Sabtu sore, hujan turun rintik-rintik di luar jendela, menciptakan suasana yang mengundang rasa malas untuk beraktivitas. Di dalam kostan, saya duduk dengan secangkir teh hangat, berpikir tentang satu pertanyaan yang sering kali muncul dalam diskusi-diskusi di sekitar saya: "Apakah perempuan harus mengejar karir dengan penuh semangat dan mengabaikan hubungan asmara?"
Jawabannya tentu saja tidak sesederhana itu, dan mungkin sedikit lebih rumit daripada yang kita bayangkan. Di satu sisi, ada ide yang berkembang bahwa perempuan harus mengejar ambisi mereka tanpa rasa takut atau ragu---menjadi CEO, ilmuwan terkemuka, atau pendiri startup yang mendunia, dengan sebuah karir yang bersinar secerah matahari terbenam di akhir pekan. Di sisi lain, ada juga anggapan bahwa perempuan, di beberapa sudut pandang, harus lebih "feminin" dalam cara mereka mengelola hubungan pribadi dan keluarga. Cobalah menyeimbangkan keduanya---karir dan asmara---seperti seorang akrobat yang harus berjalan di atas tali yang rapuh.Â
Saya tidak bisa menahan diri untuk berpikir, "mengapa perempuan tidak bisa mengejar kedua hal itu sekaligus?" Tentu saja, saya sadar bahwa dunia kita masih sering kali memandang perempuan yang terlalu fokus pada karir sebagai "terlalu ambisius" atau "tidak bisa diatur," sementara perempuan yang lebih fokus pada hubungan asmara bisa dianggap "terjebak dalam peran tradisional." Lalu, mengapa harus memilih? Mengapa harus berkompromi antara dua hal yang sebenarnya bisa saling melengkapi?
Tentu, ada realitas yang tak bisa dihindari: mengejar karir memang memerlukan dedikasi dan waktu yang tak sedikit. Begitu juga dengan hubungan asmara, yang kadang-kadang butuh perhatian dan pengorbanan. Namun, apakah ada aturan yang mengatakan kita harus memilih satu di atas yang lain? Bukankah cinta---baik itu pada pekerjaan atau pasangan---seharusnya memberi kekuatan dan bukan menjadi beban?
Jika kita berpikir lebih jauh, hubungan asmara yang sehat bisa memberi seseorang landasan untuk lebih sukses dalam karir, karena perasaan dicintai dan didukung memberi kepercayaan diri dan ketenangan batin. Sebaliknya, karir yang memuaskan memberi kebebasan finansial dan kebanggaan diri, yang pada gilirannya meningkatkan kualitas hidup dan, pada akhirnya, kualitas hubungan asmara. Jadi, mengapa tidak menilai keduanya sebagai elemen yang saling berkelindan?Â
Namun, seperti segala hal dalam hidup, keseimbangan adalah kuncinya. Anda tidak bisa berharap untuk mencapai puncak karir sambil melupakan janji makan malam atau hanya mengandalkan makanan cepat saji untuk makan malam dengan pasangan. Begitu pula, Anda tidak bisa terlalu terfokus pada hubungan asmara sehingga Anda lupa memperbarui CV Anda atau menghadiri seminar untuk meningkatkan keterampilan.Â
Jadi, pada akhirnya, perempuan tidak perlu memilih antara mengejar karir atau merawat hubungan asmara. Mereka bisa---dan seharusnya---melakukannya keduanya, tentu dengan cara yang bijak dan seimbang. Tapi ingat, pada hari Sabtu sore yang hujan ini, jangan terlalu keras pada diri sendiri. Kadang-kadang, yang kita butuhkan hanya secangkir teh hangat dan sedikit waktu untuk merenung, tanpa tekanan untuk memutuskan apakah kita harus menjadi CEO atau pasangan yang ideal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H