Mohon tunggu...
Siska Fajarrany
Siska Fajarrany Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Writer

Suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

UKT Mencekik, Rakyat Menjerit

20 Mei 2024   19:00 Diperbarui: 25 Mei 2024   15:31 659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pendidikan tinggi mahal. (Dok. Shutterstock via kompas.com) 

BEM USU berdialog dengan rektor USU saat unjuk rasa kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) di Biro Rektor USU, Rabu (8/5/2024)(Rahmat Utomo/Kompas.com) 
BEM USU berdialog dengan rektor USU saat unjuk rasa kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) di Biro Rektor USU, Rabu (8/5/2024)(Rahmat Utomo/Kompas.com) 

Jika kita mengingat Pasal 28C Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan, bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan, dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Namun lucunya, ada pernyataan menggelitik dari Plt. Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Tjitjik Sri Tjahjandarie dalam acara Taklimat Media tentang Penetapan Tarif UKT di Lingkungan Perguruan Tinggi Negeri di kantor Kemendikbudristek, Jakarta Pusat, Rabu (15/5/2024). 

Dalam acara tersebut, pernyataan Tjitjik Sri Tjahjandarie mengundang kontroversi. Ia menyatakan bahkan pendidkan setelah tingkat menengah atas atau SMA termasuk pada tertiary education atau pendidikan tersier. Kemendikbudristek hanya memprioritaskan program wajib belajar 12 tahun. Mulai dari pendidikan SD, SMP, dan SMA.

"Sebenarnya ini tanggungan biaya yang harus dipenuhi agar penyelenggaraan pendidikan itu memenuhi standar mutu, tetapi dari sisi yang lain kita bisa melihat bahwa pendidikan tinggi ini adalah tertiary education. Jadi bukan wajib belajar," ujar Tjitjik dalam paparannya.

Pelaksana Tugas Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Ristek, Prof. Tjitjik Tjahjandarie. (KOMPAS.com/SANIAMASHABI) 
Pelaksana Tugas Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Ristek, Prof. Tjitjik Tjahjandarie. (KOMPAS.com/SANIAMASHABI) 

Istilah yang digunakan dengan penamaan pendidikan tersier sangat menggelitikan. Pasalnya, dari pernyataan tersebut, tingkat univeritas, sekolah tinggi, politeknik, institut, dan akademi hanya akan diduduki oleh orang-orang yang mampu memenuhi kebutuhan tersier.

Tentunya kita sudah tidak asing lagi dengan tiga kebutuhan yang sering dikaitkan dalam kehidupan ekonomi. Mulai dari kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. 

Seseorang yang sudah memenuhi kebutuhan primernya, bisa memenuhi kebutuhan sekundernya. Seseorang yang sudah bisa memenuhi kebutuhan primer dan sekundernya, baru bisa memenuhi urusan kebutuhan tersier.

Dengan kata lain, kebutuhan tersier hanya bisa disanggupi oleh orang-orang tertentu saja yang sudah memenuhi kebutuhan primer dan sekundernya. 

Lantas, apakah salah mengartikan jika bangku perkuliahan hanya dikhususkan untuk orang-orang yang berduit saja?

Memang, kita sebagai masyarakat harus melihat kondisi keuangan negara yang nampaknya memang tidak memungkinkan untuk mengeluarkan program wajib belajar sampai di bangku perkuliahan. Namun tentunya, pemerintah bisa meringankan biaya pendidikan di kampus negeri. Bukan malah melambungkan biaya kampus negeri yang hampir setara dengan kampus swasta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun