Kita mungkin pernah menyaksikan film berjudul : Denias, Indonesia Tanah Air Beta, Ditimur Matahari atau 'Cahaya dari Timur: Beta Maluku’. Sejumlah deretan judul film ini mengambil latar kondisi kehidupan di daerah timur Indonesia, mulai dari NTT, Maluku hingga Papua, yang memang hampir memiliki kondisi geografis, demografis dan kehidupan sosial yang sama. Pada pertengahan bulan Mei 2016 kali ini kita kembali disuguhi sebuah film sejenis yang kemudian menambah deretan panjang perfiliman tanah air yang mengambil latar kehidupan disalah satu daerah terpencil diujung Indonesia tepatnya di Dusun Derok, Kabupaten Timor Tengah Utara Nusa Tenggara Timur (NTT). Film besutan Herwin Novanto kali ini diberi Judul : ‘Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara’. Ini adalah film ketiga karya Herwin Novanto setelah ‘Jagad X Code’ dan ‘Tanah Surga.. Katanya’. Film ini mengambil dua lokasi pengambilan gambar yang sangat kontras. Diawali dari pengambilan gambar awal di Daerah Jawa barat tepatnya di perkampungan kecil Ciwidey dan kemudian di perbatasan Atambua NTT. Aisyah yang diperankan oleh Laudya Chyntia Bella bercerita tentang seorang Dara cantik muslim yang bercita-cita menjadi seorang guru, karena selalu mengingat petuah luhur sang Ayahanda yang pernah berpesan bahwa peran seorang Sarjana itu harus mampu memberi kemazlahatan bagi banyak orang, sebab jika hanya mampu memberi kesejahteraan bagi diri sendiri, maka itu adalah sarjana kelas dua.
Sebuah kesempatan untuk menjadi guru itupun kemudian terbuka lebar setelah Aisyah mendapat panggilan dari sebuah yayasan untuk menjadikannya tenaga pengajar menggantikan guru yang tak jadi mengambil posisi ini karena sebuah alasan tertentu. Keinginan kuat Aisyah untuk berangkat ke daerah tempat pengabdiannya sebenarnya mendapat penolakan keras dari Ibunya (Lydia Kandao) karena terkesan emosional dan terburu-buru. Keputusan ini awalnya memang tampak hanya sebagai sebuah pelarian kekecewaannya atas konflik batin kepada si Aa (Ge Pamungkas) yang menyampaikan keinginannya berangkat ke Aceh, dengan alasan mendapat tugas dari tempat bekerja dalam kurun waktu tak tentu. Hubungan Aisyah dan Aa memang adalah “diam-diam namun saling menyayangi” tetapi karena tak ada pengungkapan langsung dari kedua belah pihak, maka jadiah hubungan mereka sebagai Status tak jelas (istilah ABG masa kini).
Berbagai pergolakan batin ini tak mampu menghempang langkah Aisyah untuk melanjutkan tekadnya berangkat ke tanah NTT, untuk mengabdikan diri sebagai Guru disana. Konflik muncul ketika Aisyah telah sampai di NTT. Dengan menumpang sebuah bus dan atas petunjuk seorang suster katolik yang kemudian dijemput kembali oleh Pedro (komika Arie Keriting) tibalah Aisyah di Dusun Derok, Kabupaten Timor Tengah Utara . Disana Ia telah disambut oleh rombongan kepala dusun dan penduduk setempat dengan sebuah ritual penyambutan adat didaerah tersebut. Kesan natural kondisi kehidupan sosial masyarakat NTT sangat tampak dalam bagian ini, meskipun ada kesan kelucuan yang sebenarnya tak mengurangi esensi. Karena kesalahan informasi penyebutan nama Aisyah berubah menjadi Suster Maria, dan menyebabkan Aisyah jatuh pingsan. Keesokan harinya proses pengajaran baru dimulai, rupanya Ia mendapat tugas mengajar anak kelas 5 SD di sebuah sekolah reot. Kondisi di sana tak semudah yang ia kira. Ada penolakan dan sekelumit drama yang mesti ia hadapi. Kita pernah menyaksikan film yang serupa namun tak sama semisal 'Ditimur matahari', Denias atau 'Cahaya dari Timur: Beta Maluku’. Namun, 'Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara' ini mampu memberi rasa dan kesan yang sama sekali berbeda dalam caranya yang baik.
Penolakan yang sangat keras dari murid-murid tampak begitu jelas dihari pertama Aisyah mengajar. Suasana kelas begitu dingin, kaku dan mencekam. Seorang murid berpostur badan agak besar bernama Lordis Difam telah berhasil memprovokasi seluruh murid dalam kelas untuk melakukan boikot belajar, hingga akhirnya semua murid bergerak keluar ruang kelas dan pulang kerumah masing-masing. Ada stigma kebencian yang melekat dalam pikiran murid-murid kelas 5 yang akan diajar oleh Aisyah, yang sebenarnya bukan tanpa alasan.
Menurut Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia,Alur kisah film ini mengalir dengan begitu terjaga, dipenuhi dialog-dialog yang bagus, disampaikan lewat bahasa gambar yang menakjubkan hasil bidikan penata kamera Edi Michael ('Bidan Lelaki', '9 Naga’). Dan, ini yang paling utama, film ini tampil begitu baik lantaran dipenuhi para pemain yang luar biasa tampil mengesankan. Tak terlihat sedikit pun penampilan yang artificial. Laudya Cynthia Bella, Lydia Kandou, hingga para pemain lokal seperti pemeran Mama Dusun, Kepala Dusun, anak-anak, semua tampil wajar. Bahkan cuma di film ini kita dapat melihat bahwa komika Arie Keriting ('Comic 8') pun ternyata bisa berakting juga.
Belakangan kita mengetahui, konon, para pemeran lokal di film ini berdialog dalam aksen Papua, sebagian dalam aksen Kupang. Padahal setting film ini adalah Timor Tengah Utara NTT. Orang-orang yang berkomentar seperti ini mungkin lupa bahwa Leonidas dari Sparta dalam film '300' diperankan oleh Gerard Butler, orang Skotlandia yang berbicara dalam logat Skotlandia di film berlatar Yunani. Orang-orang ini lupa bahwa hampir sebagian besar film Amerika diisi oleh para pemain berkebangsaan Inggris dan Australia yang berdialog bukan dalam aksen Amerika asli. Mengkritisi logat para pemain lokal dalam film ini sama saja dengan mengkritisi semua film Hollywood yang pernah kita tonton.
Pesan Moril dan Edukasi
Berbagai konflik yang tampak dalam alur film serta berbagai cara pendekatan yang dilakukan untuk meredam bahkan menghilangkan konflik ini sangat memberikan banyak inspirasi yang konstruktif. Pesan moril yang disampaikan sangat begitu nyata dimana Aisyah tampak dengan penuh cinta melakukan berbagai pendekatan kepada para murid dan Kepala dusun untuk mencari solusi agar ia bisa diterima sebagai seorang guru yang akan mendidik dan mengajar, juga sebagai bagian dari masyarakat NTT. Pergulatan batin atas penolakan dan kebencian salah seorang murid bernama Lordis Difam hanya karena gurunya beragama Islam sementara mereka mayoritas beragama Katolik memang tak mudah dituntaskan. Meskipun demikian Aisyah tetap penuh cinta mendidik murid-murid yang lain sembari mencari tahu informasi tentang Lordis Difam dan kehidupan keluarganya, dari murid-murid bahkan dari penduduk setempat. Hingga pada akhirnya diketahui bahwa latar belakang keluargalah yang menyebabkan Lordis difam begitu kasar dan temperamental serta berpikir sempit. Ia tinggal bersama pamannya yang sangat temperamental juga tertutup, sebab orang tuanya sudah tak tau dimana rimbanya sejak pergi merantau meninggalkan NTT. Mereka juga pernah menyaksikan langsung konflik SARA di Ambon sebab Lordis sering diajak berlayar oleh pamannya ke berbagai tempat. Ini pulalah yang menyebabkan Lordis sering tak masuk sekolah dalam kurun waktu yang lama.
Sebagai seorang guru yang tinggal di daerah terpencil tanpa listrik dan jaringan Signal yang sangat lemah memang memaksa Aisyah untuk beradaptasi sangat kuat dan harus kreatif. Untuk mengisi baterai Handphone saja harus menitip kepedagang sembako langganannya yang sering kepasar. Sesekali jika ada kesempatan setelah mendapat honor mengaja, Ia pun ikut kepasar bersama murid-muridnya dengan menumpang mobil barang Pak Pedro. Melihat kondisi kehidupan dan perekonomian di pasar mengajarkan kepada Aisyah tentang peluang-peluang ekonomi. Nilai edukasi ini mengajarkan kita untuk mampu melihat berbagai kesempatan-kesempatan. Aisyah kemudian berpesan kepada salah satu murid yang Ia kenal neneknya mampu membuat kain tenun kerajinan khas budaya NTT dan disarankan untuk dijual kepasar. Aisyah juga menyampaikan pesan edukatif lewat keikutsertaannya merancang pohon natal bersama para murid-muridnya dengan memanfaatkan berbagai material yang tersaji di alam. Sekali lagi kita digugah soal indahnya kebersamaan meskipun dalam bingkai perbedaan.
Masa kekeringan kemudian melanda desa kecil tempat Aisyah mengabdikan dirinya mengajar, waktu itu bertepatan pula dengan masa puasa (Ramadahan) bagi umat muslim. Jangankan untuk kebutuhan mandi dan Wudhu untuk sholat. Untuk kebutuhan minumpun mereka sangat kesusahan. Namun lagi-lagi Aisyah memberi nilai edukasi yang mampu menjawab kegelisahan para murid juga masyarakat sekitarnya. Praktik menjernihkan air keruh yang diajarkan kepada para murid saat belajar Ilmu Alam kemudian diaplikasikan dalam kehidupan nyata dengan memanfaatkan semua potensi yang ada. Para murid dilibatkan langsung bersama penduduk setempat dan usaha inipun berbuah baik bagi semua orang. Walau sederhana namun berbuah luar biasa.
Berbeda tak harus hadirkan Petaka