Mohon tunggu...
Siska Fajarrany
Siska Fajarrany Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Writer

Suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Hidup Tenang nan Bahagia dengan Merubah FOMO Menjadi JOMO

12 November 2024   17:00 Diperbarui: 12 November 2024   17:28 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi  JOMO. (Sumber: Shutterstock/Dmitry Demidovich via kompas.com) 

Memang pada dasaranya manusia tidak pernah merasa puas. Setelah mendapatkan atau mencapai sesuatu, akan ada keinginan baru yang harus dikejar. Apalagi kalau orang lain sudah lebih dulu mencapai atau memiliki itu, sudah pasti timbul rasa semakin ingin untuk mendapatkannya.

Karakter ini membentuk fenomena FOMO yang marak dikalangan generasi Z. FOMO singkatan dari Fear of Missing Out yang berarti rasa khawatir atau takut tertinggal informasi, acara, dan sesuatu yang sedang tren. Ketakutan ini muncul seiring banyak waktu yang dihabiskan di media sosial. Di mana lewat media sosial, pengguna dapat mendapatkan informasi dari belahan dunia manapun termasuk mengetahui kegiatan pengguna lain tanpa mengenalnya di dunia nyata.

Tak dapat dipungkiri bahwa melajunya arus informasi lebih cepat tersebar di media sosial. Masyarakat jauh lebih tertarik membaca informasi lewat media sosial dibandingkan membuka portal media online resmi atau bahkan menonton acara berita di televisi. Dengan mudahnya penggunaan media sosial, pengguna tidak perlu mencari tahu sendiri terkait berita yang sedang hangat. Informasi akan muncul begitu saja lewat beranda media sosial.

Gambaran itu, membuat seseorang merasa ketinggalan informasi jika tidak membuka media sosial walau hanya beberapa menit saja. Baru saja ditinggal mandi, sudah ada informasi terbaru di media sosial. Semua pengguna media sosial sibuk memberikan komentar dan membagikan informasi itu agar terlihat up to date. 

Banyak yang memilih menjalankan aktivitas sambil berselancar di media sosial. Misalnya saja saat jeda istirahat atau jam makan siang. Mulut sambil mengunyah makanan dengan bantuan tangan kanan yang memegang sendok. Berbarengan dengan tangan kiri yang menggulirkan layar ponsel pada tampilan media sosial, dengan kedua bola mata yang tak bisa berpaling dari layar ponsel. Bahkan saat bangun tidur pun, yang diingat dan dicari pertama kali adalah ponsel untuk membuka media sosial.

Ilustrasi media sosial. (Sumber: Dok. SHUTTERSTOCK via kompas.com) 
Ilustrasi media sosial. (Sumber: Dok. SHUTTERSTOCK via kompas.com) 

Bukan hanya arus informasi saja yang begitu cepat, media sosial juga membuang batas dan sekat sebagai makhluk individu. Siapa saja dapat dengan mudah menemukan orang lain di media sosial. Mengikuti segala aktivitas yang dipertontonkan lewat media sosial. Seperti kehidupan selebgram yang dibagikan khusus untuk para pengikutnya. Tentunya menampilkan kehidupan yang menyenangkan.

Tren yang ramai dipicu dari media sosial. Mudahnya penyebaran informasi sekaligus banyaknya pengguna yang membuat sesuatu itu menjadi viral hanya dengan saling repost atau membuat konten yang serupa. Imbasnya, tidak ada jeda dan tidak ada batasan untuk dapat menyaring itu semua. Semua pengguna media sosial seperti dicekoki dengan tren yang sedang diperbincangkan oleh semua orang. Muncul rasa takut atau khawatir akan dianggap kuper, kurang gaul, bahkan kampungan jika tidak mengikuti tren tersebut.

Berawal dari situlah FOMO akhirnya terbentuk. Sebenarnya sah-sah saja selagi FOMO itu memang bisa dicapai. Dalam artian tidak membebankan diri sendiri apalagi sampai orang lain. Namun nyatanya, banyak yang memaksakan diri untuk bisa terlihat mengikuti tren. Menghalalkan segala secara, seperti mengambil pinjaman online dan aksi kriminal lainnya.

Tanpa sadar, fenomena FOMO ini hanya membentuk kesenangan semu yang hanya berlaku sementara saja. Tidak bertahan lama dan tidak akan selamanya merasa senang dengan pencapaian saat ini. Tren dan informasi di media sosial ada masanya. Akan terus bermunculan informasi dan tren terbaru yang membuat semua orang berlomba-lomba untuk mengikutinya. Sampai akhirnya, hanya memunculkan masalah baru. Mulai dari bergantung dengan validasi orang lain, resah dan gelisah menjalani kehidupan, gaya hidup yang konsumtif, tidak stabilnya keuangan pribadi, kesehatan mental terganggu, terlilit pinjol, dan dampak buruk lainnya yang menimbulkan rasa tidak tenang dan bahagia dalam menjalani hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun