Di era revolusi industri yang jauh lebih kompetitif dan bersifat disruptif, negara-negara berkembang seperti Indonesia dihadapkan oleh berbagai tantangan baik di tingkat lokal maupun global.
Dengan kompleksnya situasi sekarang, sistem pemerintahan yang ada diharapkan dapat membantu masyarakat dalam mengarungi persoalan-persoalan sosial, termasuk mengembangkan program ekonomi yang bertujuan untuk mencegah ketimpangan sosial ekonomi antar lapisan masyarakat yang diakibatkan oleh tergerusnya sistem manual dengan robotisasi dan digitalisasi.
Pekerjaan rumah pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh kelompok masyarakat ini sangatlah penting karena kematangan dalam fondasi ekonomi akan berdampak ke berbagai aspek, termasuk menurunkan probabilitas munculnya konflik sosial.
Contohnya saja, kasus Meliana yang bermula dari protes volume adzan dari masjid sebenarnya hanyalah efek domino dari realitas ketimpangan ekonomi di daerah Tanjung Balai. Hasil penelitian dari Aldino (2018) menunjukkan bahwa tidak meratanya distribusi pendapatan dan sumber-sumber ekonomi cenderung meradikalisasi kelas pekerja, mempertajam polarisasi dan akhirnya secara otomatis mengurangi tingkat toleransi antar kelas masyarakat.
Data BPS di Kota Tanjungbalai sendiri memperlihatkan bagaimana tingkat pengangguran dan persentase penduduk miskin sebesar 14,46% kemudian mendorong masyarakat ekonomi bawah di sana semakin tertutup dalam menciptakan hubungan sesama yang berakibat pada meningkatnya potensi ketegangan sosial dan ketidakrukunan.
Terlebih studi dari World Bank di Indonesia pada tahun 2016 juga menunjukkan bahwa wilayah-wilayah dengan tingkat kesenjangan ekonomi lebih tinggi dari rata-rata, memiliki rasio konflik 1,6 kali lebih besar dibandingkan wilayah dengan tingkat ketimpangan yang lebih rendah.
Namun, di tengah harapan publik yang begitu tinggi terhadap pemerintah pada saat ini, nyatanya program dan kebijakan yang meningkatkan tingkat ekonomi serta mendorong majunya iklim kewirausahaan lokal masih tergolong sedikit dan berjalan lambat. Ditilik dari segi kuantitas pengusaha, Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara tetangga di wilayah Asia Tenggara.
Contohnya saja, Singapura, negara dengan luas hanya 721,5 km2 dan jumlah populasi sekitar 5 juta jiwa ini memiliki 7% pengusaha dari total penduduk. Sedangkan Indonesia dengan teritorial yang jauh lebih luas dan angka penduduk 50 kali lipatnya, persentase pengusaha dari seluruh jumlah penduduk hanya 1,6%.
Statistik ini bahkan jauh di bawah Malaysia, Thailand, dan Vietnam yang profil demografinya lebih rendah dibandingkan Indonesia. Tidak heran, peluang ekonomi di Indonesia kurang terbuka lebar dan hal ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia tergolong stagnan dan bahkan akhir-akhir ini semakin melambat.
Jika pemerintah memang serius menangkal intoleransi, radikalisme, dan kasus lain yang berkorelasi, selain pendidikan dan sosialisme moderasi beragama, upaya memperkecil kesenjangan ekonomi juga perlu dimaksimalkan. Tanpa kesejahteraan yang lebih merata, sekat-sekat perbedaan dan kecurigaan cenderung lebih mudah terbangun dan hal itu suatu ketika tentu akan menjadi mimpi buruk kerangka kebhinekaan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H