Pagi itu saya sengaja mengajak istri dan anak saya jalan jalan pagi dari hotel tempat kami menginap di preanger ke alun alun Bandung, tepatnya ke mesjid agung Bandung yang nama resmi nya sekarang adalah Mesjid Raya Bandung. Saya ingin mereka mengenal sedikit bagian kota Bandung, kota tempat saya menghabiskan setengah hidup saya dari lahir sampai lulus kuliah dan setelah itu saya tidak tinggal di Bandung lagi tapi tetap Bandung adalah 'rumah' saya. Di sepenggal jalan Asia Afrika ini ternyata banyak hal menarik yang bisa kita lihat,jalan Asia Afrika sendiri dulunya di kenal sebagai kawasan groote postweg yang merupakan pusat kota tempat para pemilik perkebunan sekitar Bandung melancong ke kota Bandung,dan  hotel preanger yang bangunannya bergaya art deco yang merupakan bangunan peninggalan Belanda ini merupakan tempat mereka menginap selama di kota Bandung. Hotel Preanger didirikan oleh seorang Belanda yang bernama Van Deterkom. Pada tahun 1929 hotel ini kemudian di renovasi dan salah satu arsiteknya ternyata adalah Ir Soekarno yang kemudian menjadi Presiden Pertama RI. Renovasi ini tidak mengubah gaya arsitektur kuno hotel ini. Walaupun kemudian ada tambahan bagunan setinggi 10 lantai, tetapi wajah asli bangunan ini masih bisa kita lihat baik dari arah jalan Asia Afrika mauoun dari arah jalan Tamblong. Keluar dari hotel Preanger kemudian saya melihat ada sebuah tanda 0 km yang terletak persis di depan gedung dinas PU, menurut sejarahnya, yang menentukan titik 0 km ini adalah Gubernur Jendral Daendels pada tahun 1811, yang saat itu sedang berjalan jalan dengan Bupati R Wiranatakusumah II, tiba tiba Gubernur Jendral Belanda itu menunjukan tongkatnya dan mengatakan bahwa di sinilah titik 0 km, dan sampai sekarang titik 0 km kota Bandung ada di tempat ini. Di depan titik 0 km juga dipajang mesin giling kuno atau stoomwhols yang di gunakan untuk membuat jalan. [caption id="attachment_127283" align="aligncenter" width="663" caption="inilah titk 0 Bandung yang di tunjuk langsung oleh Gubernur Jendral Daendels"][/caption] Lewat dari titik 0 km kita akan menjumpai satu lagi mesin cetak koran kuno yang dijadikan monumen oleh koran terbesar di Jawa Barat yaitu Pikiran Rakyat, mungkin mesin cetak itu sebagai penanda sejarah percetakan koran Pikiran Rakyat atau lebih dikenal sebagai koran PR. [caption id="attachment_127284" align="aligncenter" width="663" caption="mesin cetak koran kuno di depan kantor PR"][/caption] Di seberang kantor PR ada hotel Savoy Homan, yang mempunyai sejarah yang sama panjang nya dengan Hotel Preanger, saat itu hotel ini dimiliki oleh seorang imigran dari Jerman yang bernama A Homan, hotel ini termasuk hotel bersejarah yang menjadi tempat menginap para delegasi Konprensi Asia Afrika pada tahun 1955 di Gedung Merdeka Bandung. Hotel ini juga mempunyai ciri khas bergaya art deco. [caption id="attachment_127285" align="aligncenter" width="663" caption="hotel sayoy homan, tempat menginap delegasi Konfrensi Asia Afrika tahun 1955"][/caption] Kemudian setelah menyebrang jalan Braga, kita akan sampai ke Gedung Merdeka yang merupakan tempat dilaksanakannya Konprensi Asia Afrika tahun 1955. Gedung ini dulunya bernama  Societat Concordia, yang menjadi tempat nongkrong nya elite Belanda saat itu. Di bangun pada tahun 1895 dan telah mengalami beberapa kali renovasi hingga bentuknya yang sekarang. [caption id="attachment_127286" align="aligncenter" width="663" caption="tampak depan gedung merdeka "][/caption] Dilihat dari perkembangan sejarahnya, Gedung Merdeka telah mengalami beberapa pengalihan fungsi. Pada dasawarsa 40-an, gedung tersebut menjadi tempat berkumpulnya para tentara Sekutu yang mayoritas berbahasa Inggris. Sedangkan pada masa pendudukan Jepang, Societat Concordia dialihfungsikan sebagai pusat kebudayaan dengan nama Dai Toa Kaikan. Tahun 1953, Konferesi Internasional World Health Information pernah dilaksanakan pula di gedung ini. Tentu saja, puncak dari kejayaan Gedung Merdeka adalah diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika pada tanggal 18 April – 24 April 1955. Dari gedung merdeka kemudian kami menuju ke alun alun Bandung, di sana ada Mesjid Agung yang sekarang dinamakan Mesjid Raya Bandung. Seperti umumnya mesjid agung di kota lain, mesjid Agung Bandung juga menampakan kemegahan, saya terakhir ke sana sekitar 20 tahun yang lalu, dan cukup takjub dengan perkembangan mesjid Agung ini yang sekarang lebih luas karena di perluas dengan mengambil sebagian lahan alun alun Bandung. Yang cukup menari dari Mesjid Raya Bandung ini adalah adanya dua menara kembar setinggi 86 meter dan berlantai 19, yang di jadikan tempat wisata untuk melihat kota Bandung dari ketinggian. Dengan hanya membayar infaq Rp 2.000 per orang, kita bisa naik menggunakan lift ke puncak menara dan melihat Bandung dari ketinggian 86 meter. [caption id="attachment_127287" align="aligncenter" width="663" caption="pemandangan kota Bandung dari ketinggian menara Masjid Raya Bandung"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H