Berbondong2 dengan pasukan berani mati yang terdiri dari aku, putri, rina, ayos, bandeng, upo, ijo, niluh (+mamanya), pergilah kita dengan memegang rasa penasaran, mengikuti prosesi Upacara adat Kasodo di Bromo. Ayos si hifatlobrain yang pengalaman travellingnya tidak diragukan lagi ternyata baru kali ini mengunjungi Bromo saudara….begitu juga dengan saya, upo n Bandeng..
Dari Surabaya naik bis patas Akas jurusan Jember dengan tarif Rp. 23.000,- plus omelan dari penumpang belakang gara2 kakinya panjang gak karuan, bangkuQ gak boleh dikebelakangkan.. :(
Sampainya di Terminal Probolinggo dengan menghabiskan waktu 3 jam, lanjut lagi dengan Bison seharga 25.000-30.000 per orang langsung menuju penginapan di Cemara Lawang (bener gak ya? Lupa2 inget). Kalau dicarter seharga 500rb PP, gratis kernet yg suka ngobrol masalah rasisme terhadap suatu suku, entah kenapa mungkin org itu punya masalah pribadi (off the record).
Penginapan ada yang berupa hotel ataupun homestay. Tinggal pilih, mau yang kamar mandi dalam plus air hangat tapi cerminnya rada bikin sakit hati (badan kita jadi lebar), atau yang satu kamar bisa keroyokan tapi kamar mandi di luar dengan keadaan seadanya, walaupun setidaknya cerminnya gak bikin sakit hati.. :) Tarif permalam perkamar sekitar 100rb (utk 4 orang) utk kelas ekonomi n 400rb (utk 4 org) utk taraf eksekutif.
Acara Kasodo dimulai sekitar isya, dengan diikuti arak-arakan sesajen menuju pura di tengah padang pasir sekitar jam 12 malam sampai subuh. Dengan menghabiskan waktu, diisi acara jepret2, buka puasa (soto+teh panas=Rp.11.000,- uenakkkk di sebelah homestay), tebak2an lagu, ngobrol gak jelas, tidur2an, jadi the informant, nyari informasi ke orang2 lokal, dsb…akhirnya kita memutuskan untuk mulai bergerak sekitar jam 11 malam. Kostum diri dah lengkap dari sarung tangan, jaket berlapis-lapis, berbagai macam bentuk slayer, sampai kaos kaki n jajan2an lengkap untuk saur nanti. Banyak ojek n hartop yang wira-wiri teriak2 nawarin tumpangan dari harga Rp.5000 sampai GRATIS, kita gak bergeming, lebih memilih jalan sehat.
Sampai juga di Pura, ini lebih seperti pasar malam ketimbang upacara sakral. Bayangkan aja, ada penjual eskrim Miami, bakpau, bakso, penjual mainan, samar2 lagu cinta 1 malam, dll kumpul jadi satu didepan pura..tinggal nambahin komedi putar ama gulali, dah gak ada beda ama THR.
Malam semakin larut, semakin dingin, semakin nggak jelas,….
Menunggu arak2an datang, niluh udah berdoa n sepertinya yang kurang cuma api unggun..dengan berbekal PDKT gak jelas, nimbrung aja sana-sini ke grombolan suku Tengger yang bakar2 bambu utk menghangatkan diri, sambil nyolong2 bambu buat dibakar sendiri.
Badan udah gak tahan ma dingin, arak2an dah mondar-mandir, niluh dah ribuan kali jadi objek foto, saurpun sudah dimulai, akhirnya lanjut saja ke kawah Bromo. Satu tips buat kita semua, minumlah sedikit saja air putih, tahanlah pipis, karena toiletnya sangat mengkhawatirkan..pantas saja si kernet di awal cerita mengenai suatu suku yg tidak boleh disebutkan, suka buang air kecil sembarangan…
Di tangga kawah, gak terdengar sama sekali azan Subuh atau teriakan imsyak..imsyak… yang ada hanya samar2 suara dari pura. Sampainya di atas, udah ada tripod nangkring, turis nongkrong n para penduduk lokal dengan “jaring"nya….yup,, sesajen yang dilempar ke kawah bakalan ditangkap ama para catcher2 handal suku tengger. Bagaimana bisa, bayangin aja dulu pengorbanan putri dari Roro Anteng ato siapa itu, yang dilempar ke kawah agar para penduduk Tengger aman, sekarang malah para catcher2 handal inilah yang berkuasa.
Sempet dongkol juga sama jadwal arak2an, ternyata acara “nglabuh” berubah total gara2 ada menteri pariwisata yang datang. Seharusnya kerbau yg terpilih, plus sesajen yang dihias2 itu dilempar ketika pergantian hari, tetapi yang ini dilempar saat sunrise..
Apapun pendapat kita masing2 tentang upacara sakral ini, setidaknya taman edelweiss yang menjadi jalan pintas kita ke penginapan berkontribusi besar dalam benak… :) Sukses buat bandeng yang menjadi ketua penjelajahan, ayos sebagai direktur utama, saya sebagai manajer, upo sebagai komentator senam, putri n rina sebagai pengamat ludruk, niluh sebagai umat Hindu Bali, dan Ijo yang pake baju merah, serta mamanya Niluh yang mau sharing kamar hotel…thx for all..tak lupa juga utk mas Didi si kernet yang sekarang sering sms godain putri…. :p
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H