Halo Kompasianers! Sudah lama sekali rasanya saya enggak nulis disini. Hari ini, entah kenapa saya merasa perlu berbagi cerita karena saya yakin banyak di luar sana yang merasakan hal yang sama dengan saya. Saya ingin menyemangati siapapun yang pernah atau sedang menghadapi yang saya alami. Saya ingin berbagi soal depresi. Sebelum saya bercerita banyak, saya berharap teman-teman disini tidak menghakimi atau kata lainnya judgemental. He he.Â
Apa itu depresi? Saya ambil pengertiannya dari World Health Organization aja ya, yakni:
Depression is a common mental disorder that presents with depressed mood, loss of interest or pleasure, decreased energy, feelings of guilt or low self-worth, disturbed sleep or appetite, and poor concentration.
Ya, saya pernah mengalami depresi dan saat ini dalam masa-masa pemulihan. Saya mengalami semua hal di atas yaitu hilangnya ketertarikan saya atas hal-hal yang biasanya saya suka, perasaan bersalah, nafsu makan yang jauh menurun, dan susah tidur yang teramat sangat. Saya sedikit cerita dulu ya, kenapa saya pada akhirnya bisa depresi. Bulan Juli 2017 lalu, Ayah saya meninggal karena penyakit jantung tepat dua hari setelah pengumuman saya diterima pendidikan S2 di sebuah perguruan tinggi negeri terkemuka di Indonesia.Â
Ibu saya juga sudah meninggal lebih dulu pada Januari 2013 juga karena penyakit jantung tepat dua minggu sebelum saya sidang skripsi. Perasaan saya sungguh campur aduk ketika Ayah saya meninggal. Sedih iya, menyesal iya, marah sama rumah sakitnya iya, dan tentunya rasa kesepian dan sendiri karena merasa sekarang harus menanggung segalanya sendirian hingga hilang semangat untuk hidup.Â
Saya yakin, orang-orang yang mengalami depresi adalah orang tipe pemikir. Mereka akan selalu berpikir kenapa sesuatu yang buruk terjadi kepada mereka, menggali-gali apa kesalahannya secara terus-menerus, dan selalu ada perasaan kesepian meski memiliki teman yang banyak. Banyak sekali yang mengaitkan depresi dengan ke-religius-an. Namun, menurut saya pribadi.. enggak juga sih.Â
Saya sendiri, sungguh percaya dengan Tuhan dan saya tahu bahwa segala yang saya alami adalah sesuatu yang telah ditakdirkanNya. Orang bilang, kalau rindu berdoa saja semoga bisa dipertemukan di surga nanti. Namun, kerinduan yang teramat sangat atas keberadaan mereka menurut saya adalah hal lain. Ketika saya mendapat hasil baik di pekerjaan, tentunya saya ingin berbagi hal tersebut kepada orang tua saya. Ketika saya mendapatkan hasil baik di perkuliahan, tentunya saya juga ingin berbagi. Ketika saya sedang galau percintaan, tentunya saya ingin bercerita kepada mereka.Â
Bagaimanapun juga buat saya, orang tua adalah sosok tempat saya berbagi banyak hal, selalu bisa diandalkan, dan yang selalu sayang dan cinta apapun kondisi saya. Ada urusan-urusan lain juga yang harus saya tangani sepeninggal orang tua saya yang membuat saya selalu banyak berpikir terutama saat malam hari sepulang kantor.Â
Saya kemudian bercerita kepada teman-teman terdekat saya mengenai keadaan saya. Saya yakin tidak mudah bagi siapapun yang mengalami depresi untuk berani bercerita akan keadaannya. Tentunya yang diharapkan setelah bercerita adalah rasa tenang, merasa didukung dan tidak sendirian. Namun, yang saya dapatkan justru sebaliknya. Don't compare. Sebaiknya tidak mengatakan bahwa apa yang orang itu alami tidak sebanding dengan apa yang orang lain di luar sana alami.Â
Bahwa ada orang lain yang lebih sengsara dan menderita. Lebih baik dengarkan apa yang menjadi masalah orang tersebut dan semangati tanpa membanding-bandingkan. Scars exist even if you can't see them. Yang lebih penting lagi, jika kami tau temanmu sedang depresi, sering-seringlah ajak dia keluar bersosialisasi atau paling tidak lebih sering menanyakan kabar. Banyak orang depresi yang pada akhirnya memilih mengakhiri hidupnya karena saya yakin mereka tidak mendapatkan rasa nyaman dengan sekelilingnya. Coba lebih sering mengatakan "you did well..","you've worked hard", "you're worth it"kepada orang-orang terdekatmu.Â
Depresi atau mental ilness jelas bukan hal main-main. Â Menurut WHO;