Dunia kita adalah persepsi kita. Dunia adalah dunia sebagaimana kita mempersepsinya. Itulah argumen yang diajukan oleh George Berkeley dari dua ratus silam. Sikap kita terhadap orang lain dan dunia sebagai keseluruhan amat tergantung dari persepsi yang bercokol di kepala kita.
Lalu, bagaimana persepsi manusia terbentuk?
Dalam buku Tentang Manusia, dari Pikiran, Pemahaman, sampai dengan Perdamaian dunia karya Reza A. A Wattimena, ia menjelaskan bahwa persepsi kita dibentuk oleh pengalaman pribadi kita sebagai manusia. Perjumpaan dengan orang lain mempengaruhi persepsi kita tentang orang itu.Â
Namun, seperti yang ditegaskan oleh Karl Popper, pengalaman tidak pernah lepas dari pemahaman. Tidak ada pengalaman murni, karena semua bentuk pengalaman kita selalu dibungkus oleh pra-paham yang sudah ada sebelumnya di kepala kita.
Jika pikiran kita kerap kali salah, lalu bagaimana kita harus hidup? Pertanyaan ini, harus dipukul lebih jauh dengan pertanyaan berikut, apakah diri kita hanya pikiran kita semata?
Jadi, biarkan pikiran datang dan pergi. Jangan percaya dengan pikiranmu. Kita tidaklah sama dengan pikiran yang datang dan pergi di kepala kita. Gunakan pikiranmu seperlunya, namun jangan pandang mereka mentah-mentah sebagai kebenaran mutlak tentang segalanya.
Inilah yang disebut kebebasan sesungguhnya. Orang yang bebas dari pikirannya sendiri berarti ia tidak diperbudak oleh suara-suara yang ada di kepalanya. Ia bisa berpikir dengan jernih untuk menyingkapi berbagai hal dalam hidupnya. Ia bisa menjadi orang yang bijaksana di dalam beragam keadaan.
Orang yang bisa menemukan dan menggunakan kesadarannya tidak akan pernah merasa takut. Ia hidup tanpa penilaiaian baik-buruk, benar-salah, dan enak-tidak enak. Ia melihat dan menerima apa yang ada "saat ini" sepenuhnya.
Banyak penelitian yang dijalankan untuk memahami arti kesadaran. Di dalam diri manusia, kesadaran melahirkan pikiran. Namun, pikiran manusia juga memiliki kelemahan, banyak orang yang sibuk dengan pikirannya.Â
Mereka mengira bahwa pikirannya adalah kebenaran, inilah sumber dari segala penderitaan batin dan konflik antar manusia yakni dari pikiran kacau yang dianggap sebagai kebenaran.