Kedaulatan rakyat, yang menjadi pilar utama dari sistem demokrasi kita, kini sering kali terasa hanya sebagai jargon kosong. Konsep bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat seharusnya menjadi prinsip dasar dalam menjalankan negara ini.
Namun, kenyataannya, banyak yang meragukan apakah rakyat benar-benar memiliki kuasa dalam menentukan arah bangsa. Dalam praktiknya, rakyat sering kali menjadi objek dalam permainan kekuasaan, sementara keputusan-keputusan strategis lebih banyak dikendalikan oleh elit politik yang terpisah dari kehidupan sehari-hari masyarakat.
Hal ini semakin diperparah oleh fenomena yang bisa kita sebut sebagai "kejahatan yang tersistem dari para penguasa". Kebijakan-kebijakan yang seharusnya berpihak pada rakyat sering kali lebih menguntungkan golongan tertentu, sementara rakyat justru dibiarkan terjebak dalam ketidakpastian dan ketidakadilan.
Ketika rakyat berada dalam posisi lemah, penguasa dan elit politik justru semakin memperkokoh cengkeraman mereka terhadap kekuasaan.
Namun, yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah kenyataan bahwa rakyat kini semakin terpecah-belah. Dalam sejarah perjuangan bangsa ini, rakyat pernah bersatu padu melawan penjajah dengan semangat gotong royong dan persatuan.
Bambu runcing yang dulu menjadi simbol perlawanan rakyat kini sering kali dipergunakan bukan untuk perjuangan bersama rakyat, tetapi untuk kepentingan penguasa dan golongan tertentu. Rakyat yang semestinya menjadi subjek yang menentukan arah negara, kini lebih sering terperangkap dalam konflik internal yang diperburuk oleh manipulasi politik.
Krisis Persatuan: Mengapa Rakyat Terpecah?
Untuk menganalisis lebih dalam, kita perlu merujuk pada teori-teori yang menekankan pentingnya persatuan dalam sebuah negara demokratis. Salah satunya adalah teori general will dari Jean-Jacques Rousseau dalam The Social Contract (1762), yang menegaskan bahwa kedaulatan rakyat terwujud dalam kehendak umum yang mencerminkan kepentingan bersama. Rousseau berpendapat bahwa hanya dengan persatuan yang solid, negara bisa mencapai kebaikan bersama.
Namun, kenyataan hari ini bertolak belakang dengan ide tersebut. Rakyat terpecah karena berbagai golongan yang mengaku membela kepentingan mereka, padahal pada kenyataannya mereka lebih sering mengejar keuntungan politik atau materi pribadi.
Fenomena ini menambah krisis kepercayaan di kalangan rakyat, baik terhadap penguasa maupun sesama rakyat. Ketika rakyat kehilangan kepercayaan terhadap penguasa dan sesama, maka fondasi sosial yang mendukung sebuah negara demokratis akan rapuh.