Mohon tunggu...
Siti Hajar
Siti Hajar Mohon Tunggu... -

mahasiswa psikologi UIN MALIKI Malang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Terjebak Dalam Tubuhku Sendiri

25 November 2014   12:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:55 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam itu pukul 02 00  dini hari suasana diluar sangat tenang dan sangat hening. Tidak lama kemudian, tangisan anak bayi memecah keheningan malam itu diiringi dengan tetesan air mata seorang wanita yang telah berjuang keras menghadirkannya dalam dunia. Sang Ayahpun tak kuasa meneteskan air mata melihat anak yang selama ini ia idam-idamkan. Setelah lima tahun usia pernikahan, akhirnya tuhan memberinya sebuah anugerah anak yang menurutnya adalah anugerah yang paling agung. “ Selamat pak, anak anda laki-laki” , bidan itu memberikan bayi yang baru lahir itu pada ibunya. Ucapan syukur tak henti-hentinya keluar dari bibir wanita itu seraya mendekap bayinya. Sebagaimana ajaran islam, sang ayah membisikkan bacaan adzan ditelinga sang bayi dengan tujuan menghindarkannya dari ajakan-ajakan syetan yang terus menerus menggoda iman manusia. Sebagaimana rencana sebelumnya, kedua orang tua itu menamai anaknya dengan nama Muhammad Rijal Abdullah. Berharap dengan nama itu semoga anaknya menjadi seorang laki-laki yang bertanggung jawab dan terus menjaga agamanya. Bayi itu adalah aku.

Sebagai anak tunggal, tentu orang tuaku membesarkanku dengan limpahan kasih sayang. Aku tumbuh menjadi anak yang bahagia. Uang sebanyak apapun rela dikeluarkan orang tuaku untuk menjagaku dan membesarkanku. Semua mainan anak-anak mereka belikan untuk membuatku menjadi anak kecil yang bahagia. Mulai dari mobil-mobilan, robot, bola dan semua permainan yang berbau laki-laki lengkap ada di keranjang besar tempat penyimpanan mainanku.  Seharusnya sebagai anak kecil laki-laki aku sangat menyukai mainan-mainan itu. Namun aku tidak tahu, kenapa aku tidak sukan dengan mainan-mainan itu. Aku melihat sepupu laki-lakiku sangat bersemangat bermain dengan mobil-mobilannya. Karena semua teman-teman masa kecilku bermain dengan bola dan mobil-mobilan, Akupun memaksakan diriku menyukai mainan-mainan itu.

Hingga suatu saat bibiku berkunjung kerumah. Ia memiliki seorang putri yang seusia denganku. Ia datang kerumah bersama ibunya dengan mendekap sebuah boneka beruang berwarna cokelat. Ketika melihat boneka yang didekapnya itu, ada perasaan tertarik pada boneka dalam diriku. Hingga akhirnya aku mengajaknya bermain  bersama. Ada perasaan yang sangat senang sekali ketika aku bermain dengan boneka itu. Dari sini aku tahu, mainan kesukaanku adalah boneka bukan mobil-mobilan atau robot apalagi bola.

Aku masih sangat ingat. Ketika ibuku mengajakku pergi ke toko mainan dan beliau berniat membelikanku mainan robot dengan tokoh terbaru aku menolaknya. Ketika aku ditanya “ rijal pengen mainan yang mana?”, aku menunjuk ke sebuah boneka beruang berwarna pink dengan ukuran yang cukup besar yang dipajang di atas. Jelas saja ibuku menolak membelikannya. Aku menangis sejadi-jadinya karena baru kali ini beliau menolak permintaanku. Itulah saat pertama kali ibuku merasakan ada sesuatu yang beda dari diriku.

Semakin lama semakin kejanggalan itu muncul dengan kuat dalam diriku. Ketika aku SD, aku lebih suka bermain dengan teman-teman perempuan. Lebih parah lagi, ketika masuk usia SMP aku lebih tertarik dengan pakaian wanita daripada pakaianku sendiri. Namun, sekalipun seperti itu aku tetap berusaha menyembunyikannya dari orang lain. Aku berusaha tetap bersikap normal layaknya laki-laki lain. Semakin bertambah usiaku semakin tidak kuat aku memendam perasaan yang semakin kuat itu. Perasaan yang mengatakan bahwa aku ini bukan laki-laki tapi aku adalah seorang perempuan. Ya aku adalah seorang perempuan yang terjebak dalam fisik laki-laki. semakin aku berusaha menyangkal dengan perasaan itu semakin terasa menyiksa. Aku merasa malu dengan diriku sendiri.

Sampai suatu saat aku berusaha mengenali diriku sendiri. Aku berdiri lama didepan cermin. Aku menatap lama wajahku sendiri. kulihat wajahku dengan seksama. Semakin dalam aku melihat wajahku, semakin aku tidak mengenal wajah yang didepanku. Aku sangat bingung dan tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku merasa menjadi orang lain dalam tubuhku sendiri. Aku merasa terjebak dengan tubuhku sendiri. Spontan aku menampar wajah yang ada didepanku itu yang tidak lain adalah wajahku sendiri. aku malu untuk mengakui diriki sendiri sebagai orang penderita GID (Gender Identity Disorder) yaitu sebuah gangguan identitas dimana seorang individu percaya bahwa anatomi gendernya tidak sesuai dengan identitas gendernya. .

Aku berusaha memendam kelainanku ini, namun semakin lama aku menahannya semakin besar beban yang terasa. Hingga akhirnya aku memberanikan diri menemui ibuku untuk memberitahu keadaan anaknya yang sebenarnya. Aku berusaha sekuat tenaga mengakui keadaan diriku didepan ibuku bahwa aku adalah seorang GID. Ibu menangis mendengar pengakuanku itu. Ternyata sebenarnya beliau sudah curiga dengan keadaanku sejak aku kecil. Ketika aku meminta boneka beruang dulu. Namun beliau berusaha menutupinya. Ibu takut jikalau membahasnya malah menjadikan perasaan keperempuanan itu lebih kuat. Ibu juga tidak tahu harus berbuat apa untuk menangani masalahku itu. sekalipun memiliki anak sepertiku beliau tidak malu atau bahkan membenciku. Beliau tetap menyayangiku bahkan rasa sayangnya semakin bertambah semenjak aku mengakui keadaanku yang sebenarnya dihadapannya.

Ketika aku sadar, tidak ada orang lain yang bisa menolongku mengatasi masalahku yang pelik ini. Aku sadar, masalah ini harus aku selesaikan. Aku tidak bisa terus-terusan menanggung beban ini. Sempat terpikir dalam benakku untuk melakukan operasi transgender seperti yang aku lihat di televise. Namun hal itu terlalu berat resikonya. Aku pikir akan semakin berat beban yang aku tanggung jika aku harus melakukan operasi trans gender karena aku tidak kuat melihat orang tuaku menanggung malu memiliki anak yang berubah total penampilannya. Akhirnya aku memutuskan untuk mengatasinya perasaanku itu sendiri.

Aku berusaha keras mencari cara untuk mengatasi kelainanku ini. Awalnya aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sampai akhirnya aku memutuskan untuk tidak menuruti sisi perempuanku namun aku juga tidak menolak sepenuhnya sisi perempuanku itu. waktuku lebih banyak aku habiskan untuk mendekatkan diri padaNya dan aku memutuskan untuk tidak menikah dengan siapapun seumur hidupku. Karena hal itu hanya akan menyakitiku. Sepanjang hidupku aku habiskan untuk mendekatnya kepadaNya. Sebuah cara yang efektif untuk tidak begitu memfokuskan pikiranku pada GID yang aku alami

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun