Sebagai perempuan yang masih menyandang status single, mendapat pertanyaan kapan menikah mungkin sudah menjadi cemilan sehari-hari. Tapi, ketika saya ditanya kapan sih usia ideal seorang perempuan untuk menikah, saya dibuatnya sedikit mengernyitkan dahi.
Jika ideal didefinisikan sebagai waktu terbaik, kita tentu akan mendapati beragam jawaban dari tiap individu. Menilik regulasi yakni UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, batas minimumnya adalah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Sedangkan saran dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional/BKKBN sendiri mengisyaratkan umur ideal untuk menikah adalah 21 tahun.
Hal ini hampir sama dengan budaya tipikal orang Asia, terutama Indonesia yang akan menjawab 23-27 tahun adalah waktu yang tepat untuk menikah. Bahkan, di beberapa wilayah, rentang usianya justru jauh lebih rendah lagi. Patokan sudah tepat untuk mengikat tali pernikahan adalah ketika sudah memiliki sumber penghasilan dan selesai pendidikan menengah atas atau perguruan tinggi. Bahkan untuk perempuan, bila calon suami bersedia menanggung kebutuhan sehari-hari dan tidak mensyaratkan macam-macam, mau dipinang dan sudah berusia 16 tahun, itu sudah cukup.
Sedikit berbeda dengan opini khalayak umum di sini, sebuah studi dari Nick Wolfinger, sosiolog dari University of Utah menyatakan bahwa usia ideal justru antara 28 sampai 32 tahun. Dengan menganalisis data dari National Survey of Family Growth di tahun 2006-2010 dan 2011-2013, ia menemukan bahwa pada rentang usia tersebut, individu cenderung lebih stabil dari segi emosi karena sudah mampu mengambil keputusan-keputusan penting dalam hidup dan juga lebih matang dari segi finansial.
Jadi, tak perlu lah kita repot ikut pusing kenapa si A belum selesai kuliah kok sudah menikah, sedangkan si B sudah menjelang angka tiga kok masih betah melajang. Ketika ada teman dekat, tetangga, atau saudara yang membuat keputusan untuk menikah muda atau memutuskan belum menikah. Mari kita hargai kehidupan privasinya. Keputusannya untuk kapan mengikat hubungan suci pasti sudah disertai oleh berbagai alasan dan pertimbangan.
Daripada kita bergelut menghakimi perempuan dari sisi kapan ia sebaiknya menikah, kenapa tidak memaksimalkan doa dan harapan bagi mereka, bukankah itu jauh lebih menyehatkan hati dan pikiran diri diri sendiri maupun perempuan yang suka disindiri?
Ada teman saya yang usia belasan sudah sejak awal belajar menjadi orang tua dengan ikut membina santri-santri muda ketika ia hidup di lingkungan pondok, di sisi lain senior saya memiliki seorang ayah keras kepala yang hingga kini belum menyetujui semua laki-laki yang pernah dekat dengannya. Dari dua sisi ini, saya menyadari bahwa tiap perempuan menghadapi kondisi yang jauh berbeda satu sama lain. Kita tidak perlu repot untuk membuat postulat umum bahwa jika di usia sekian ia sudah menikah itu tanda terlalu awal, begitu pula sebaliknya, bila di angka sekian, ia belum juga menikah, tanda keterlambatan perlu untuk disematkan. Sungguh, itu tidak perlu dilakukan.
Saya tidak menyanggah bahwa secara teori dan fakta umum, pernikahan dini memiliki 50% lebih tinggi dalam kasus perceraian (BKKN, 2017). Dan tidak dipungkiri juga bahwa usia subur kaum perempuan terbatas. Namun perlu diingat kalau manusia hanya sebatas memiliki rencana, untuk realisasinya hanya Tuhan lah yang Maha Tahu. Tiap perempuan, saya pikir, pasti mendambakan segala sesuatunya berjalan sesuai apa yang mereka idamkan, termasuk juga tentang pernikahan.Â
Tetapi banyak hal di luar jangkauan kaum hawa yang akhirnya membuat mereka memilih kapan waktu yang terbaik. Daripada kita bergelut menghakimi perempuan dari sisi kapan ia sebaiknya menikah, kenapa tidak memaksimalkan doa dan harapan bagi mereka, bukankah itu jauh lebih menyehatkan hati dan pikiran diri diri sendiri maupun perempuan yang suka disindiri?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H