- Judul Buku: Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya
- Pengarang: Dea Anugrah
- Penerbit: Buku Mojok
- Tahun terbit: 2019
- Tebal buku: vi + 181 halaman
Dulu, waktu masih SD saya gemar sekali membaca karya fiksi, dari novel hingga komik. Saya bahkan sempat kepikiran, mungkin ketika besar nanti saya akan punya dua lemari besar yang isinya komik semua. Eh, nyatanya saya salah besar! Waktu berkunjung saya ke perpustakaan umum jauh lebih lama dibandingkan ke toko buku besar.
Juga, semakin bertambahnya usia, membuat saya semakin pelit untuk menghabiskan uang untuk membeli komik atau novel yang bisa saya selesaikan satu hingga tiga jam. Jadilah, impian saya tentang rak-rak dengan deretan komik berjejer pupus seketika.
Selain itu, mungkin karena tuntutan kuliah dan pekerjaan, saya tak kembali banyak bersentuhan dengan karya-karya fiksi. Meskipun tidak sepenuhnya meninggalkan dunia imajiner, tapi jumlah karya fiksi yang saya konsumsi jelas kalah jauh dengan karya esai akademik atau esai popular lainnya.
Membandingkan fiksi dan non-fiksi memang bukan perbandingan setara, bukan apple to apple, istilah kerennya. Tapi kini, dengan berkembangnya sudut pandang para penulis handal, kita dapat mudah menemukan karya non-fiksi yang serenyah novel. Salah satunya adalah buku karya Dea Anugrah yang berjudul "Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya".
Gagasan-gagasan yang disampaikan penulis asal Bangka Belitung ini tidak hanya membuat kita menambah pengetahuan baru, tetapi juga menghibur karena gaya berkisahnya yang jauh lebih luwes, bukan hanya sekedar melempar opini kaya data. Bahkan setelah saya membaca esai pertama, saya masih mengecek kembali jenis buku ini ke cover belakang, saking tidak percayanya bahwa buku yang Dea tulis adalah nonfiksi karena caranya bercerita yang mengalir ala novel dan cerpen.
Disamping memuat kisah-kisah berbalut argumen personalnya, salah satu hal yang membuat buku ini menarik adalah foto-foto yang disajikan bersebelahan dengan judul. Bukan hanya menarik dari segi visual, tapi juga mampu menggugah keingintahuan pembaca tentang apa yang Dea tulis pada halaman selanjutnya.
Walaupun gambar-gambarnya sederhana, seperti atap angkot yang penuh dengan beberapa tandan pisang atau pemandangan di dalam lapak tukang cukur, namun Dea mampu menyulap pemandangan sehari-hari itu menjadi tidak biasa, dan memperluas sudut pandang kita bahwa banyak hal yang perlu diceritakan dari kisah-kisah sepele yang acapkali kita acuhkan.
Lebih lanjut, dalam bukunya, Dea juga tidak stagnan bertahan di satu lokasi. Buku ini mampu membawa kita terbang dari Stasiun Jatibarang, Indramayu hingga Terminal Central de Autobuses del Norte, mencoba membumikan kisah para petualang dengan muka kepuh sampai cerita Salvador dengan botol belingnya.
Sebagai bunga rampai nonfiksi pertamanya, menurut saya Dea cukup sukses untuk menyajikan apa yang jarang dibagikan oleh penulis-penulis esai lainnya: gaya bercerita yang tidak kaku dan pesan humanis yang ia sampaikan dibalik semua esainya. Terutama kisah di laman terakhir yang hendak menyadarkan bahwa tiap manusia memiliki berbagai cobaan dan tantangan dalam hidupnya, yang seringkali membuatnya merasa menjadi orang paling menderita sedunia. Padahal, jika kita mau sedikit merenung, menengok ke kanan, ke kiri dan bahkan ke belakang. Masih banyak hal yang perlu disyukuri, dan hal itu yang perlu kita pegang kuat-kuat untuk menjalani kehidupan selanjutnya.