Pembaca tentu tidak asing dengan salam sapa dari saya yang sering tersemat pada kolom komentar atau pada artikel yang saya unggah dengan kalimat yang saya jadikan judul tersebut.
Ya, sejak pertengahan tahun 2000, saya merantau dari Pulau Jawa menuju Pulau Kalimantan, tepatnya ke jantung ibukota Kalimantan Timur, yaitu Kota Samarinda.
Hijrahnya saya ke kota ini, selain berniat untuk menemani kakak yang terlebih dahulu merantau sejak awal masa mereka menikah di sekitar tahun 1986, juga untuk mendapatkan pengalaman kerja yang lebih baik.
Pertama kali saya datang ke kota ini, sungguh saya takjub dengan Sungai Mahakam yang menjadi ikonik Samarinda, karena sungai ini membelah kota dari hulu ke hilir.
Selama menjadi siswa dan mahasiswa, saya hanya melihat, mendengar dan membaca tentang Mahakam dari buku, televisi dan cerita sahabat yang sekamar satu asrama dengan saya. Dia asli orang Kutai dan menjalani pendidikan dasar hingga perguruan tinggi di Jawa, karena orang tuanya menjalankan tugas dinas di salah satu Kabupaten di Jawa Tengah.
Tak disangka, persahabatan kami di Jawa terus berlanjut di tanah kelahirannya. "Akhirnya, kau injak jua lah Kalimantan Timur, Sis. Welcome to Kota Tepian Mahakam." Demikian ia menyambut saya melalui telepon di masa itu, tak menyangka bakal bersua kembali di sini setelah lulus kuliah di Jawa.
Jujur, pertama kali datang, menyaksikan lebarnya sungai (yang saya kira danau), perahu dan tongkang yang bersliweran, perhatian saya juga tertuju pada jalanan utama kota ini di awal tahun tersebut.
Kesan kumuh, sampah yang berceceran di tepi jalan, parit atau gorong-gorong kota semuanya tertutup kayu atau beton, hampir tidak ada trotoar untuk pejalan kaki. Kalaupun ada, sangat minim dan jarang saya temukan kecuali di jalan tertentu saja yang berjajar dengan perkantoran.
Saya heran, ibukota provinsi terkaya di Indonesia, kok tampilan kotanya seperti ini. Jauh berbeda dengan Ibukota lainya di Pulau Jawa yang pernah saya kunjungi. Jalanan kotanya juga kecil untuk ukuran sebuah Ibukota provinsi.