Kartini, kupu-kupu kecil idaman mata, dambaan jiwa. Hari itu ia terbang melandai diantara mentari cemerlang, mengepak rembiak sayapnya menuju tanah lapang cintamu, dibulan empat bulan dambaan bulan kenangan.
Lindap cahaya di penghujung tanah lapang, seribu mata penjajah berkeliling menghakimi.Bengis, "inikah zaman yang kejam itu" hatinya bergejelok, darahnya mendidih, kalbunya berkidung aku harus pulang.
Dikanan kirinya kaumnya terpasung, meraung memohon ampun, ditodongnya wajah-wajah yang memerah, tanpa rias, tanpa bias, "Mereka takut... pada zaman kejam itu"
Kartini, berdiam melepas seribu pasung, tiada lagi gentar didalam hatinya, terang...terang... bersama rasa sayang, tenang...tenang... kidung laraku kecil akan hilang bersama laramu. Kemudian ia berkata suaranya bergetar menggema cemara "Lihatlah tanah lapangku ini... tanah lapang pemberian sejati dari ibu pertiwi, disinilah kita akan membela siapa yang membelai kita, dikau jua yang berdiam diketam rasa takut mencekam, kini masanyalah kita bangkit, membuai balas ibu pertiwi, di bawah bumi diatas langit diantara surga mari kita persembahkan nyanyian dan kita guncangkan bumi, kita katakan pada anak-anak, adik-adik, ayah, dan ibu dan kakak kita, bahwa kita bisa"
Sekali lagi, tanah lapang menambatkan kita dengan angin yang sangat sepoi, satu desir cemara tak bisa terdengar diantara berjuta desirnya. Kemudian jiwa yang telah terlepas dari pasungan itu pun saling bangkit, meski sakit, bekas pasunganya masih menggurat diatas kulit kaki, tapi apalah artinya itu tak sebanding demi pembebasan bertutur kata, merangkai kata, menghitung kata, menulis dan membacakan kata, dari mulut-mulut yang dulu purba.
Bagaimana Kartini bisa berdiri, dulu ia tak dalam keseimbangan hati, ia remuk sendiri tercampakan dipinggir pantai bersama pasir, musnah ditarik ombak, kemudian hancur menghantam karang. Itulah guratan hukum yang diterimanya, ia manusia yang selalu rindu kebebasan, tercebur lebur ia dalam kabut tekad dan peleburan demi kaumnya.
Ia yang dulu sendiri tanpa wujud, berlari mengembara,meratap dan menangis, mencari-cari kemana ia akan dibentuk dan membentuk, kalian tahukah hawa kalianlah bentuk dari Kartini, karena begitulah sunah Tuhan yang tanpa ujud akan selalu berusaha mencari bentuk, tak akan pernah berhenti ia sampai menemukanya, dari itulah jagalah wujud kalian sebagai kartini zaman paling baru, zaman kejam dengan kekejaman baru.
Ialah penyunting gelap untuk kalian yang sekarang telah menjadi bulan, matahari, bintang, dan benderang lainya. Sekali-kali larutlah dalam kabutnya dan hayatilah kehidupan dari asal kejadian, tak akan kalian membumbung keangkasa tanpa terbelah pecahnya langit yang membelenggu mata dari penglihatan, dan kini kalian berpestapora dalam gairah dan kebebasan?renungilah.
Gugurnya pendekar bangsa, matinya pendekar kaumnya, adalah semata-mata mencari hakikat tanah lapang cintamu, demi terdengarnya jerit suara tangis kalian oleh telinga kehidupan, demi dihiraukanya bentuk kalian dari mata kehidupan, demi direngkuhnya kalian dari tAngan perkasa kehidupan.
Lihatlah sekarang kalian yang dulu sepi suara tanpa gema, kalian yang dulu penyantun derita, kalian senyap sekali dari daya pendengaran. Dialah ibu kita semua Ibu kartini sang pengukir jiwa, pemberi bentuk dan citra takdir baru untuk Sang Hawa.
Terinspirasi dari sebaris kata : "Habis Gelap Terbitlah Terang" [R.A. Kartini 21 April 1979 s/d 17 September 1904]