“Dewata seperti tidak adil kepada keluarga kita... lihatlah kakang sedangkan anak-anak pandu tidak ada satupun yang meninggal sementara anak kita habis semua ditelan maut... tidakah kang mas membaca kesana... apalagi pada si bima itu... yang bengis membunuh anak kesayangku duryudana dan dursasana... sampai hati ia menginjak-injak kepala saudaranya yang sudah tidak bernyawa... bertindakah sesuatu kang mas setidaknya untuk membalaskan sakit hatiku pada bima...” tambah gendari berapi-api penuh dendam.
Berita kemenangan pandawa seusai perang saudara maha dahsyat di tegal kurukhsetra disambut penuh suka cita oleh seluruh rakyat astina yang sangat ingin melihat perubahan seperti masyarakat jakarta saat ini. Jalanan dipenuhi umbul-umbul, cemas dan gembira bergelut dalam setiap dada masyarakat astina. Cemas para istri menunggu kabar suaminya yang ikut dalam perang besar kala itu ikut menjadi korban meninggal atau pulang dengan selamat. Gembira karena masa depan negeri mereka mungkin akan menjadi lebih baik setelah salah satu keluarga pandawa menjadi narendra baru bagi mereka nanti. Tak terkecuali masyarakat astina yang sibuk menyiapkan penyambutan bagi para pandawa dan keluarga yang masih hidup kesibukan, kecemasan, kegembiraan dan pengharapan sama pun membumbung menyelimuti istana astina dengan para penghuni didalamnya.
Seperti tidak lengkap kegembiraan ibu kunti saat menyadari bahwa semua cucu-cucunya tak ikut mencecap kegembiraan kemenangan bersama ayah-ayah mereka karena mereka menjadi korban. Wajah – wajah polos gatotkaca, wisanggeni, antareja, antasena, membayang dalam anganya, hingga membuat magma airmata itu keluar perlahan dari matanya. “Duuuhh... gusti, tidak lengkap sepertinya perayaan kemenangan ini tanpa kehadiran cucu-cucuku...”
Sesuai saran dari raja dwarawati prabu kresna bahwa yudhistira berpesan agar keluarga pandawa yang tersisa jangan terlalu bergembira, karena kegembiraan yang berlebihan membuat kita lupa akan kesejatian dari rasa syukur, dan harus diingat tetap tidak ada yang dibahagiakan setiap hati jikalau kedamaian itu diperoleh dengan cara berperang, apalagi yang diperangi adalah saudara pandawa sendiri yang masih termasuk dalam dinasti kuru yaitu kurawa.
“Ingat bibi... Kang mas destarata dan mbak yu gandari, meskipun mereka berusaha untuk biasa – biasa saja, tetap saja hati mereka ikut kalah dan pastio terbakar rasa dendam atas kehilangan anak-anak kurawa” papar kresna.
“Bersegeralah bibi meminta maaf kepada mereka yang sedang berkabung...” pinta kresna
Ditemani arya yamawidura kunti pun bergegas menemui destarata dan ibu kurawa gendari.
. . .
Didalam istana.
“Oh, kang mas destarata... kenapa dewata memperlakukan kita seperti ini, seandainya bukan karena dirimu tentu aku lebih baik mati saja mengikuti anak-anakku yang sudah meninggalkanku...” ujar gandari sembari menangis.
“Dewata seperti tidak adil kepada keluarga kita... lihatlah kakang sedangkan anak-anak pandu tidak ada satupun yang meninggal sementara anak kita habis semua ditelan maut... tidakah kang mas membaca kesana... apalagi pada si bima itu... yang bengis membunuh anak kesayangku duryudana dan dursasana... sampai hati ia menginjak-injak kepala saudaranya yang sudah tidak bernyawa... bertindakah sesuatu kang mas setidaknya untuk membalaskan sakit hatiku pada bima...” tambah gendari berapi-api penuh dendam.
Destarata yang semula masih mencoba sabar dan memandang semuanya memang sudah digariskan dewata, kalau pun smeua keturunanya meninggal dalam peperangan itu, tidak lebih karena anak-anaknya banyak menyakiti anak-anak pandu, terbayang telah berapa kali mereka melakukan muslihat agar anak pandawa menderita. Tapi bagaikan sekam yang tertiup angin lama – lama membara juga akhirnya bara dendam yang bersemayam dalam hati sabar destarata. Satu rencana balas dendam tercetus dari sosok buta itu yang tak henti meneteskan air mata demi mengenang putra-putranya yang yang telah tiada.
Tak lama berselang arya yamawidura dan kunti datang menghampiri gandari yang masih bersimpuh didepan suaminya.
“Adiku widura yang bijaksana, bagaimana apakah kau sudah mendapat kabar mengenai kepulangan putra-putraku pandawa aku sangat rindu untuk berjumpa dengan mereka...” ucap destarata.
“Kabarnya sudah sampai di alun-alun kota astinapura... sebentar lagi mereka sampai... akupun sangat rindu dengan mereka kang mas...” jawab yamawidura.
Sementara kunti langsung menghambur memeluk saudara iparnya dewi gandari.
“Ohhh... mbak yu aku mengucap beribu maaf dan berbela sungkawa padamu dan kang mas destarata, tidak ada yang kalah dan yang menang mbak nyu terlebih dari dalam hati yang terdalam pun sebenarnya aku amat menyayangi keponakan-keponakanku. Ini semua sudah menjadi garis takdir yunda dewi, buktinya sudah berapa kali kita berusaha mendamaikan anak-anak kita tapi nyatanya tidak pernah bisa, percayalah yunda aku pun merasakan kehilangan yang sama karena cucu-cucuku pun meninggal semua tak tersisa.” Papar kunti.
Mendengar ucapan kunti gendari pun memeluk erat saudara iparnya sambil terus mengurai air mata.
Diluar terdengar riuh, suara ringkik kuda dan derap kereta.
“Mereka tiba yunda...” ucap yamawidura
Kunti berusaha menyeka air matanya dengan kain selendangnya, nampak semakin jelas didepanya anak – anaknya berjalan menghampirinya dengan senyum yang berkibar-kibar. Arjuna, yudistira, nakula, dan sadewa berlari memeluk ibu mereka tangis ibu dan anak itu pecah seketika.
“Oh, anaku bima apakah kau tidak kangen dengan ibundamu nak... jangan berdiri saja disana nak...” tungkas kunti sambil menatap bima yang tidak mau ikut memeluk ibunya.
“Ibunda, perasaanku kepadamu tiada bedanya dengan saudara-saudaraku, melihat ibunda sehat dan selamat hatiku sudah cukup berbahagia, perasaan kasih sayang dan cinta kasihku tak dapat kuungkapkan dengan gerak dan lelehan airmata, itu tabu bagiku ibu....” jawab bima semabri nggereng.
“Anak-anaku segeralah kalian meminta maaf dengan uwak destarata dan uwak gendari bagaimanapun kalian harus memohon restu mereka agar perjalanan kalian ke depan tak terganjal oleh rasa sakit yang belum selesai...”
Kemudian masing-masing anak-anak pandawa berinmgsut dan bersimpuh memohon maaf dan do’a restu kepada uwak destarata, diikuti drupadi dan sumbadra yang masih selamat. Hanya bima saja yang berdiri menyaksikan semua disamping pintu membelakangi arca gopala. Ketika prabu destarata memanggil-manggilnya, bima hendak melangkahkan kakinya meenemui uwaknya, tapi kresna menyikut tanganya dan memberi aba-aba.
“Huuussshh... tetap diam disini bima, kau jawab saja semua pertanyaanya, dari sini....” ucap kresna lirih.
“Oh, anaku bima dimanakah dirimu kenapa kau tak kemari memohon restu seperti saudara-saudaramu, kemarilah nak uwak menunggu kedatanganmu, uwak rindu sekali...” ujar destarata sambil melangkah kedepan menuju bima yang masih mengikat tangan didepan dadanya, dipapah arya yamawidura, destarata berjalan mendekati bima.
Seluruh yang datang pada saat itu bingung melihat kejadian itu, entah kenapa destarata sangat ingin sekali menghampiri dan memeluk bima. Ketika hampir saja tangan destarata menyentuh bima dengan sigap kresna menarik badan bima hingga terhuyung kesamping patung arca gopala. Bima pun luput dari tangan destarata sementara destara yang mengira patung arca gopala adalah keponakan bima langsung meraba arca gopala.
“Bima inikah kau nak...?”
Benar saja destarata mempunyai maksud yang tidak baik terhadap bima, dia tersulut bara dendam kepada bima. Ia mengalirkan ajian kumbala geni ke kedua tanganya seketika arca perunggu gopala pun hancur berkeping-keping.
“Haaaa hemmmm oh uwak destarata pinisepuhku tak kusangku kau menyimpan bara dendam kepadaku”
Kresna menahan bima yang nyaris saja terbawa emosi, sementara destarata yang mengetahui rencananya tidak berhasil meminta arya yamawidura menuntunya kedalam kamarnya. (*)
(Selesai)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H