Kewirausahaan telah menjadi salah satu pilar penting dalam perekonomian modern. Namun, pertanyaan yang terus muncul adalah: apa yang sebenarnya memotivasi seseorang untuk mengambil risiko dan melangkah menjadi seorang wirausahawan? Penelitian yang mendalami pengaruh bias kognitif terhadap intensi berwirausaha memberikan jawaban menarik sekaligus menggugah.Â
Dalam sudut pandang filsafat sains, temuan ini mengajak kita untuk merefleksikan kembali sejauh mana keputusan manusia dipengaruhi oleh logika rasional, dibandingkan dengan emosi, keyakinan, dan konteks sosial yang mengitarinya.
Bias kognitif seperti overconfidence, believe in the law of small numbers, dan efek bandwagon menjadi faktor kunci yang membentuk keberanian individu untuk menghadapi risiko. Kepercayaan diri yang berlebihan, misalnya, sering kali memberikan energi positif kepada seseorang untuk mengambil langkah besar. Individu yang percaya pada kemampuannya cenderung melihat risiko sebagai peluang, bukan ancaman.
 Di sisi lain, believe in the law of small numbers dapat menciptakan ilusi keberhasilan dengan mengandalkan bukti-bukti kecil yang dianggap mewakili keseluruhan.Â
Ini memberikan keyakinan palsu, sehingga seorang pengusaha mungkin mengabaikan data yang lebih luas dan objektif. Efek bandwagon menambah dimensi sosial, di mana seseorang cenderung mengikuti tren atau keputusan mayoritas tanpa analisis mendalam. Dalam konteks ini, filsafat sains mengajarkan bahwa bias semacam itu adalah mekanisme adaptif manusia untuk menyederhanakan kompleksitas dunia, meskipun sering kali membawa risiko irasionalitas.
Namun, dinamika ini tidak berhenti pada bias kognitif. Aspek sosial dan religiusitas memainkan peran besar, terutama dalam konteks masyarakat Indonesia. Religiusitas, misalnya, menciptakan motivasi yang tidak hanya bersifat material tetapi juga spiritual.Â
Keyakinan bahwa usaha adalah bagian dari ibadah memberikan kerangka moral yang kuat. Seorang wirausahawan yang memandang kegiatannya sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan akan lebih berani menghadapi tantangan dan kegagalan. Dalam filsafat, ini mencerminkan bagaimana keyakinan melampaui logika untuk menciptakan keputusan yang lebih holistik.
Menariknya, penelitian juga menunjukkan bahwa aktualisasi diri dan modernitas---dimensi yang sering diagungkan di masyarakat Barat---tidak terlalu signifikan dalam memengaruhi kewirausahaan di Indonesia. Budaya kolektif kita menempatkan nilai lebih tinggi pada norma sosial dan dukungan komunitas daripada pada prestasi individu.Â
Dalam banyak kasus, keputusan untuk memulai usaha lebih dipengaruhi oleh jaringan sosial, seperti dorongan dari keluarga atau komunitas, dibandingkan dengan motivasi individu untuk mencapai prestasi personal.
Dari temuan ini, terdapat pelajaran penting yang dapat diterapkan dalam mendukung kewirausahaan di Indonesia. Pertama, program pelatihan kewirausahaan harus dirancang untuk tidak hanya mengajarkan keterampilan teknis tetapi juga membangun kesadaran individu terhadap bias kognitif yang mereka miliki.Â
Melalui pendekatan ini, calon wirausahawan dapat lebih kritis dalam menilai risiko dan peluang, sehingga keputusan mereka menjadi lebih strategis. Kedua, penguatan nilai-nilai religiusitas dalam pelatihan kewirausahaan dapat memberikan fondasi moral yang kokoh sekaligus mendorong keberanian dalam menghadapi ketidakpastian bisnis.