Mohon tunggu...
Pendekar Syair Berdarah
Pendekar Syair Berdarah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Jancuker's, Penutur Basa Ngapak Tegalan, Cinta Wayang, Lebih Cinta Keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Balada Wayang Episode 9 : Dewa Ruci

26 Maret 2011   22:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:24 2514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ngelmu iku… Kelakone kanti laku… Lekase klawan khas… Tegese khas nyantosani… Setyo budyo pangekese dur angkoro…

: “ mencari ilmu itu harus dengan usaha yang keras, mulainya dengan niat tekad yang kuat, Baiknya ilmu harus diamalkan, sulit mencarinya lebih sulit lagi mengamalkanya, sebab ilmu yang tidak diamalkan tidak lah berguna, dan kala waktuya ilmu bisa menyusahkan”.

“Jika ingin memberi ilmu berikanlah dengan ikhlas,karena sejatinya ilmu itu ialah ilmu Kang Piningit/Ilmu keTuhanan, memberikanmu harga menjadikanmu berbudi daya, yang menjadi tangan-tangan kuasa penghancur angkara….”

Demikianlah malam ini dengan disaksikan seluruh Kompasianer, warga Desa Rangkat,dan hadirin yang sudah gempal di lapangan Desa Rangkat. Aku akan mempersembahkan lakon wayang kulit klasik “DEWA RUCI” peristiwa spektakuler bertemunya bima dengan Tuhan, diabadikan dalam Serat Dewa Ruci oleh Yasadipura I, dan di Kompasiana aku abadikan dalam postingan Balada Wayang Episode 9 : DEWA RUCI.

***

Bumi gonjang-ganjing…. Inilah wayang tulis di Kompasiana kala detik-detik menegangang radiasi di fukushima.

Oooooo…… Al-ardhi wal gonjang-ganjing fi dunya wal akhirot, langit ON OFF, ON OFF,…. Kol jroning somay kadal kesit mirip nurdin… Oooo hong wilaheng…atos ndasmu gembus tahu…heeee….Ning..ning..ning..nong…nong...nong…

Durna did you know this guy? Ya cerita Wayangku kali ini berawal dari guru yang menurut Bagong majenun ini.

Kala muda ia bernama Bambang Kombayana, Resi yang selalu dianalogikan sebagai guru yang licik karena ia mengajar ilmu kepada Yudhistira, Bima, Arjuna dan dua adik kembarnya Nakula Sadewa untuk membalaskan dendamnya pada Prabu Drupada, Bapaknya Sri Kandi, Raja Negeri Pancala.

Kenapa harus ada dendam diantara kita, beginilah ceritanya….

Kala itu kesatria gagah Bambang Kombayana (Durna Muda), baru turun gunung datang ke Nuswantara dan ingin menemui teman seperguruanya Prabu Drupada di negeri pancala.

Sesampainya di pancala, karena merasa sudah terbiasa nongkrong di kantin sekolah dan sama2 murid Resi Baradwaja, Kombayana tak mengindahan aturan protokoler Negeri Pancala, langsung Hug n Kiss saja, Raja Drupada pun membiarkan saja polah Kombayana toh ia pun merasakan kerinduan yan sama.

Amma ba’du. Faya ayuhannas… Hulubalang Kerajaan yang sudah menampakan wajah tidak bersahabatnya dengan tingkah laku Kombayana, meminta pemimpin mereka Patih Gandama untuk memberi pelajaran.

Bumi bengkah… Patih Gandamana tidak mengindahkan perintah Rajanya untuk memberi perlakuan khusus pada tamu ini, dicengkiwingnya kuduk Kombayana diseret keluar dari kesatrian…”Hajar….sikaaaaaat…” Aji Pamungkas Blabakpangantolan dan Aji Notonegoro ehhh…Ajian Bandung Bondowoso yang dimiliki Gandamana membuat wajah kombayana yang tampan dan gagah ancur…cur…cur…persis seperti Dorna yang sekarang.

Sambil merangkak dan menyeret-nyeret badanya meninggalkan Pancala Dorna sesumbar “Awas entenana pembalasanku…” kelak akan dihabiskan Pancala sampai ke akar2nya.

Maka saat Resi Bisma mengangkat Resi Durna sebagai guru dan memberikan wakaf lapangan Sokalima untuk dijadikan Padepokan untuk mengajari cucu-cucunya yakni pandawa dan kurawa, disinilah kesempatan Dorna untuk membalaskan dendamnya dengan orang-orang Pancala.

Itulah akal bulus Dorma…ehh…maaf Dorna…

Begitulah belakangan bukan cuma Gareng yang tidak percaya dengan Dorna masyarakat pun jadi ikut ga percaya dengan guru majenun itu, sama persis seperti Rakyat mesir yang sudah tak percaya dengan kepemimpiman Husni Mubarak dan nekat kudeta, emper khalayak libya yang sudah ogah banget dengerin Presiden Ghadafi yang punya 20 Bodyguard dan perawat seksi pendampingnya.

***

Ke-majenunan-nya semakin terlihat dan membuat punokawan Petruk wa Bagong wa Gareng semakin ga percaya, manakala menyuruh Bima mencari Kayu Gung Susuheng Angin (Kayu Gung Sarang Angin),Yaelah yang bener aja Kang…Masa angin punya sarang kaya burung saja? Tanya bagong pada sulung ponokawan Gareng.

Gareng yang sudah di BBM dan dikirimi inbox oleh cangik dan limbuk ponokawan yang mengabdi ke Kurawa, bahwa itu Cuma akal-akalan Duryodana untuk mencelakai Bima agar kekuatan Pandawa pada perang Barathayuda nanti berkurang karena minus bima, meski sekutu Korawa sudah banyak tapi toh disbanding dengan satu wrekudara tiga pleton pasukan sekutu tak ada apa2nya.

Kayu gung susuheng angin. Menurut Dorna adanya di Gunung Candramuka yang super duper angker’e, karena menurut isu yang beredar disitu bersemayam dua saudara kembar Raksasa Rukmaka dan Rukmakala.

Tanpa sepengetahuan Bima Ponokawan mengikutimya meski hanya sampai dilereng Gunung penuh hantu, benarlah dua Raksasa tanpa pamit langsung membombardir Bima dengan serangan ganas.

Petruk, Bagong, Gareng ternganga-nganga pas melihat Ndoro mereka keluar dari hutan dengan selamat dan cengar-cengir.

“Hwaaaaaaa…..Hemmmmmmm….taaarraaaaaaaaaaa….” Bima kegirangan.

“Hwaaaa…Hmmmm….aku diberi cincin dan lihatlah Rambutku digelung Minangkara…” lanjut Bima.

Sementara ponokawan terheran-heran kini gentian pihak Kurawa yang marah-marah, karena mengira Bima sudah tewas mana ada yang sanggup mengalahkan dua raksasa kembar tersebut. Balik menyalahkan Durna.

“Waaaa…BullShiit kau Durna…berarti benar berita yang simpang siur selama ini kamu itu Guru majenun (Gila)” Duryudana mbengak-mbengok sambil mengacung-acungkan jarinya kemuka Gurunya sendiri.

“Weeeee…Oelah..lah...le tole... Sabar anak mas Duryudana mungkin dua Raksasa bukan tandingan Bima, tapi nanti aku akan suruh si guuooblokk..itu untuk mencebur ke segoro kidul…pasti dia mati…”

Pelukan Durna mengakhiri pasowan yang penuh kemarahan dari pihak kurawa itu.

***

“Haaaaa…..Hemmmm… Bopo Durna would you see this one cincin dan gelunganku…ganteng towh…haaa..hmmm..aku tak mendapatkan Kayu gung susuheng angin… tapi rambutku yang kemarin gondrong Kaya Krisyanto Vokalis eks. Jamrud sekarang tergelung rapi Haaaaa…Hmmmmm….dan Guru tahukah kamu maksud gelunganku ini..?”

“Welah…dalah…gembor monyor-monyor priiittt…gantil buntute pesawat herkules…aku ikut seneng ngger wong Bagus…Wong waluyo... Suwarganya guru itu kalo muridnya pikantuk anugrah…, tentulah aku tahu emang aku Guru Goblookk…aku tau gelungmu itu disebut gelung minangkara rendah didepan dan tinggi dibelakang itu artinya kamu Bima adalah orang yang menempatkan kebodohanya didepan dan kepintaranmu tersembunyi dibelakang, ya towh….bener apa ndak…?

“Haaaa…Hmmm….iya bener Guru…Maafkan akuuuhhh…” Bima terdiam.

“Tapi Ngger…Cah Bagus Wong Waluyo jati… apa yang kamu dapatkan belum sempurna sebelum kamu nyemplung ke Segoro kidul untuk mengambil tirtapewitra…Tirta. Air Kehidupan Ngger…” sambung Durna.

***

Tangis Kunti Pecah “Haduuuhhh…Jangan anaku kamu ditipu Durna majenun…majenun…Guru atau dosen mana yang ngasih tugas njegur kelaut selatan… makanya dari dulu aku sudah bilang mending kalian berguru ke Ibu Kembang atau Pak Wijaya Kusumah... yang Guru sekaligus kompasianer itu lhooo…aduuuuhhh..katiwasan…” sesaat kemudian tubuh Ibu Kunti, The Mother Of Pandawa member ambruk ke tanah.Pingsan

“Dulu Bunda selalu bilang bukankah murid harus patuh dengan gurunya tanpa menaruh curigation dengan guru apalagi alasan pribadi…!! Kalau Teacher Durna Menipu biarlah Karmanya untuk dia…” Bima menoleh dan bersalaman dengan kresna penasihat pandawa, dan adik-adiknya.

“Biarlah…kita turut do’a dan restu untukmu saja rayi…yen wis dadi tetegeng atimu, anggonmu lelaku extreme-diving ke segoro kidul…” ucap kresna sambil mengusap rambut Bima.

Sanak handai taulan Pandawa Yudistira, Arjuna, Nakula dan Sadewa saling berangkulan, tangis mereka pecah, hilang dihisab angin yang menderu kencang saat bima meninggalkan Amerta, “kesedihan adalah nyanyianku, petir menyambar adalah cahayaku, kilat-kilat adalah musikku, inilah aku jiwa yang berpasrah, pelukan terakhir kalian adalah madu kala dahagaku, do’a kalian adalah puji2an pengantarku meraih kesempurnaan” Lantunan sajak Bima samar-samar hilang dari gapura istana, saudara-saudara menatap. Pilu

Sindenku yang baru Acik Mukhtar sampai kacau balau saat mendandhanggulakan sajak kepergian kesatria Amerta, menyusuri tanah lapang kurukhsetra, entah karena ikut larut sedih atau kepedesan...

Ana atur segah tantinolih...sotoku baru dimakaann..., lankung adreng prapteng kuruksetra, marga geng kambah lampahe mendoanku...., glising lampahira sru, gapura geng munggul kaeksi...cabenya jangan dihabisin, puncak mutyar muncar, saking adoh ngenguwung, lir kumebyarin baskoro...kuahnya kurang banyak, kuneng wau kang lagya neng margi, wuwusen ing ngastino...ga ada tukang soto.... :)

Menjelang nyemplung Bima dihadang benda melintang mengahalangi jalanya…

“Weeehhhh… Jancuuukk…siapa ini yang menghalangi jalanku…Minggir…” namun percuma jangankan terangkat bergeser pun tidak benda itu walaupun sudah sekuat tenaga.

“Geser saja sendiri…aku Hanuman Kakangmu, sama-sama titisan Dewa Bayu…kau punya pancanaka aku juga punya nihhh..lebih bersih malah...Makanya janganlah kamu bertindak angkuh berjalan diatas Bumi-Nya, langit Allah berlapis Tujuh kamu baru bisa melihat satu lapis saja sombong…”lanjut hanuman

Setiap kresna memutihkan hatinya Hanuman pasti akan muncul Hanoman, karena itulah hanuman diberi tugas untuk mencegah Bima.

“Waaahhh…ternyata kamu kakang hanuman…aku sudah tekad bulat, apapun yang orang katakan tentang Durna, Durna itu tetap Guruku kalau dia menipu biarlah dosanya ditanggung sendiri” jawab Bima.

Aji Mundri yang dimiliki hanuman membuat Bima tidak dapat mengangkat ekor Hanuman, Aji yang sama yang dipakai pada saat memindahkan Gunung Slamet dan Merapi untuk membendung Samudra Ayodya dan Alengka, Hanuman menjelaskan bahwa tekad saja tidak cukup untuk nyemplung kelaut, Kemudian Hanuman mengajak Bima bertarung, Bagaimana bisa menang mengangkat ekor Hanoman saja Bima tidak sanggup. Sejatinya karena kesombongan dan keangkuhan Bimalah buntut Munyuk Putih itu tak bisa terangkat, perkelahian pun terjadi tapi berakhir seri.

Eeeeee…Begegek Ugek-Ugek Sak Dulito...Hemel-Hemel.... Hentikan Hanoman Biarkan Bima Njegur Man Hanoman…” Ki Janggan Asmarasanta atau Semar datang melerai, dengan saksinya Bima Akhirnya nyemplung ke dalam palung laut selatan.

Dipalung laut selatan Bima bertemu Naga Raksasa, dililitnya Bima dalam keadaan hampir pingsan antara hidup dan mati. Bima ingat akan kuku pancanaka-nya, terkoyaklah moncong si Naga lenyap dan diiringi munculnya sosok Bima yang gedenya hanya sekepal tangan Bima, Bima bantet meminta Bima masuk kedalam telinganya.

Bima :”Waaaaaaa….ditengah samudera ada anak kecil, menyerupai aku….meminta aku masuk ketelingamu mana bisa?kamu itu siapa?”

“Aku Dewa Ruci, Bimaaaaa… jangankan kamu seorang…seluruh alam, jagad raya semesta ini bisa aku muat kedalam perutku… Karena akulah dirimu, Kenalilah dirimu maka kau akan ketemu siapa aku…” ucap si tubuh kecil mirip Bima

Dewa Ruci : “Bratasena kamu masuk kedalam samudra ada keperluan apa?”

Bima:”Aku mencari tirtapewitra…?”

Dewa Ruci : “Bratasena…tirtapewitra itu air suci adanya didalam hatimu sendiri.. Hatimu yang selama ini kotorpenuh hawa nafsu, dan kesombongan membuat kau jauh dari Aku Tuhanmu, Sekarang hatimu sudah bersih inilah wujud air suci itu “Aku Tuhanmu” sedangkan Aku yang sebenarnya adalah dirimu sendiri, siapa yang mengenal dirinya maka akan mengenal Tuhan-nya..”

Bima : Waaaaaa… aku bingung….?Bagaimana jelasnya?

Dewa Ruci: Peristiwa pergulatanmu dengan Nagaraja, dan kuku pancanakamu mengenainya lalu lenyap itu sebagai pertanda kalau kau Bima sudah mampu mengendalikan bahkan melenyapkan nafsumu, dan jiwamu bangkit dari ragamu yang fana ibarat kau mati didalam hidupmu, sekarang nafsumu sudah pupus setelah kau ditepis ombak, digulung Naga, kamu merasa apa tidak…?

Bima akhirnya sadar bahwa ia sedang berhadapan dengan Dewa Ruci (Tuhan), dengan kekuatan dan izin sang Maha Kuasa-lah sehingga Bima benar-benar merasakan Nikmat tak terhingga, kesejahteraan tanpa batas, Ketentraman tanpa ujung.

Bima : Duuuhhh…Tuhanku..jelaskan jalan menuju kesempurnaan dan kebahagiaan hidup, Manakah jalanitu?

Dewa Ruci: Iya Senaaa… akan kuturuti masuklah kedalam Tubuh-Ku… Jika kau sudah madep, mateg, mantepsemoga kau akan menemukan Kesempurnaan.

Inilah yang dalam pelajaran Tassawuf Jawa “Curiga manjing warangka,warangka manjing curiga” artinya curiga/keris bersatupadu dengan sarungnya, sarungnya bersatu padu dengan keris, tafsirnya sifat keTuhanan (Sifatullah) bersatu padu dengan manusia, dan manusia bersatupadu dengan sifat keTuhanan.

Akhirnya Bima masuk kedalam Wadah Raga Dewa Ruci, wadah raga yang bisa diartikan Rahim tempat Bayi yang masih suci, jadilah Bratasena ya werkudara suci lahir bathin, kesucian dirinya membuat ia dekat nyaris bersentuhan dengan Tuhan Yang Maha Suci, Jauh tanpa hilang dari penglihatan-Nya, Seketika ketentraman dan kesejukan membalur jiwa raganya. Kenikmatan sejati yang didambakan setiap makhluk-Nya.

Bima : Puasnya hatiku Duhh…Tuhan…Rasanya inilah tempat luas yang tak memberiku batas, inilah anggur kebahagian, dan inilah kesempurnaan saripati hidup, nyawa, bumi dan langit, tentram aku Oh Tuhan tiada kesedihan.

Dewa Ruci : Bratasena kamu sudah sanggup menyingkap mihrab, tabir yang selama ini menghalangi hatimuuntuk mendekati Tuhan-mu Yang Maha Esa, Bratasena jangan kaget tunggal-tunggal cahayaberaneka warna-warni itu sebagai tanda kamu sudah diijabahi Tuhan bisa mengendalikan nafsuduniawimu, melalui laku, Cipta, Rasa, Raga, karsa dan jiwa, Saling asah, asih, asuh, tekad yangkuatmu lebur dalam Sepi ing, pamrih rame ing gawe,memayu hayuning bawono.

Bima: waaaaaa…. Bahagianya hatiku…Jika begitu ijinkanlah aku tinggal disini selamanya.

Dewa Ruci: Jangan Anak-Ku….ini belum saatnya…ketahuilah yang pertama masih ada tugas yang belum kau selesaikan, kedua ibarat orang makan kamu sekarang hanya mencicipi saja, esok jika tiba waktunya kamu akan mendapatkan ketentraman yang kekal, yang lebih dari pada ini…Sekarang Anak-Ku

keluarlah….

Keluarlah Bratasena dari Raga Dewa Ruci (Sifat Tuhan), seiring keluarnya Bima lenyaplah sifat ke-Tuhanan Dewa Ruci, masuk menyatu kedalam Raga Werkudara Ya Bratasena Ya Bimasena Ya Bima Suci. Kuatnya tekad Bima dalam mencari ilmu sampai mendapat ilmu kesempurnaan hidup, pencapaian seorang hamba dalam ma’rifat tertinggi penyembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selesailah Semedinya.

Demikianlah cerita wayang saya pada kesempatan ini,masih banyak lagi makna, ibrah dan contoh teladan tentang ilmu kehidupan yang terkandung dari Lakon "Dewa Ruci/Bima Suci" yang belum sempat saya sampaikan di episode kali ini. akhirul kalam, wabillahi taufiq wal'hidayah wassalammualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat Berlibur..., Yang mau kirim es cendol silahkan Rumahku "Dalang Kenthir" Disini Mampir ya...!!! Tidur dulu ngantuk....!!!! :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun