4. Memberikan sanksi tindakan berupa wajib rehabilitasi bagi pelaku perbuatan dimaksud, sehingga pengenaan sanksi ini dapat bersifat antisipatif terhadap pelaku, sebagai pembinaan atau perawatan baginya.[8]
Selain upaya penal, ada juga upaya non penal yang dapat dilakukan terkait fenomena LGBT tersebut, antara lain:
1. Penggarapan kesehatan jiwa melalui pendidikan moral, agama, dan kesusilaan sejak dini; hal ini dimaksudkan sebagai upaya preventif terhadap perbuatan tersebut, sehingga dapat memperbaiki kondisi sosial dalam masyarakat.[9]
2. Penyuluhan mengenai pengaruh buruk fenomena LGBT dalam masyarakat; penyuluhan ini juga sebaiknya dilakukan untuk meluruskan pandangan mengenai kaum LGBT sebagai kaum marjinal di masyarakat. Sehingga perlu untuk dilindungi agar mereka tidak lagi mengalami diskriminasi oleh masyarakat, melainkan ditangani dengan tepat guna memperbaiki kondisinya.
3. Kegiatan pengawasan oleh aparat penegak hukum terhadap kegiatan di Indonesia yang berpotensi memperluas maupun memperkuat pengaruh negatif fenomena LGBT dalam masyarakat, misalnya pengakuan pasangan homoseksual/biseksual/transgender secara terang-terangan melalui publikasi atau yang dipersamakan dengan itu, kegiatan perorangan maupun komunitas tertentu atau pergerakan massal yang berpotensi menjadi provokasi terhadap masyarakat; karena upaya non penal dipandang memiliki kedudukan yang strategis, maka upaya ini juga merupakan kegiatan preventif yang harus diintensifkan.[10]
4. Pemblokiran link maupun situs-situs tertentu yang berpotensi memberikan dampak negatif terkait fenomena LGBT ini; hal ini dimaksudkan juga sebagai upaya preventif, sehingga perkembangan disorientasi seksual LGBT ini tidak ‘terfasilitasi’ melalui media internet yang ada.
[1] Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, Hlm. 67.
[2] Setiawan Budi Utomo, Fenomena Transgender dan Hukum Operasi Kelamin, Dakwatuna, diakses pada tanggal 30 Maret 2016 Pukul 18.15 WIB, [http://www.dakwatuna.com/2009/08/12/3427/fenomena-transgender-dan-hukum-operasi-kelamin/#ixzz44NduxX4B]
[3] M Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, Hlm. 58-59.
[4] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana-Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005. Hlm. 42-43.
[5] Mira Fajri (Ketua Kajian Hukum dan HAM PP KAMMI), LGBT Dalam Perspektif Hukum Indonesia, Republika, diakses pada tanggal 30 Maret 2016 Pukul 18.27 WIB, [http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/16/02/29/o3a5s0388-lgbt-dalam-perspektif-hukum-di-indonesia]
[6] H Syaiful Bakhri, Kebijakan Kriminal Dalam Perspektif Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Total Media, Yogyakarta, 2010, Hlm. 64.
[7] Ibid., Hlm. 65-66.
[8] Op. Cit., Teguh Prasetyo. Hlm. 88.
[9] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, PT ALUMNI, Bandung, 2010, Hlm. 159.
[10] Op. Cit., M Syaiful Bakhri, Hlm. 23.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H