Untukmu, bolehkah kusebut namamu sebagai kampung halaman?
Ya, namamu yang senantiasa melekat dalam memori masa kanak yang penuh ceria hingga masa dewasa yang sesak dengan romansa. Meski ada pula kisah sendu berkelindan dengan kisah semu merona wajah, tetaplah kamu adalah desa yang mengiringi perjalanan tumbuh kembangku.
Kamu memang bukan desa tempat kelahiranku. Pertemuan kita karena takdir yang Maha Kuasa. Keluarga kami ditugaskan pada sudut wilayah yang memiliki industri pabrik gula peninggalan kolonial Belanda. Aku belumlah genap berusia lima. Ingatanku, kamu adalah tempat yang sangat ramah dan menyenangkan.
Meninggalkan kota kelahiran dan menyelami suasana baru, kamu cukup elok untuk kami tinggali. Bangunan-bangunan tua di komplek perumahan yang sangat asri, tertata rapi, terawat dengan sangat baik oleh masing-masing penghuni.
Jalanan yang lengang hanya khusus bagi karyawan dan penghuni perumahan, teduh dengan pohon asam dan cemara yang menjulang di antara sisi-sisi jalan. Sungguh rindang dan adem.Â
Terkadang semilir bayu yang menyentuh pucuk-pucuk cemara di sekeliling lapangan sepakbola atau sepanjang jalan masuk garasi pabrik, mengantarkan musik merdu yang membuncah rindu.
Pula ketika mesin pabrik bertabuh seirama mencacah dan menggiling tebu, suara yang sayup-sayup sampai ke telingaku bagaikan musik pengantar tidur.
Gemerisik dedaunan dari kebun tebu di sekeliling desa, gemericik aliran sungai yang membelah kampung dan kali kecil persawahan bawang merah, kicau burung dan kokok ayam bersahutan, adalah musik alam yang tersaji di ruang dengar penuh kesyahduan.
Begitu pula dengan alunan gending-gending jawa mengiringi gemulai para penari dan sendratari yang tersuguh saat pesta rakyat, selai bentuk kepedulianmu merawat kesenian, tetabuhan dan nyanyiannya memesona batin penikmat budaya.
Ah, teringat masa kanak dengan menari dan menyanyi menyambut para tetamu yang hadir di sana, atau saat pergantian tahun yang dirayakan dengan penih gembira dan suka cita. Menampilkan suguhan seni dan musikalisasi penuh warna.
***