Aku langsung menyabet ta situ dan aku berlari sekencang-kencangnya. Sialnya, ternyata ibu itu berteriak minta tolong. Kontan saja banyak warga yang mengejarku. Aku berlari sekuat tenaga dan sekencangnya. Lalu tiba-tiba ada batu yang menimpa kakiku, sontak aku terjatuh dan seketika itu mereka memukuliku, mereka menendangku. Tidak lama kemudian, polisi datang menghentikan aksi warga yang menggebukiku. Bisa ditebak, akhirnya aku melanjutkan hidupku dengan tinggal di penjara. Tempat dimana orang-orang bersalah mendapat hukuman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun