Pembaca Kompasiana yang berbahagia,
In syaa Allah, kita semua telah mengetahui bagaimana kisah peristiwa Isra dan Mi'raj, perjalanan istimewa Rasulullaah SAW hingga bertemu Rabb-Nya. Melalui perjalanan inilah, beliau mendapatkan perintah shalat langsung dari Allah SWT. Melalui dakwah beliau, kita sebagai ummatnya melaksanakan ibadah ini yang berbeda dengan ibadah ummat lainnya.
Penulis mengenang kembali masa kanak-kanak, kala pertama kali mengenal shalat, memulai shalat, merutinkannya, dan pernah pula sempat melalaikannya, menangis tersedu mohon ampun atas kekhilafan dan kebodohan saya, dan hingga pada momentum dimana SHALAT TEPAT WAKTU adalah ikhtiar yang harus senantiasa dijaga keistiqomahannya.
Saat itu di era tahun 80-an, di lingkungan tempat tinggal kami, mengaji atau belajar di madrasah adalah hal yang aneh. Belajar seperti itu tidaklah 'kekinian'. Zaman itu adalah era anak-anak muda suka disko, tari-menari, menyanyi, dansa-dansi. Tapi tidak dengan keluarga kami. Meski keluarga kami pencinta seni, namun orangtua -terutama Ibu- menegaskan dan membatasi pergaulan anak-anaknya berkaitan dengan  perkumpulan yang demikian.
Ibu mendatangkan guru mengaji untuk kami. Tiap ba'da maghrib hingga Isya, saya dan kakak-kakak belajar mengaji bersama Bu Guru. Demikian saya memanggilnya. Hampir setiap hari kami mengaji, saat itu saya masih usia Taman Kanak-Kanak hingga kelas satu sekolah dasar. Sesekali, beliau mengajarkan kami bacaan sholat dan doa-doa harian.
Berlanjut saat saya duduk di bangku kelas dua sekolah dasar, Ibu memaksa saya mengikuti sekolah madrasah di siang hari usai pulang sekolah negeri. Saya belum mengerti dan paham tentang shalat. Perlahan seiring belajar di Madrasah, saya mulai mengenal sholat, sebagai tonggak berdirinya agama Islam yang saya anut. Kenangan setiap maghrib dan isya melalui shalat berjamaah di rumah, kenangan setiap ramadhan dengan tarawihnya bersama kawan-kawan, Â sholat idul fitri dengan berjamaah di lapangan besar desa kami, adalah pengenalan jati diri kami sebagai seorang muslim.
Saat saya baru saja naik kelas empat, ayah saya dipanggil ke Rahmatullaah. Saya pun belum paham apa itu meninggal. Saya hanya tahu, ayah hanya pulang sebentar saja ke rumah nenek, paling juga nanti kembali lagi. Namun, selama seminggu tidak pulang, saya baru mengerti bahwa ayah sudah tiada. Dan sejak ayah berpulang, itulah awal saya merutinkan sholat di usia sembilan tahun.
"Nduk, mulai sekarang kamu harus sholat, gak boleh ditinggal sholatnya, kecuali kelak kamu dapet 'halangan'. Jangan lupa doakan ayahmu, karena doa anak yang sholeh dan sholehah lah yang diijabah oleh Allah." Demikian pesan Ibu. Saya hanya mengganguk, meski belum paham sepenuhnya. Yang penting ya shalat dan jangan sampai gak shalat, terus kirim doa buat ayah. Nasihat Ibu selalu saya laksanakan hingga kini. Mendoakan orangtua setiap usai sholat fardhu.Â
Bertambah usia, bertambah pergaulan dan pengetahuan agama, saya makin mengerti dan memahami tentang shalat. Sungguh sangat rugi meninggalkan shalat, yang mana saya sempat melalaikannya di episode kehidupan.
Kini, di usia 40-an, benar adanya bahwa LIFE BEGINS FORTY's. Tingkat kematangan, kedewasaan, ujian, cobaan, kebahagian, rasa syukur, melimpah ruah dari keistiqomahan shalat tepat waktu. Mengusahakan hadir sebelum Allah memanggil dengan adzan yang merdu dan syahdu. Nikmat menjalani hidup, mengalir dengan rasa kasih sayang Allah melalui shalat. Kalau lagi mengangkat tangan, tengadah kepada Allah, rasanya sedang mengadu kepada orangtua sendiri.
Terimakasih, ya Rasulullaah!
Tanpamu, mungkin kami tak bisa mengenal Rabb Pencipta Alam Semesta. Allahumma shalli 'alaa sayyidina Muhammad!
Terimakasih atas segala bimbinganmu, Ya Rasul, sehingga kami mengenal apa arti nikmat iman dan nikmat islam. Serasa kami mengikuti perjalanan sucimu dalam Isra dan Mi'raj. Ijinkan kelak kami berkumpul di syurga Jannah-Nya bersamamu, ya Rasul.
Aamiin...aamiin...aamiin ya Rabbal 'Aalaamiin...