Mohon tunggu...
Hasna A Fadhilah
Hasna A Fadhilah Mohon Tunggu... Administrasi - Tim rebahan

Saya (moody) writer. Disini untuk menuangkan unek-unek biar otak tidak lagi sumpek.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Berapa Usia Ideal untuk Menikah?

2 April 2018   21:45 Diperbarui: 3 April 2018   18:53 1643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai perempuan yang masih menyandang status single, mendapat pertanyaan kapan menikah mungkin sudah menjadi cemilan sehari-hari. Tapi, ketika saya ditanya kapan sih usia ideal seorang perempuan untuk menikah, saya dibuatnya sedikit mengernyitkan dahi.

Jika ideal didefinisikan sebagai waktu terbaik, kita tentu akan mendapati beragam jawaban dari tiap individu. Menilik regulasi yakni UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, batas minimumnya adalah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Sedangkan saran dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional/BKKBN sendiri mengisyaratkan umur ideal untuk menikah adalah 21 tahun.

Hal ini hampir sama dengan budaya tipikal orang Asia, terutama Indonesia yang akan menjawab 23-27 tahun adalah waktu yang tepat untuk menikah. Bahkan, di beberapa wilayah, rentang usianya justru jauh lebih rendah lagi. Patokan sudah tepat untuk mengikat tali pernikahan adalah ketika sudah memiliki sumber penghasilan dan selesai pendidikan menengah atas atau perguruan tinggi. Bahkan untuk perempuan, bila calon suami bersedia menanggung kebutuhan sehari-hari dan tidak mensyaratkan macam-macam, mau dipinang dan sudah berusia 16 tahun, itu sudah cukup.

Sedikit berbeda dengan opini khalayak umum di sini, sebuah studi dari Nick Wolfinger, sosiolog dari University of Utah menyatakan bahwa usia ideal justru antara 28 sampai 32 tahun. Dengan menganalisis data dari National Survey of Family Growth di tahun 2006-2010 dan 2011-2013, ia menemukan bahwa pada rentang usia tersebut, individu cenderung lebih stabil dari segi emosi karena sudah mampu mengambil keputusan-keputusan penting dalam hidup dan juga lebih matang dari segi finansial.

ilustrasi. (marriagemissions.com)
ilustrasi. (marriagemissions.com)
Well, kalau pertanyaan itu dikembalikan lagi ke saya. Saya akan menjawab singkat: ya..kita sendiri lah yang tahu kapan waktu yang tepat untuk menikah. Menurut saya, tidak ada kata terlalu muda, on time, ataupun telat soal menikah. Sama seperti maut, mau baru lahir dua hari pun bila waktunya berpulang datang, ia akan meninggal. Waktunya kita tidak pernah menduga. Hanya kita perlu bersiap untuk menyambutnya.

Jadi, tak perlu lah kita repot ikut pusing kenapa si A belum selesai kuliah kok sudah menikah, sedangkan si B sudah menjelang angka tiga kok masih betah melajang. Ketika ada teman dekat, tetangga, atau saudara yang membuat keputusan untuk menikah muda atau memutuskan belum menikah. Mari kita hargai kehidupan privasinya. Keputusannya untuk kapan mengikat hubungan suci pasti sudah disertai oleh berbagai alasan dan pertimbangan.

Daripada kita bergelut menghakimi perempuan dari sisi kapan ia sebaiknya menikah, kenapa tidak memaksimalkan doa dan harapan bagi mereka, bukankah itu jauh lebih menyehatkan hati dan pikiran diri diri sendiri maupun perempuan yang suka disindiri?

Ada teman saya yang usia belasan sudah sejak awal belajar menjadi orang tua dengan ikut membina santri-santri muda ketika ia hidup di lingkungan pondok, di sisi lain senior saya memiliki seorang ayah keras kepala yang hingga kini belum menyetujui semua laki-laki yang pernah dekat dengannya. Dari dua sisi ini, saya menyadari bahwa tiap perempuan menghadapi kondisi yang jauh berbeda satu sama lain. Kita tidak perlu repot untuk membuat postulat umum bahwa jika di usia sekian ia sudah menikah itu tanda terlalu awal, begitu pula sebaliknya, bila di angka sekian, ia belum juga menikah, tanda keterlambatan perlu untuk disematkan. Sungguh, itu tidak perlu dilakukan.

Saya tidak menyanggah bahwa secara teori dan fakta umum, pernikahan dini memiliki 50% lebih tinggi dalam kasus perceraian (BKKN, 2017). Dan tidak dipungkiri juga bahwa usia subur kaum perempuan terbatas. Namun perlu diingat kalau manusia hanya sebatas memiliki rencana, untuk realisasinya hanya Tuhan lah yang Maha Tahu. Tiap perempuan, saya pikir, pasti mendambakan segala sesuatunya berjalan sesuai apa yang mereka idamkan, termasuk juga tentang pernikahan. 

Tetapi banyak hal di luar jangkauan kaum hawa yang akhirnya membuat mereka memilih kapan waktu yang terbaik. Daripada kita bergelut menghakimi perempuan dari sisi kapan ia sebaiknya menikah, kenapa tidak memaksimalkan doa dan harapan bagi mereka, bukankah itu jauh lebih menyehatkan hati dan pikiran diri diri sendiri maupun perempuan yang suka disindiri?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun