Mohon tunggu...
Siska Fajarrany
Siska Fajarrany Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Writer

Suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Review Film "Yuni", Perempuan dalam Belenggu Patriarki

19 November 2023   09:00 Diperbarui: 19 November 2023   09:05 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Film Yuni sempat ramai menjadi perbincangan warga Twitter pada saat rilis akhir tahun 2021. Film garapan sutradara ternama Kamila Andini, digadang-gadang menjadi film terbaik penutup tahun 2021. Tak heran jika pernyataan tersebut menjadi buah bibir di kalangan pecinta film Indonesia karena sebelum rilis di Indonesia, film ini sudah memborong berbagai penghargaan tingkat internasional.

Yuni berhasil mendapatkan penghargaan "Platform Prize" di Toronto International Film Festival (TIFF) 2021 dan terpilih menjadi wakil dari Indonesia untuk berkompetisi di Academy Awards ke-94 2022 serta masuk nominasi "Best International Feature Film" Oscar 2022. Arawinda Kirana sebagai center utama dalam cerita, berhasil membawa pulang Piala Citra untuk kategori "Pemeran Utama Perempuan Terbaik" di Festival Film Indonesia 2021 dan Snow Leopard untuk "Best Actress" di Asian World Film Festival 2021.

SINOPSIS

Sesuai dengan judulnya, Yuni (Arawinda Kirana) menjadi tokoh utama dalam film ini. Yuni digambarkan sebagai anak SMA pada umumnya. Kesehariannya adalah sekolah, bermain dengan teman, membeli keperluan dapur di warung dekat rumah, boncengan bersama kedua temannya, bahkan rasa penasarannya terhadap klub malam. Ia gadis pintar yang menarik perhatian sekelilingnya.

Pertanyaan "Mau jadi apa?" terus menghantui Yuni. Belum menginjak kelulusan SMA, pertanyaan itu terus menerus berdatangan padanya. Keresahan mengenai kebebasan bagi perempuan mulai ia sadari saat lamaran silih berganti berdatangan ke rumahnya. Padahal masih banyak pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan yang belum ia ketahui termasuk perihal seks yang seharusnya menjadi salah satu pondasi terpenting sebelum menikah.

Keresahannya semakin menjadi-jadi saat seorang laki-laki seusia Bapaknya berniat mempersunting dirinya untuk dijadikan istri kedua. Laki-laki terebut secara gamblang menyebutkan akan memberikan nominal tambahan jika saat malam pertama terbukti bahwa Yuni masih perawan.

ULASAN FILM YUNI

  • FILM YANG NATURAL, OTENTIK DAN PUITIS

    Film Yuni bagai sebuah realita tanpa bumbu tambahan agar terlihat lebih dramatis. Penyajiannya sangat terlihat apa adanya tanpa dibuat-buat. Pemilihan warna, latar, pengambilan gambar bahkan hal-hal kecil begitu nampak sederhana. Mungkin terkadang kita bosan dengan penggambaran film yang biasanya tidak terlalu sama dengan kenyataan, apalagi jika filmnya menceritakan kehidupan sehari-hari. Seperti set ruangan yang amat apik dan rapi. Tapi Yuni tidak seperti itu. Coretan tembok wc, toko-toko baju yang berdempetan bahkan kios pulsa di pinggir jalan.

    Jangan sangka film ini bak film jadul yang tampak kuno. Film Yuni tetap mengikuti trend masa kini. Teknologi dan industri mewarnai perkampungan. Beberapa adegan terlihat di kawasan industri. Yuni dan teman-temannya juga asyik bermain ponsel, selfie, memotret minuman meski hanya nutrisari seduh dan menjelajahi Instagram.

    Film ini berlatar di Serang Banten. Daerah yang jarang mendapat perhatian dari masyarakat. Bahasa yang digunakan pun, yaitu bahasa asli dari Serang, Jaseng (Jawa Serang). Terdapat beberapa tokoh juga yang menggunakan bahasa Sunda dan Indonesia. Pemilihan bahasa dalam film Yuni menambah kesan unik dan otentik. Seperti bukan film biasa, nampak memiliki kesan mewah yang berbeda dibanding film Indonesia pada umumnya.

    Di sela-sela adegan, terselip beberapa puisi legendaris dari sastrawan ternama Sapardi Djoko Damono. Pelafalannya sederhana. seperti membaca surat cinta yang tersampaikan begitu lembut dan puitis. Film Yuni benar-benar terlihat natural, otentik dan puitis.

  • YUNI BERKARAKTER KUAT DENGAN BACKGROUND KELUARGA YANG SEPATUTNYA HADIR DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT

    Arawinda Kirana dalam film Yuni karya sutradara Kamila Andini.(Dok. Disney+ Hotstar via kompas.com) 
    Arawinda Kirana dalam film Yuni karya sutradara Kamila Andini.(Dok. Disney+ Hotstar via kompas.com) 
    Yuni, si pecinta warna ungu adalah potret anak remaja pada umumnya. Ia ceria, punya banyak sahabat, banyak mimpi dan serba ingin tahu. Kecintaannya pada warna ungu bak memberi identitas yang tegas. Ia berani menggunakan outfit full berwarna ungu dari ikat rambut sampai tali sepatu. Meski ada penggambaran maniac pada warna ungu membuat Yuni selalu gatal ingin mengambil barang orang lain yang berwarna ungu. Kerap kali terlihat ia masuk ke ruang guru untuk terkena teguran atas perbuatannya mencuri barang warna ungu milik temannya. Keberaniannya menunjukkan bahwa ia tegas membuat identitas diri, ungu adalah warnanya. Meski ia marah saat diledek temannya bahwa ungu identik dengan warna janda.

    Bak remaja serba ingin tahu, ia juga kepo dengan dunia malam sehingga nekad datang ke klub malam ditemani adik kelasnya sang penjaga kios pulsa yang pemalu tapi diam-diam menyukainya. Tak henti sampai disitu, ada satu adegan dimana Yuni bersama teman-temannya mengobrol di atas rumput. Mereka membicarakan hal-hal yang dianggap sensitif padahal seharusnya menjadi bahan diskusi yang edukatif bagi seusianya.

    Pertanyaan nyeleneh dari Yuni tentang "emang perempuan bisa mastrubasi?" Atau "emang gak bisa bilang sakit pas ML? Kalau gitu gak bisa orgasme dong?" Ia gadis remaja yang pintar di sekolah, namun nampaknya pelajaran di sekolah tak menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

    Penulis seperti ingin menyentil tentang seks edukasi pada remaja. Seolah-olah pendidik menggebor-geborkan bahwa remaja perempuan harus menjaga keperawanan, tapi remaja seperti kebingungan apa itu keperawanan.

    Meski stigma masyarakat mayoritas menolak keresahan Yuni, namun keluarga Yuni dibalut dengan tampilan yang beda. Penulis seperti ingin memperlihatkan bagaimana seharusnya orang tua memberikan ruang gerak pada anaknya untuk memilih dan menentukan. Meski jika dikaitkan dengan latar Yuni dan keluarganya terbilang tidak miskin-miskin amat. Orang tuanya bekerja di ibu kota. Yuni memiliki motor dan kamar tidur yang nyaman untuknya. Sejauh itu tak ada tanda-tanda ia hidup susah meski hanya hidup dengan neneknya. Mungkin kebebasan itu terwujud karena selama ini ia LDR dari orang tuanya sehingga terbiasa dalam memutuskan sendiri.

    Sifat labil anak remaja terus ditonjolkan. Tak ada hentinya ia bertanya pada orang tua dan neneknya, memeluk ibunya saat terlelap dan meminta disuapi ibunya. Yang lebih menyentuh adalah adegan di akhir cerita yang menggambarkan deep talk antara seorang remaja putri dengan ayahnya.

    Pertanyaan yang diajukan Yuni terdengar aneh namun bisa saja pertanyaan tersebut terlintas pada remaja yang sedang mencari jati diri. Sang ayah menjawab dengan bijak meski membuat penafsiran yang ambigu. "Memang hidup seperti apa yang tidak susah? Semua hidup punya susahnya masing-masing."

  • MERANGKUM ISU TENTANG PEREMPUAN DAN STIGMA MASYARAKAT

    Yuni adalah tontonan paket komplit yang disajikan begitu cerdas tanpa ada paksaan menggurui penikmatnya. Semua tekanan khususnya pada perempuan berhasil disentil dalam durasi film yang cukup singkat. Diskriminasi terhadap perempuan tetap menjadi barisan utama yang dibahas dalam film Yuni.

    Yuni adalah potret remaja perempuan yang memiliki segudang mimpi untuk dicapai namun terhalang oleh stigma masyarakat di lingkungannya. Pernikahan dini bagai sebuah solusi bagi perempuan agar bisa hidup bahagia dan sejahtera. Berlatar mengangkat derajat orang tua, memulihkan perekonomian keluarga, terhindar dari fitnah dan sederet alasan lainnya yang membuat perempuan harus memilih pilihan yang sempit dengan menikah sesuai lulus SMA.

    Dalam perjalanan untuk menemukan jawaban dari segala keresahannya, Yuni bertemu beberapa tokoh yang membuat ia berani melawan belenggu patriarki. Salah satu guru favorit Yuni di sekolah memberikan doktrin agar Yuni mau melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi dengan bantuan beasiswa karena melihat potensi yang dimiliki Yuni. Meski dorongan gurunya tersebut harus berbanding terbalik dengan sikap dari kepala sekolah yang mengatakan bahwa percuma memberi motivasi pada muridnya jika keluarganya hendak mengawinkan anaknya.

    Tokoh janda nyentrik yang khas dengan ucapannya "freedom abis" memberi pengaruh pada keputusan Yuni. Dari sosok Suci, Yuni berhasil mendapat gambaran bahwa pernikahan dini tak melulu menjadi solusi bahkan dapat menjadi boomerang baginya. Yuni mendapatkan bekal dari kasus Suci mengenai KDRT dan paksaan lingkungan untuk mendapatkan keturunan di usia yang masih amat dini. Namun siapa sangka bahwa kehidupan memang sangatlah keras. Bukannya mendapat pembelaan dari lingkungan, Suci malah mendapat tanggapan negatif karena dituding terlalu lebay atas pengakuan KDRT yang dialaminya.

    Bak rangkuman semua isu perempuan di tengah-tengah stigma masyarakat, itulah yang dimiliki film Yuni. Yuni berhasil memaparkan kegelisahannya sebagai perempuan. Ia seolah mencari jawaban dari pertanyaan "Bagaimana menjadi seorang perempuan?" Pernikahan dini, KDRT, LGBT, seksual, keperawanan, cita-cita, mimpi, pendidikan dan segudang pokok pembahasan perempuan harus berhadapan dengan pandangan masyakat dan lingkungan dengan kedok "PAMALI."

PENUTUP

Ekspresi bahagia Arawinda Kirana usai jumpa pers di XXI Epicentrum Kuningan, Jakarta Selatan (6/12/2021).(Sumber: KOMPAS.com/Revi C Rantung)
Ekspresi bahagia Arawinda Kirana usai jumpa pers di XXI Epicentrum Kuningan, Jakarta Selatan (6/12/2021).(Sumber: KOMPAS.com/Revi C Rantung)

Di tengah-tengah maraknya isu pelecehan seksual yang hampir setiap hari bermunculan ke permukaan, film Yuni dapat menjadi bahan diskusi bersama.

Sebuah potret nyata bahwa perempuan masih belum mendapatkan ruang aman untuk dirinya beraktivitas, berperilaku bahkan mengambil keputusan. Nyatanya banyak sekali perempuan yang memilih untuk tunduk pada patriarki dan menyerah tanpa memperjuangkan mimpinya. Seolah perjalan dari sekolah, lulus, menikah dan memiliki anak adalah tahapan wajib bagi perempuan. Perempuan memang memiliki pilihan, namun pilihan mereka masih sangatlah sempit atau bisa terbilang seolah dibuat sempit. Lalu jika seperti itu, apa bedanya dengan tidak ada pilihan?

Perempuan masih dipandang sebagai barang yang dapat dibeli. Jika terbukti masih perawan akan mendapatkan nominal fantastis, tapi jika sudah tidak perawan jangan harap akan mendapat perlakuan baik dari lingkungannya. Pendidikan masih hanya sekadar formalitas bagi perempuan, sehingga tak perlu jauh-jauh bersusah payah mendapat gelar sarjana karena stigma masyarakat memandang kodrat perempuan adalah mengurusi rumah tangga yang di mana tidak ada ilmunya di sekolah.

Padahal sejatinya, kodrat perempuan adalah menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui. Perihal mengurusi rumah tangga, bukankah dapat juga dilakukan laki-laki? Maka tak bisa terbilang sebagai kodrat perempuan. Perempuan masih sangat minim mendapatkan kebebasan untuk memilih atau menentukan apa yang ia mau. Perempuan masih dihadapkan pada pilihan dan pemikiran yang sempit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun