Mohon tunggu...
Siska Fajarrany
Siska Fajarrany Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Writer

Suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kampus Dinonaktifkan, Bagaimana Nasib Mahasiswa dan Dosen?

7 Juni 2023   07:00 Diperbarui: 10 Juni 2023   03:17 2564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Kampus STMIK Tasikmalaya Dicabut Izin Operasionalnya (Sumber: KOMPAS.COM/IRWAN NUGRAHA)

Rasanya sesak sekali kalau tiba-tiba mendengar kabar bahwa kampus dicabut izin operasionalnya oleh pemerintah. Mahasiswa yang sudah sejak awal berkegiatan di kampus tersebut bak mendapatkan mimpi buruk. 

Apalagi jika mengingat segala pengorbanan untuk bisa kuliah. Mulai dari bayar uang kuliah, biaya hidup selama di tanah rantau, beserta cucuran keringat dan berjalannya waktu yang tak bisa diputar kembali.

Mengingat jasa orang tua yang sudah susah payah agar anaknya dapat menyandang gelar sarjana. Mulai dari menjual warisan leluhur sampai mengorbankan ternak sapinya. 

Ada pula mahasiswa yang kuliah sambil bekerja sebagai pelayan kafe, pegawai toko, atau mungkin pengisi acara wedding. Tiba-tiba mereka mendapat kabar bahwa kampus tidak beroperasi lagi. Terlihat sia-sia segala pengorbanan selama ini.

Lebih sesak lagi jika mahasiswa tersebut sudah menempuh semester akhir. Atau bisa dibilang tinggal menyusun tugas akhir/skripsi. Pupus sudah harapan menyandang gelar sarjana. Padahal tinggal selangkah lagi menuju tujuannya.

Tidak hanya mahasiswa yang dirugikan. Alumni dari kampus tersebut juga pasti ikut merasa sedih dan prihatin. Tempat yang dulunya begitu bersejarah dalam menggapai gelar sarjana, kini harus ditutup. 

Prihatin terhadap nasib adik-adik tingkat yang masih belum tuntas mengemban ilmu di kampus yang sama. Mungkin saja ada alumni yang selintas berpikir, "Nanti kalau mau legalisir ijazah harus ke mana?"

ilustrasi: Lampion di area gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (Foto: KOMPAS.com/WAHYU ADITYO PRODJO) 
ilustrasi: Lampion di area gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (Foto: KOMPAS.com/WAHYU ADITYO PRODJO) 

Dikutip dalam kompas.com, ada 23 kampus yang dicabut izin operasionalnya oleh Kementerian Pendidikan, Riset, dan Teknologi. 

Ada 23 kampus tersebut tersebar di berbagai daerah, mulai dari 2 PT (Perguruan Tinggi) di Tangerang Selatan, 2 PT di Medan, 1 PT di Tasikmalaya, 1 PT di Yogyakarta, 2 PT di Padang, 1 PT di Bali, 1 PT di Palembang, 4 PT di Jakarta, 1 PT di Makassar, 1 PT di Bandung, 1 PT di Bogor, 2 PT di Manado, dan 2 PT di Bekasi.

Sebelum dilakukan pencabutan izin operasional, Kemdikbudristek telah terlebih dahulu mengevaluasi dan memberikan waktu selama enam bulan untuk 23 PTS (Perguruan Tinggi Swasta) tersebut agar dapat mengatasi masalah yang tengah dihadapi. 

Namun Kemdikbudristek harus melakukan pencabutan izin operasional kepada 23 PTS itu karena tidak dapat mengatasi permasalahan dalam tenggat waktu yang sudah ditentukan. 

Penyebab dicabutnya izin operasional kampus-kampus tersebut di mulai dari adanya praktik jual beli ijazah, pembelajaran fiktif, dan penyelewengan dana KIP (Kartu Indonesia Pintar) kuliah.

Pendaftaran KIP Kuliah 2023 sudah dibuka, siswa bisa segera melakukan pendaftaran.(Tangkap layar laman Puslapdik Kemendikbud Ristek via kompas.com)
Pendaftaran KIP Kuliah 2023 sudah dibuka, siswa bisa segera melakukan pendaftaran.(Tangkap layar laman Puslapdik Kemendikbud Ristek via kompas.com)

Adanya praktik jual beli ijazah yang merupakan sanksi berat bagi kampus dibenarkan adanya oleh pihak yang berwenang. 

"Itu terpaksa ditutup karena perguruan tinggi tersebut, misalnya ada yang jual beli ijazah, tidak ada prosesnya tetapi keluar hasilnya. Seperti itu harus kami tutup demi menjaga kualitas pendidikan tinggi," kata Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Prof. Ir. Nizam yang dilansir dari Antara pada Jumat, 26 Mei 2023.

Penyebab kedua adalah adanya praktik pembelajaran fiktif. Seperti kasus yang terjadi di Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer (STMIK) Tasikmalaya. 

Kemdikbudristek menemukan adanya pembelajaran fiktif dan penggelembungan data mahasiswa di STMIK Tasikmalaya. Hal tersebut disampaikan langsung oleh Direktur Kelembagaan Ditjen Dikti Kemdikbudristek, Dr. Lukman, S.T., M.Hum. 

"Mulai dari melakukan pembelajaran fiktif. Penggelembungan data mahasiswa di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDIKTI)," katanya kepada Radar, Senin 27 Maret 2023. "Lalu pembelajaran jarak jauh di Tegal tanpa izin," sambung Lukman.

Penyelewengan dana KIP Kuliah tentu mencoreng pendidikan Indonesia. Dana yang seharusnya disalurkan dan menjadi hak mahasiswa. 

Alih-alih mendapatkan haknya, mahasiswa begitu kesulitan untuk mendapatkan apa yang menjadi haknya. Sekalinya dapat juga terkadang dipotong oleh pihak kampus dengan jumlah nominal yang tidak wajar.

Respons kecewa dan bingung terlintas di para benak korban. Salah satunya adalah mahasiswa dari STMIK Tasikmalaya yang menggelar aksi di sekitar kampus Jalan R.E. Martadinata pada Senin, 10 April 2023. 

Ratusan mahasiswa meminta pihak kampus khususnya ketua Yayasan untuk serius mengurus upaya pemindahan mahasiswa melalui mekanisme merger.

Para mahasiswa menyeruduk kampus mereka menuntut kejelasan dari pihak kampus STIE (sekolah tinggi ilmu ekonomi) Tribuana, Margahayu, Bekasi Timur, Senin (5/6/2023). STIE Tribuana dicabut izin operasionalnya oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). (Sumber: KOMPAS.com/FIRDA JANATI)
Para mahasiswa menyeruduk kampus mereka menuntut kejelasan dari pihak kampus STIE (sekolah tinggi ilmu ekonomi) Tribuana, Margahayu, Bekasi Timur, Senin (5/6/2023). STIE Tribuana dicabut izin operasionalnya oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). (Sumber: KOMPAS.com/FIRDA JANATI)

Hal serupa terjadi juga di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Tribuana Bekasi. Senin, 05 Juni 2023, mahasiswa mempertanyakan nasib mereka kepada pihak kampus. 

Saat diwawancarai oleh Tim Kompas, perwakilan mahasiswa menyebutkan sampai saat ini belum menemukan titik terang dari pihak kampus. "Belum (ada titik temu) sampai saat ini. 

Kami hanya disuruh untuk menunggu sama ketua yayasan. Kami juga udah sering ke kampus dan pihak kampus hanya bilang gitu, sabar, sabar, sabar," kata Budi saat ditemui di STIE Tribuana, Bekasi Timur, Senin (5/6/2023).

Kemdikbudristek melalui Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah 4 mengaku, mahasiswa yang kampusnya ditutup bisa mengajukan pindah ke kampus pilihan. Sehingga mahasiswa yang merasa dirugikan atas pencabutan izin operasional kampusnya bisa tetap melanjutkan studi di kampus lain. 

"Mahasiswa bisa mengajukan pindah ke kampus lain, dengan menyampaikan dokumen akademik yang dimiliki ke kampus yang dituju," ucap Kepala LLDikti Wilayah 4 Dr. M. Samsuri kepada Kompas.com, Selasa (6/6/2023).

Setelah melakukan pengajuan pindah ke kampus lain, Kemdikbudristek bersama LLDikti akan melakukan verifikasi dan validasi dokumen akademik yang diberikan mahasiswa. 

Padahal jika menilik prinsip dasar Permendikbud Nomor 7 Tahun 2020, bahwa bagi perguruan tinggi yang dicabut izin operasionalnya maka yayasan ataupun pejabat perguruan tinggi tersebut berkewajiban memindahkan mahasiswanya ke kampus lain.

Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Samsuri kepada kompas.com. "Iya aturan Permendikbud, bagi perguruan tinggi yang dicabut izin operasionalnya, maka kewajiban pemindahan mahasiswa menjadi tanggung jawab badan penyelenggara atau yayasan dari kampus tersebut," jelasnya.

Sudah seharusnya yayasan atau kampus yang mendapatkan pencabutan izin operasional tanggung jawab akan perpindahan mahasiswanya. Bukannya malah mempersulit, apalagi dengan dalih, "sabar."

Tercatat ada 596 mahasiswa dari kampus STMIK Tasikmalaya yang mendaftar atau pindah secara mandiri ke Universitas Perjuangan (Unper) Tasikmalaya. 

Informasi tersebut sudah dikonfirmasi langsung oleh Rektor Universitas Perjuangan. "Mahasiswa STMIK Tasikmalaya yang pindah ke Unper adalah yang mandiri. 

Dengan semua tingkatan dapat diterima," kata Prof. Dr. H. Yus Darusman, Drs., M.Si. selaku rektor Unper yang dikutip pada radartasik.

Dari adanya pencabutan izin operasional perguruan tinggi, pemerintah tidak boleh sampai lepas tangan. Begitu pula pihak yayasan yang dicabut izin operasionalnya. 

Mahasiswa harus tetap mendapatkan haknya untuk dapat kembali menuntut ilmu di bangku perkuliahan. Jangan sampai ada mahasiswa yang akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliahnya hanya karena tidak mendapatkan kampus baru.

Ilustrasi Dosen Mengajar. (Sumber: Thinkstock via kompas.com)
Ilustrasi Dosen Mengajar. (Sumber: Thinkstock via kompas.com)

Pencabutan izin operasional perguruan tinggi tidak hanya mimpi buruk bagi mahasiswa saja. Selain mahasiswa, dosen dari kampus yang izin operasionalnya dicabut juga sangat perlu mendapatkan perhatian khusus. Apalagi saat ini lowongan untuk dosen juga terbatas.

Alih-alih mendapatkan penghasilan yang sejahtera, malah harus memutar otak mencari kampus baru yang membuka lowongan kerja. Padahal betapa prihatin kondisi kesejahteraan tenaga pendidik di negara ini. Sebelum kampus ditutup pun, dosen yang mengajar di PTS masih minim mencapai makna sejahtera.

Sebuah survei nasional yang dilaksanakan secara daring pada April 2023 membuktikan bahwa dosen di Indonesia masih jauh dari kata sejahtera. 

Survei yang dilakukan oleh tim, yang terdiri dari akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Mataram (Unram), mendapatkan responden sebanyak 1.200 dosen aktif yang sedang tidak melaksanakan tugas atau izin belajar lanjut. Sebanyak 42,9% dosen menerima pendapatan tetap di bawah 3 juta per bulan. 

Memang jika kita bandingkan, sudah sesuai dengan rata-rata upah minimum provinsi (UMP) di Indonesia tahun 2023 sebesar Rp. 2.910.632,-

Namun, menurut Organisasi Perburuhan Dunia atau ILO (International Labour Organization), pendapatan yang layak tidak hanya sekadar memenuhi upah minimum, tetapi juga keamanan sosial. 

Tidak hanya sekadar kebutuhan primer seperti pangan dan papan, tetapi juga pengeluaran lainnya. Harus adanya keterjaminan dari rasa aman secara sosial, yaitu mempertimbangkan dana darurat ketika menghadapi potensi kehilangan pekerjaan dan risiko kecelakaan.

Namun, perlu menjadi catatan bahwa 73,7% partisipan survei ini harus menanggung biaya hidup keluarganya. 

Di antaranya, tercatat 55,4% menyatakan harus mengeluarkan biaya hidup per bulan sebesar Rp 3 sampai 10 juta. Bahkan, tercatat sekitar 12,2% yang kebutuhan bulanan mencapai lebih dari Rp 10 juta.

Itu berarti bahwa gaji dosen di bawah 3 juta meskipun memenuhi standar UMP tidak bisa dikatakan layak dan sejahtera. 

Karena profesi sebagai dosen menjadi salah satu sumber utama pemasukan keluarganya, yang di mana pengeluaran biaya hidup per bulannya saja lebih dari 3 juta.

Besar pasak dari pada tiang. Penghasilan dengan segala tuntutan mengajar, penelitian, dan pengabdian masyarakat tidak menutup pengeluaran. Apalagi menutup dana darurat untuk mempersiapkan kehilangan pekerjaan imbas dari pencabutan izin operasional kampus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun