[caption id="attachment_272260" align="aligncenter" width="150" caption="dok.pribadi"][/caption] Hujan semalam masih meninggalkan bekas pada sebuah bale bamboo dibawah sebuah beringin dekat pertigaan yang menuju rumahku. Disetiap sisi ruas bambu terikat dengan tali-temali ijuk. Beberapa sisinya sudah rapuh. Bale ini milik pak Narto, penjual kelapa muda yang sudah tak muda lagi. Es kelapa mudanya terenak di kampung ini. Beliau cukup konsisten dengan profesinya, tak heran pelanggannya pun tetap setia untuk mencicip es kelapa mudanya. Entah kenapa setiap serutan halus kelapa mudanya tetap meninggalkan rasa meskipun sudah tertelan jauh didasar perut. aromanya khas, ada gula aren yang tak terlalu pekat manisnya. Seketika keringat tergantikan oleh segelas air kelapa spontan badan lelah berubah bugar. Sepertinya es kelapa pak Narto serupa khasiat minuman Ber-Ion yang selalu muncul iklannya di Televisi. Hujan di awal juli, mungkin sebagian orang baranggapan biasa-biasa saja. Namun bagiku ini suatu pertanda akan datangnya sesuatu hal yang luar biasa. Sudah setengah jam menunggu es kelapa pak Narto, tapi belum ada tanda-tanda. Mungkin sedang nyekar ke kampung halamannya. Halaman demi halaman majalah gratisan telah terbaca. Keheningan terpecah oleh lonceng khas gerobak es milik pak Narto. Bagiku pak Narto bukan sekedar penjual es kelapa muda, ada sesuatu hal yang istimewa dibalik tubuhnya yang mulai renta, sesuatu hal yang coba dia sembunyikan dengan kesederhanaan tutur kata dan penampilannya. “ Narto, Na Ruto… Naruto….” Namanya sedikit mirip dengan karakter anime kesukaanku “Mungkin Pak Narto salah satu Jounin yang memiliki Qyubi yang sangat menakutkan…” gumamku….. “Pak…., satu gelas jangan terlalu manis, tanpa es batu ya… ” Sebagai seorang pendekar es kelapa muda, Pak Narto sangat lihai memainkan parang untuk membelah kelapa demi kelapa. Belum lagi kepekaanya mencampurkan gula aren kedalam setiap gelas para pelanggan setianya sangat pas, sesuai dengan pinta pelanggannya. Segelas kelapa muda tanpa es batu sudah ada ditanganku. Sedikit demi sedikit mulai berpindah kedalam rongga kerongkonganku. Serutan tipis kelapa mudanya sepertinya malt in the mouth, lumer begitu saja tak tersisa. Pak Narto memang membumi penampilannya yang sederhana, tanpa alas kaki. Mungkin itu yang menjadi rahasia nikmatnya es kelapa muda. Ia biarkan kakinya tak beralas supaya mudah menyerap energi dari bumi lalu menstransfernya ke orang-orang sekitar lewat gelas demi gelas es kelapa mudanya. Ia pun tak bertopi untuk menghalangi panas terik matahari. Rupanya ia menyerap energy sang surya juga, pantas saja senyum sapa dan bahasanya sangat hangat pada setiap orang. Sebentar saja es kelapanya sudah habis terjual tak bersisa. Kini beban gerobaknya mulai berkurang, itu berarti misi pak Narto hari ini telah selesai. Setumpuk kelapa muda yang ia jajakan telah berganti menjadi belasan lembar rupiah sebagai bekal mencukupi kebutuhan sehari-hari dan sebagian adalah modal untuk keesokan hari. Beringin besar di simpang jalan itu memang menjadi magnet bagi setiap orang, baik tua, muda, anak –anak pasti suka berlama-lama disana. Karena disana ada pak Narto sipenjual es kelapa muda, Bi Inah si penjual gado-gado. Mang Udil si penjual mainan anak-anak dan hampir selusin penjual musiman. Tak jauh dari beringin besar itu gedung sekolah SD yang hampir ambruk, beberapa meter kearah selatan berdiri sebuah SMK negeri. Beringin besar di simpang jalan ini menyerap banyak luapan curahan hati, setiap pagi ibu-ibu bergosip dan saling curhat masalah harga yang melambung tinggi, disela-sela riuh gosipan ibu-ibu, anak-anaknya ramai membicarakan beberapa temannya yang baru kemarin tertimpa genteng saat pelajaran Geografi, setelah matahari tepat diatas kepala sudah berganti, beberapa rombongan pegawai negeri singgah kesini, menghabiskan siang dan memesan gado-gado Bi Inah yg juga kesohor. Kali ini mobil keluaran terakhir terparkir, beberapa meter telah terisi beberapa motor sport milik PNS muda yang baru dilantik kemarin. Setibanya malam penghuni beringin besar ini berganti, pastinya bukan si Kunti atau genderuwo mahluk ghaib favorit orang sekampung, melainkan bapak-bapak peronda kampung ini. Sudah segelas terisi perut ini, tinggal melanjutkan perjalanan menuju arah dimana matahari tenggelam. Konon menurut cerita dibawah satu atap sebuah SMK negeri itu beberapa rekan honor nasibnya belum berubah masih mengajar seperti biasanya, hanya saja namanya terganti oleh rekan guru-guru yang sudah terlanjur berstatus PNS yang kebetulan jam mengajarnya kurang dari 24 jam. Ternyata hebat pemerintah kita menciptakan jurang pemisah, membuat pembeda seperti langit dan bumi. Gaji honorer sangat kecil jika hanya dibandingkan dengan tunjangan kompetensi. Matahari mulai kelelahan. Belum juga separuh perjalan terlalui oleh roda-roda sepeda motor tua peninggalan kakekku. Idealnya pemerintah seperti pohon beringin besar ini, menjadi tempat hidup yang harmonis meski berbeda asal, budaya dan golongan. Mengayomi, Melindungi segenap penghuni negeri. sementara pak Narto adalah wujud ideal rakyat jelata dari negeri gemah ripah ini. hidup harmonis dengan sesama, mengolah hasil bumi selaras dengan alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H