Ilustrasi / Google
Lindi terus berlari menyusuri lorong – lorong rumah sakit sembari memanggil – manggil nama ibunya. Derai air mata dan isak tangisnya tak reda sampai langkahnya terhenti didepan pintu masuk kamar jenazah. Dua orang asisten dokter dan satu orang petugas penjaga keamanan merampah badanya yang terus meronta – ronta. . . . Sosok yang menemani, merawat dan menjaga dengan penuh kasih, hingga lindi menjadi gadis cantik seperti detik ini, kini terbujur kaku, mulutnya membisu tak bisa lagi memanggil dengan penuh iba anak perawan semata wayangnya. Lindi, kini akan menjalani hidup sendiri tanpa belaian bunda yang terus mencurahkan kasih sayangnya, dan rela melakukan apapun untuk membahagiakanya. Demi memenuhi permintaan lindi, ia rela peras keringat banting tulang. Sama seperti ibu yang lain yang tak ingin melihat anaknya bersedih saat apa yang anaknya inginkan tak mampu ia berikan. Makanya dengan sekuat tenaga ia berusaha bekerja apapun untuk menyenangkan lindi-nya. Saat lindi meminta dibelikan baju dan rok model jaman sekarang agar tidak dibilang ketinggalan jaman oleh teman – teman sebayanya, ia rela menjadi kuli angkut sayuran dipasar dan upah dari hasilnya bekerja dari malam hingga pagi hari ia belikan baju yang lindi inginkan. . . . Saat menjelang hari raya iedul fitri, lindi merajuk meminta agar ia dibelikan handphone baru oleh ibunya yang bekerja serabutan. Ibunya hanya terdiam, membuat lindi semakin kesal, dan mengira ibunya tak sayang padanya seperti ibu – ibu teman sepermainanya yang membelikan anaknya HP terbaru. Melihat anakya sudah tak mau lagi menegurnya, akhirnya ibu menyanggupi permintaan anaknya “Tapi tidak sekarang nak...?” “Kapan...?” “Sesudah lebaran nanti ibu kan pergi ke jakarta dan bekerja disana untuk mengumpulkan duit agar bisa membelikanmu Handphone terbaru...” “What... lindi maunya sekarang buuu...” hardik lindi keras “Duit darimana nak...? ibu belum punya uang yang cukup...?” “Ya apa ke...? pinjem ke...?” . . . Singkat cerita. Pagi itu tiba, pagi syawal yang sangat sejuk, matahari yang biasanya bersinar rendah, saat itu masih enggan menampakan diri. Warga desa yang telah selesai masa liburan hari raya-nya, kini kembali lagi berduyun – duyun meninggalkan kampung halamanya. Ibu lindi yang niatnya sudah sangat tekad untuk bekerja di jakarta demi lindi. Seperti dikejar rasa bersalah karena membuat anaknya bersedih, karena keinginanya untuk mempunyai HP tak mampu ia penuhi dengan segera. Setelah mengecek semua barang yang akan dibawa. Ia melangkah masuk menemui lindi yang enggan keluar kamar, sekedar memberikan ucapan selamat dan do’a untuk ibunya yang akn jauh meninggalkanya. “Nak... ibu pergi yah...” ucapnya lirih menahan sedu di tenggorokanya. “Ini uang saku sekolahmu dan uang untuk membayar SPP...” lanjutnya sambil mearuh amplop putih di kasur. “Nak...” “Udah pergi sana....?” Hardik lindi keras. Ibu lindi kemudian berjingkat perlahan meninggalkan lindi yang tak bergeming mematung di kasurnya. Perpisahan dengan anak yang getir bagi seorang ibu yang sendirian merawat dan membesarkanya. . . . Bersambung : Cerpen : Sampai Tuhan Menampar Lindi_#2
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H