Besok, lebaran kembali datang. Dari tahun ke tahun, tradisi idul fitri hampir selalu sama di seantero negeri. Orang yang merantau ke daerah urban, kembali ke kampung halaman dengan berbagai barang bawaan. Tak jarang, orang nekat mengandalkan kreditan, bahkan berhutang untuk menuai pujian. Baju baru hingga perlengkapan elektronik semua dibeli bukan karena kebutuhan, tapi lebih karena gengsi di mata handai taulan.
Bertolak belakang dengan apa yang dilakukan orang kita sekarang, terutama saat mendekati hari raya, Fumio Sasaki (seorang warga negara Jepang) justru menggagas gaya hidup minimalis yang sama sekali berbeda. Dalam bukunya, Â ia menggagas bagaimana ia mengosongkan tempat tinggalnya untuk kemudian menerapkan gaya hidup dengan moto "sedikit itu jauh lebih baik". Saat membaca halaman-halaman awal buku yang ia tulis yang memuat gambar perubahan isi kamarnya sebelum dan sesudah gaya hidup minimalis, saya sangat takjub sekali melihat bagaimana ia 'tega' menyingkirkan semua barang kesukaannya, termasuk kamera koleksinya.
Ia sendiri sempat mengaku berat saat merelakan semua barang yang ia miliki, namun ia berdalih memiliki sedikit barang membuat ia jauh lebih fokus dan tidak terbebani untuk bertanggungjawab (dapat diartikan sebagai menjaga, membersihkan, dll) pada barang tersebut. Konsep terpenting dari gaya hidup yang ia terapkan sebenarnya, bukan hanya memiliki sangat sedikit barang, tapi jauh kepada memiliki barang-barang yang betul ia butuhkan secara prioritas. Dan prioritas disini tentu berbeda-beda bagi setiap orang, sehingga menurut Sasaki kita tidak perlu membandingkan diri satu sama lain karena keputusan sepenuhnya ada pada diri kita pribadi.
Tidak lama setelah membaca separuh buku Sasaki, saya kemudian menatap sekeliling satu petak kamar kos saya sembari berpikir, "apa ya yang perlu saya singkirkan?"
Menyortir barang sendiri ternyata tidak semudah dalam teori, saya ternyata perlu berjam-jam memilah barang mana yang masih saya perlukan: mana yang ternyata bisa diloakkan atau didonasikan, mana yang sudah tak layak dipertahankan. Meski, jujur saja, barang saya tidak banyak, namun beberapa buku sepertinya agak susah saya lepaskan karena isinya begitu menarik (walau saya juga malas untuk membacanya kembali). Selain itu, acap kali kita dihadapkan pilihan berat untuk mempertahankan atau melepaskan hadiah yang sebenarnya kita tidak pernah/jarang kita gunakan sehari-hari. Â
Usai menduplikasi apa yang dilakukan Sasaki, meski dalam level yang jauh lebih rendah, haha.. saya merasa bahwa konsep hidup minimalis ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan inti ajaran Islam yang menganjurkan kita untuk tidak berlebih-lebihan dalam menumpuk harta dan juga menerapkan skala prioritas kebutuhan saat berbelanja. Konsepnya juga mengingatkan saya akan cerita musafir yang terheran-heran ketika memasuki rumah sufi yang hampir kosong karena tidak memiliki banyak barang di dalam rumahnya. Sehingga si tamu kemudian sontak menanyakan alasan dibalik melompongnya rumah tersebut, yang lalu dijawabnya dengan singkat, "bukankah Anda juga tidak membawa banyak barang ketika Anda kesini? Sama halnya seperti Anda, saya melihat bahwa dunia ini hanyalah perjalanan sementara saya sebelum menuju akhirat. Jadi, saya berpikir tidak akan banyak manfaatnya bila saya menghimpun banyak barang di rumah saya."
Dunia hanyalah sementara. Namun, seringkali kita menempatkannya sebagai tujuan utama, yang membuat kita kemudian alpa bahwa semakin banyak barang yang kita miliki, semakin kita terikat dengan tanggungjawab yang melekat dengannya. Dengan menerapkan hidup minimalis, kita tidak hanya belajar manajemen prioritas, tapi juga kita akan belajar hidup sederhana. Karena sejatinya, yang terpenting dalam menjalani hidup ini bukanlah banyaknya harta yang kita punya, namun apakah hati kita kaya dengan apa yang kita punya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H