Mohon tunggu...
Prakasita Nindyaswari
Prakasita Nindyaswari Mohon Tunggu... Administrasi - Gula Jawa

Love coffee and cheesy jokes. Passionate in arts and cultures. International Relations graduate, but currently into Law.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Gadget: Pentingnya Menanamkan Sebuah 'Nilai' Bukan 'Harga'

5 September 2012   12:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:53 1728
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13468466411111821259

[caption id="attachment_210628" align="aligncenter" width="500" caption="fnr-site.blogspot.com"][/caption] Semua sudah tahu bahwa anak-anak kecil jaman sekarang, sudah memiliki handphone yang spesifikasinya tidak kalah dengan orang tuanya sendiri. Coba saja lihat berapa banyak anak kecil jaman sekarang yang sudah mahir menggunakan iPad untuk bermain angry birds atau buka facebook, berapa banyak anak kecil yang sudah memiliki Blackberry padahal hanya BBM-an dengan orang tuanya atau ngerumpi sama teman-temannya lewat BBM ngomongin boyband atau girlband cilik yang lagi ngetop saat ini. Tidak heran jika banyak aksi kriminalitas terhadap anak-anak, karena memang benda yang dibawa anak-anak jaman sekarang, mahal-mahal cyin. Mungkin apa yang saya katakan sekarang, adalah kalimat yang mungkin akan dibenci oleh anak-anak saya nanti (jika nanti saya sudah punya anak, hehe :D), seperti yang saya sendiri rasakan ketika saya masih abege (sebenarnya sekarang juga masih abege sih :p). Apa? Yaitu membandingkan jaman sekarang dan jaman dulu. "Kalau Ibu dulu tuh ya, hapenya budug banget waktu seumur kamu. Kamu ngapain pengen hape canggih-canggih? Nantilah kalau kamu udah gede", mungkin saya akan bilang begitu kali ya kalau saya sudah jadi Ibu-Ibu nanti kepada anak saya. "Ibu, itu tuh jaman dulu.. jaman sekarang udah bed kaleeeee..", dan itu mungkin yang akan di jawab oleh anak saya nanti. Oke, mumpung saya belum punya anak dan masih merasa abege juga, saya ingin membandingkan fenomena tentang telepon seluler yang saya alami sendiri, dan akan sedikit dibandingkan dengan keadaan jaman sekarang. Check it out. Saya beruntung, memiliki orang tua yang mengajarkan apa arti sebuah 'nilai', bukan sebuah 'harga'. Tujuannya, supaya saya bisa menghargai apapun dilihat dari sisi 'nilai' nya, bukan 'harga' nya. Hal itu tidak hanya diterapkan kepada saya saja, tetapi juga kakak saya. Kami berdua, baru bisa memiliki barang yang cukup lumayan setelah kami berdua beranjak dewasa. Hmm, saya mulai dari masa-masa SD dulu ya. 1. Masa Sekolah Dasar

Kalau anak-anak SD jaman sekarang sudah memakai blackberry, iPad, iPhone, samsung galaxy, dan sejenisnya, maka yang terjadi kepada saya ketika saya SD dulu adalah, saya tidak diberikan handphone  sama sekali oleh kedua orang tua saya. Teman-teman saya dulu sudah banyak juga lho yang sudah punya handphone. Jaman dulu seluler yang sedang in banget itu Nokia dan Siemens. Jaman dulu gaul banget kalau bawa handphone Nokia ke sekolah. Lalu, apakah mereka menggunakannya untuk berkomunikasi dengan orang tuanya? Tidak. Hapenya buat main games ular-ularan (kalau yang pernah punya Nokia pasti tau) atau main permainan namanya Space Impact (main pesawat yang bisa nembak-nembak itu), dan handphone nya itu di oper dari satu tangan ke tangan yang lainnya, sampai baterai nya habis. Saya dulu kalau mau sms teman-teman saya, pinjam hape milik orang tua saya. Kalau mau menghubungi orang rumah ya pakai telepon koin atau pinjam telepon di ruang guru. Dan saya, happy-happy saja tuh hidup tanpa telepon seluler. Bahkan sayanya sendiri juga tidak meminta untuk memiikinya.

2. Masa Sekolah Menengah Pertama

SMP kelas 1, saya masih belum memiliki handphone. Teman-teman saya waktu itu sudah banyak yang memiliki handphone dengan seri terbaru, yaitu handphone Nokia yang pertama kali ada kameranya. Sony Erricson juga dulu sudah mulai ngetrend. Dan saya, masih merasa fine-fine aja meskipun tidak memiliki telepon seluler waktu itu. Padahal, sekolah saya dulu jauh lho dari rumah. Pulang pergi naik angkutan umum. Dan mungkin, karena Ibu saya sedikit khawatir dengan saya secara saya perginya pagi-pagi buta naik angkutan umum dan pulang sore, maka Ibu saya merasa perlu untuk membelikan saya handphone. Dan, kelas 2 SMP adalah kali pertama saya memiliki handphone. Handphone yang saya miliki dulu hanya handphone merek Motorolla tipe C, warna biru, dengan layar yang belum berwarna. Tidak bisa akses internet juga. Fungsinya hanya untuk smsan dan telepon saja.

Pada saat itu, teman-teman saya sudah banyak sekali yang memiliki handphone yang sudah berkamera dengan berbagai jenis merek. Mayoritas sih Nokia. Setiap istirahat atau tidak ada guru di kelas, banyak yang mendengarkan musik dan foto-foto bersama teman-teman yang kemudian di upload ke situs jejaring sosial Friendster yang dulu lagi ngetop abis. Smsan atau teleponan nya bukan dengan orang tua, tapi dengan pacar. Uuuu. Masa SMP memang sudah banyak yang mulai memiliki ketertarikan dengan lawan jenis. Hi hi. Intinya, pada masa SMP, banyak yang menggunakan handphonenya untuk mendengarkan musik, foto-foto untuk di upload ke jejaring sosial, internetan untuk membalas testimonial teman-teman di Friendster, dan smsan sama pedekate-annya atau sama pacarnya.

Kelas 3 SMP, saya akhirnya punya hape baru, yaitu Motorolla (juga), tapi yang sudah ada kameranya dan flash light nya dan sudah bisa mendengarkan musik. Kameranya ya masih kamera biasa, dan harganya juga enggak begitu mahal. Waktu itu, Bapak saya yang belikan. Mungkin kasihan kali ya melihat saya, jadi akhirnya Bapak membelikan saya handphone baru yang sedikit canggih, tapi dalam kisaran harga yang tidak mahal. Kalau tidak salah harganya 1 juta. Itupun dibelikan karena rapor saya yang lumayan. Teman-teman saya yang lainnya sudah banyak yang ganti handphone lagi yang jauh lebih mahal dari handphone saya, padahal kalau dilihat dari sisi fungsionalnya, ya sami mawon dengan hape saya. :)

4. Masa Sekolah Menengah Atas

Ketika saya kelas 1 SMA, saya masih dengan handphone Motorolla saya itu, sampai saya beranjak ke kelas 3 SMA. Di Kelas 3, saya baru mendapatkan handphone baru, Sony Erricsson dengan kamera 2 Mega Pixel, ada flash lightnya juga, dan akses internetnya sudah 3G. Itu dibelikan semester 2, hadiah ketika saya mendapatkan beasiswa di sebuah universitas, yang menjadi universitas saya sekarang, plus memang handphone Motorolla saya itu keypadnya sudah mulai rusak, jadi memang sudah sewajarnya handphone saya yang lama dipensiunkan. Waktu itu, handphone saya enggak begitu kalah jauh lah di banding yang lain. He he. *sombong banget lo, Sit*. Saya menggunakan handphone itu untuk internetan, smsan, foto, yahoo! messenger. Sudah. Tapi saya rasa sih, untuk ukuran kelas 3 SMA, sudah pantas lah diberikan handphone yang lumayan, karena setidaknya kita sudah bisa jaga diri dan sudah tau mana yang benar dan tidak. Well, mungkin enggak semua anak bisa jaga diri dan bisa dipercaya juga, tapi masa saya SMA, alhamdulillah selalu dalam jalur yang lurus-lurus saja. Ha ha.

5. Masa Kuliah

Semester 1 dan semester 2 saya masih menggunakan handphone Sony Erricsson saya itu. Tetapi, waktu pertengahan semester 3, handphone kesayangan saya itu LCD nya kedudukan pantat saya sendiri, sampai retak dan alhasil layarnya jadi blank. Jadi, saya taruh handphonenya di saku belakang jeans, yang ternyata di aku tersebut saya juga menaruh kunci asrama saya. Nah, si kunci itulah yang membuat LCD handphonenya retak karena kedudukan pantat saya sendiri. he he. Tapi saya tidak langsung diberikan handphone yang baru. Mungkin orang tua saya menghukum saya, karena itu murni keteledoran saya. Nah, ketika saya berulang tahun, saya diberikan handphone baru yaitu Blackberry tipe Tour, spesifikasinya sih lumayan. Sudah akses internet sudah HSDPA 7.2 mbps apa ya kalau tidak salah, kamera 3.2 megapixel, ada flash nya juga, ya pokoknya bagus. Sudah bisa membaca file format PDF, excel, dan words. Harganya lumayan mahal, karena pada saat itu Blackberry belum seheboh sekarang, sampai dengan seharga 1.5 juta saja kita bisa membeli Blackberry baru gresss.

Saya gunakan blackberry itu untuk email-emailan dengan dosen, mengirim tugas perkuliahan, sebagai 'flashdisk', mendengarkan musik, dan BBM-an dengan teman. Ya, saya rasa untuk seorang anak kuliah, sudah cukup pantas menggunakan blackberry karena memang ada kebutuhannya. Jadi bukan sekadar BBM-an saja. Berdiskusi mengenai kegiatan-kegiatan di klub melaui BBM, rapat melalui BBM, dan memberi tahu tugas perkuliahan melalui BBM. Saya waktu itu sudah bertekat akan mempertahankan hape ini sampai saya kerja. Ternyata gagal. Kenapa? Saya jual Blackberry nya, karena sesuatu hal, dan ganti dengan handphone bermerek Samsung, tapi bukan Samsung Galaxy yang canggih itu ya, tapi Samsung biasa yang spesifikasinya jauh dibawah handphone yang saya miliki sebelumnya. Kamera 1.3 MP, tanpa flash, akses internet GPRS, tapi touch screen. ha ha. Harganya hanya 600 ribu. Lhaaa? Kok menurun?

Well, dengan handphone yang saya miliki sekarang, saya benar-benar bisa merasakan fungsi dan nilai sesungguhnya sebuah handphone. Dengan memiliki handphone yang biasa banget itu, saya enggak merasakan kehilangan apapun.Internetan saya pakai modem, untuk foto-foto pakai pocket kamera, untuk berkomunikasi dengan teman ya smsan, telepon, twitter, dan yahoo! messenger. Semuanya berjalan biasa saja, tanpa saya mengalami perasaan minder sedikitpun. Mendengarkan musik pun bisa dengan handphone tersebut, karena memorinya cukup besar. Handphone alias telepon seluler, secanggih-canggihnya handphone, takdirnua tetap berakhir kepada sms dan telepon.Karena tetap saja kita kan butuh modem, butuh kamera, butuh laptop juga kan. Ya, kalau pekerja kantoran ataupun pebisnis memang membutuhkan handphone yang smart, akan kebutuhannya mengirim email kepada klien(misalnya) di saat-saat urgent. Tapi, tidak untuk anak-anak kecil yang hanya menggunakannya untuk sekadar pamer-pamer, BBM-an, atau main saja. Hmm, karena sekarang saya sudah bekerja, saya lagi menabung untuk membeli gadget yang sesuai untuk kebutuhan pekerjaan nih :p

Hadi, mari tanamkan kepada anak, value dari sebuah barang, bukan 'price' nya. Sehingga anak bisa menghargai apapun yang dimilikinya, dan menjaganya baik-baik, dan tidak terobsesi memiliki sesuatu berdasarkan harga yang menjadikannya konsumtif, tetapi justru yang menjadikannya selektif.

Salam,

sita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun