Sebagai alumni Strata 1 Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAUD), saya seharusnya merasa bangga dengan gelar yang telah saya raih dan siap untuk mengabdi sebagai guru PAUD. Namun, kenyataan yang saya hadapi cukup pahit dan membekas. Hingga kini, saya belum berani untuk menjadi guru PAUD, meskipun saya telah mempersiapkan diri secara akademik, karena rendahnya kesejahteraan yang diterima oleh para guru PAUD di Indonesia.Â
Kesejahteraan guru PAUD menjadi salah satu isu yang terus-menerus diabaikan meskipun peran guru PAUD sangat vital dalam membentuk karakter dan kecerdasan anak sejak dini. Guru PAUD adalah garda terdepan dalam mencetak generasi penerus bangsa. Namun, kenyataannya mereka seringkali terabaikan dan masih bekerja dengan upah yang jauh dari harapan, meskipun Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sudah menyebutkan bahwa guru berhak memperoleh penghasilan yang layak, di atas kebutuhan hidup minimum.
Ketimpangan Kesejahteraan Guru PAUD
Dalam praktiknya, meskipun ada regulasi yang menjamin kesejahteraan guru, banyak guru PAUD, terutama yang bekerja di lembaga swadaya masyarakat atau PAUD non-formal, masih digaji jauh di bawah upah minimum regional (UMR). Mereka sering kali bekerja dengan gaji yang berkisar antara Rp 300.000 hingga Rp 1,5 juta per bulan, yang jelas tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sebagian besar dari mereka juga belum memiliki status sebagai ASN atau PNS, yang membuat kesejahteraan mereka semakin terabaikan.
Lebih ironis lagi, meskipun peran mereka dalam mendidik anak-anak di usia dini sangat penting, tidak ada perhatian serius dari pemerintah untuk memperbaiki nasib mereka. Para guru PAUD sering kali terjebak dalam birokrasi yang rumit, dengan peluang untuk mendapatkan sertifikasi profesi yang terbatas dan hampir tidak ada perhatian terkait kesejahteraan mereka.
Kampanye yang Menyentuh Hati, Namun Realitas yang Menyayat Hati
Janji pemerintah yang tercermin dalam kampanye Pilpres 2024 mengenai upah minimum guru non-ASN membawa harapan besar bagi para guru honorer, termasuk guru PAUD. Janji untuk memperbaiki nasib guru-guru yang bekerja tanpa pengakuan profesi jelas sangat menggembirakan. Namun, pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang hanya memberikan tambahan gaji untuk guru bersertifikasi, justru menyakiti hati guru yang selama ini berjuang tanpa penghargaan yang memadai.
Banyak guru PAUD yang belum disertifikasi bukan karena mereka tidak memenuhi syarat atau gagal dalam ujian, tetapi karena sistem sertifikasi yang terbatas dan sering kali tidak tersedia untuk semua guru. Sistem yang ada malah lebih banyak memberi ruang bagi guru dengan gaji layak yang sudah tersertifikasi, sementara guru-guru lainnya, terutama yang belum bersertifikasi, tetap terabaikan dan tidak memperoleh kesejahteraan yang semestinya.
Masa Depan Guru PAUD: Harapan untuk Perubahan
Sebagai generasi muda yang memilih untuk tidak langsung terjun menjadi guru PAUD, saya merasakan kekecewaan yang mendalam. Bagaimana mungkin seseorang yang telah menempuh pendidikan tinggi di bidang ini tidak mendapat kesempatan yang layak untuk mengabdi? Bagaimana mungkin guru PAUD yang berjuang keras mencerdaskan anak bangsa justru terjebak dalam ketidakpastian dan ketimpangan upah?