Mohon tunggu...
Siswa Ganesha 10
Siswa Ganesha 10 Mohon Tunggu... -

Numpang hidup di Bumi Pajajaran

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Malang Nian Nasib Pertamina Pasca Pencabutan Subsidi Premium

16 Mei 2015   07:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:56 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1431735112707161270


Sudah 4 bulan sejak pemerintahan presiden Jokowi memutuskan untuk mencabut subsidi premium dan mengubah sistem subsidi untuk solar menjadi sistem subsidi tetap (http://katadata.co.id/berita/2014/12/31/pemerintah-cabut-subsidi-premium), suatu terobosan yang sangat berani dari pemerintahan baru ini mengingat selama ini subsidi BBM (khususnya premium) selalu menjadi momok bagi neraca APBN, dan sudah sejak masa pemerintahan presiden SBY ada wacana penghapusan subsidi BBM, tetapi karena tingginya harga minyak dunia saat itu, wacana ini urung terlaksana karena dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak di masyarakat. Barulah di awal masa pemerintahan presiden Jokowi ketika harga minyak dunia sedang jatuh wacana ini benar-benar terealisasi.

Dengan adanya pencabutan subsidi ini, tentu saja neraca APBN menjadi lebih sehat, mengingat alokasi anggaran untuk subsidi BBM ini cukup besar yaitu sekitar 300 triliun setiap tahun, sehingga banyak pihak yang menaruh harapan akan terjadi peningkatan pembangunan infrastruktur di Indonesia dari pengalihan dana subsidi ini, dan juga neraca APBN tidak akan terbebani lagi dengan adanya kenaikan harga minyak dunia seperti yang selama ini terjadi. Tetapi di sisi lain, masyarakat harus bersiap dengan kenaikan harga BBM yang tidak terduga tiap bulannya, tidak seperti sebelumnya dimana setiap ada rencana kenaikan harga, semua sudah berspekulasi dengan terlebih dulu menaikkan barang dan jasa yang dijualnya. Situasi seperti ini tampak terlihat menguntungkan tetapi pada kenyataannya yang terjadi di masyarakat adalah justru menimbulkan kekacauan yang dikarenakan kenaikan harga BBM yang terjadi sewaktu-waktu belum tersosialisasi dengan baik ke seluruh masyarakat. Akibatnya masyarakat pengguna barang dan jasa menuduh pihak penjual berlaku curang. Contoh yang paling terasa langsung pasca kenaikan harga premium sewaktu-waktu adalah kenaikan tarif angkot secara sepihak oleh supir angkot tanpa persetujuan dari pemerintah kota/kabupaten (http://m.tribunnews.com/regional/2015/03/28/harga-bbm-naik-sopir-angkot-mulai-naikkan-tarif-rp-500).

Setelah terjadinya kekacauan di masyarakat akibat kenaikan harga BBM, pemerintah tampaknya mulai menyadari bahwa masyarakat Indonesia belum siap dengan perubahan harga BBM yang dapat terjadi sewaktu-waktu. Hal ini terlihat sejak kenaikan premium dan solar pada akhir bulan maret (http://www.tempo.co/read/news/2015/03/27/090653489/Sabtu-Harga-Premium-dan-Solar-Naik), pemerintah telah menginstruksikan pada Pertamina selaku distributor utama BBM di Indonesia untuk menahan harga premium dan solar (http://finance.detik.com/read/2015/05/15/192314/2916119/1034/pemerintah-tahan-harga-bensin-premium-rp-7300-liter-hingga-juni). Tentu saja, Pertamina sebagai suatu badan usaha yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan, mengalami kerugian karena menjual barang di bawah harga keekonomiannya. Apabila hal ini diteruskan, bukan tidak mungkin Pertamina akan mengalami kerugian yang besar, dan menjadi BUMN yang tidak sehat karena merugi dan ujungnya adalah privatisasi BUMN seperti yang terjadi pada Indosat, padahal dirut Pertamina sudah menegaskan keinginannya agar pertamina menjadi perusahaan migas no. 1 di Asia pada tahun 2025 (http://finance.detik.com/read/2015/02/17/172326/2835795/1034/dirut-2025-pertamina-harus-jadi-nomor-1-di-asia), malang nian nasib Pertamina.

Tentunya kita tidak menginginkan Pertamina mengalami kerugian dan ujungnya adalah privatisasi BUMN, cukup sudah BUMN kita mengalami privatisasi di era dahulu. BUMN adalah salah satu ujung tombak pendapatan negara, baik dari pajaknya maupun dividennya. Sudah saatnya pemerintahan presiden Jokowi meninjau kembali kebijakannya tentang subsidi BBM ini, agar tidak merugikan Pertamina sebagai pelaku usaha. Beberapa hal yang mungkin dapat dilakukan oleh pemerintah antara lain : memperbaiki sistem perubahan harga dari yang awalnya sebulan sekali menjadi 3 bulan sekali ataupun 2 bulan sekali, membuat regulasi mengenai persentase kenaikan tarif angkutan umum berdasarkan persentase kenaikan BBM, membuat sistem distribusi yang lebih efisien sehingga dapat mengurangi komponen  tarif transportasi pada harga barang dan jasa.

Memang bukan hal yang mudah untuk lepas 100% dari ketergantungan pada subsidi, tetapi apabila tidak dilakukan, maka ketergantungan masyarakat pada subsidi BBM akan semakin besar sehingga mengakibatkan meningkatnya beban subsidi pada APBN yang  mengakibatkan peningkatan defisit APBN, sehingga pemerintah terpaksa berhutang untuk menutup peningkatan defisit

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun